PP Gambut Timbulkan Ketidakpastian Hukum

Menurut Kristianto, hingga kini belum tersedia data valid tentang gambut yang bisa dijadikan acuan implementasi PP gambut. Sementara secara teknis, masih ada perdebatan para ahli gambut tentang pengelolaan gambut berkelanjutan.

“Ketiadaan data valid dan kelemahan secara teknis, mengakibatkan kebijakan pengelolaan gambut saat ini tidak memiliki landasan yang kuat. Padahal, kebijakan tersebut sudah langsung berdampak di lapangan,” kata dia.

Beberapa pasal kontroversial menyangkit kriteria gambut rusak yang ditetapkan hanya berdasarkan muka air gambut yang paling rendah 0,4 meter. Selain itu, 30% dari Kawasan Hidrologis Gambut (KHG) langsung ditetapkan sebagai fungsi lindung. Semakin banyak kubah gambut pada suatu KHG, semakin luas fungsi lindung yang akan ditetapkan.

Ketentuan itu juga memberlakukan moratorium pembukaan baru atau land clearing pada lahan gambut, menyetop izin yang diberikan untuk pemanfaatan lahan gambut, serta mengatur pengammbilalihan lahan yang terbakar oleh pemerintah.

Menurut Kristianto, langkah pemerintah yang menjalankan kebijakan satu peta (one map policy) patut diapresiasi. Langkah itu akan memperkuat validitas data gambut. Sayangnya, meski peta acuan hingga kini belum tuntas, namun ada praktik penegakan hukum di lapangan yang akhirnya menyulitkan pengelola lahan gambut.

Terpisah, pernyataan sama juga dikemukakan Didik, Menurut Didik, PP 57/2016 dengan sejumlah aturannya, berpotensi mengkriminalisasi sektor usaha perkebunan dan kehutanan. Terutama aturan kontroversial yaitu pembatasan tinggi muka air sebesar 0,4 meter.

“Kelihatannya, sederhana hanya pembatasan muka 0,4 meter. Namun itu menjadi masalah serius karena tidak dapat diaplikasikan di lapangan. Dampaknya usaha pertanian dan perkebunan masyarakat sudah pasti ‘mati’. Tidak mungkin mengikuti aturan tersebut,” kata Didik.

Didik menyinyalir, kriteria kerusakan dalam PP Gambut, tidak didasarkan pada kajian ilmiah yang mendalam dan komprehensif. Kriteria tersebut tidak akan mampu dipenuhi para pihak yang melakukan kegiatan budidaya di lahan gambut. Itulah yang disebutnya sebagai alasan yang rawan dikriminalisasi.

Dengan aturan itu, kata Didik, pemerintah seakan menginginkan kematian kegiatan ekonomi masyarakat dan perusahaan di sektor pertanian dan kehutanan. Padahal, pemerintah pada dasarnya harus melindungi kepentingan masyarakat dan dunia usaha.“Saya setuju apabila semua pihak melakukan class action atas peraturan pemerintah itu,” kata Didik.


Akademisi Desak PP Gambut Direvisi

Pemerintah harus melibatkan akademisi dan organisasi profesi untuk menyelaraskan sejumlah aturan dalam PP 57 tahun 2016 tentang perlindungan dan pemanfaatan ekosistem gambut. Kajian itu diperlukan agar pemerintah Jokowi-JK tidak dipermalukan akibat PP tersebut tidak bisa diimplementasikan.

Demikian rangkuman pendapat akademisi dan organisasi profesi ketika diminta pendapat, Minggu (29/1). Mereka adalah Ketua Bidang Hasil Pengolahan Hasil Perkebunan Dewan Pimpinan HKTI Didik Hariyanto, Peneliti Departemen Ilmu Tanah Dan Sumber Daya Lahan Institut Pertanian Bogor (IPB) Basuki Sumawinata dan pakar gambut Universitas Riau (UR) Wawan.

Didik menyayangkan, banyak aturan teknis dalam PP itu ditetapkan sepihak tanpa melibatkan akademisi dan lembaga profesi seperti Himpunan Gambut Indonesia (HGI). Akibatnya, PP tersebut menjadi tidak relevan karena tidak memiliki naskah akademis.

Didik berpendapat, ketentuan muka air 0,4 m serta pengembalian fungsi gambut dalam menjadi kawasan lindung yang tidak logis, akan mematikan usaha perkebunan rakyat.

Selama puluhan tahun masyarakat hidup dari perkebunan sawit di lahan gambut. Bayangkan berapa banyak jiwa akan kehilangan mata pencaharian jika aturan itu diterapkan. Apalagi, pemerintah belum mempunyai solusi, jika perkebunan rakyat disetop.

“Kalau tetap dipaksakan, masyarakat perlu melakukan class action atau uji materi ke MK atas putusan sepihak tersebut,” kata dia.

Sementara itu, Basuki mengatakan, ketentuan tinggi muka air 0,4 meter merupakan masalah lama yang sebenarnya tidak revelan lagi. “Aturan itu diusulkan tahun 2006 dengan catatan belum ada teknologi yang mumpuni. Kini, ketika tata kelola air bisa diimplementasikan, aturan itu tidak lagi relevan. Saya memahami aturan ini, karena sejak awal ikut ‘membidani’pembuatan draftnya,” kata dia.

Menurut Basuki, ketinggian muka air yang ideal dan lebih sesuai dengan kondisi lapangan adalah 0,8 m. Aturan ini, bisa dipraktikkan perkebunan kelapa sawit dan hutan tanaman industri.

Terpisah, Wawan juga berpendapat sama. Menurut dia, PP Gambut itu bakal memukul kehidupan masyarakat yang mengandalkan industri berbasis sumber daya alam seperti Riau. Salah satunya, persyaratan untuk mengembalikan lahan produktif gambut yang telah dikelola sejak puluhan tahun menjadi fungsi lindung.

“Penggunaan gambut merupakan hasil interaksi dengan lingkungannya dalam waktu yang sangat lama. Sejak lama masyarakat Riau mengembangkan ekonomi, sosial dan budayanya dengan membudidayakan gambut. Penerapan PP itu akan membawa konsekuensi besar bagi masyarakat Riau,” ujar Wawan.

Menurut Wawan, dari 3,867 juta hektar lahan gambut di Riau lebih dari 75 persen merupakan gambut dalam atau kedalaman lebih dari 3 meter. Dengan aturan PP itu berarti, tiga perempat gambut Riau, harus diubah fungsinya menjadi kawasan lindung.”Itu sama dengan ‘membunuh’ kehidupan rakyat.” (wiy)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *