by M Rizal Fadillah
semarak.co-Akhirnya memang Pemerintah kita kelas ayam sayur. Kedatangan Menlu AS Mike Pompeo sukses besar. Utamanya adalah implikasi penandatanganan bersama Menlu Retno Marsudi mengenai Kepulauan Natuna yang bakal diserahkan menjadi lahan investasi AS.
Tentu target AS adalah membuat pangkalan militer. Penguatan strategis dalam perseteruan dengan China. Pompeo sukses.
Konflik Laut China Selatan memasuki babak baru. Bagian Indonesia akan menjadi pangkalan AS. China yang mengklaim Laut China Selatan sebagai milik warisan kesejarahan akan sedikit terganggu dengan sikap Indonesia.
Jika serius kerjasama dengan Amerika dapat dibayangkan marahnya China kepada komprador Indonesianya. Entah langkah catur apa yang akan dimainkan.
Melihat Michael Pompeo yang sedang menandatangani “kesepakatan” di meja dan Menlu RI Retno Marsudi berdiri tertunduk agak prihatin juga. Akhirnya menyerah dan Luhut pun “nyumput”.
Teringat dahulu menjelang runtuh Orde Baru, Soeharto Januari 1998 menandatangani pinjaman IMF sementara Michael Camdessus berdiri sambil bersedekap. Gagah dan sukses.
Investasi AS di bagian terluar kepulauan Natuna menjadi fase awal masuknya kepentingan AS ke kawasan. Dengan dalih pengamanan teritorial Indonesia, AS akan bebas hilir mudik di kepulauan Natuna. Faktualnya adalah optimalisasi fungsi pangkalan militer AS di area.
Jokowi yang awal ketar ketir kini justru berposisi terjepit antara dua tekanan AS dan RRC. Ikatan kuat dan matang dengan RRC harus terbentur ultimatum AS. Jika dari awal mengambil jalan konsisten “bebas aktif” mungkin konflik AS-RRC menjadi keuntungan besar bagi Indonesia. Namun kondisi itu kini berbeda.
Pilihan sulit di tengah pandemi dan krisis ekonomi. Kedatangan Pompeo bukan membawa berkah buat Pak Jokowi tetapi simalakama. RRC tidak akan tinggal diam. Daleman Istana sudah diketahui. Jika Istana belok belok dalam bermain mesti ada bayaran. Mungkin mahal. Jokowi bukan semakin kuat, tetapi bisa goyah.
Ambivalensi selalu kalah di ujungnya dan loyalitas yang diragukan akan dieliminasi. Amerika yang menekan dapat memberi pil pahit bagi rezim. Dulu Michael IMF datang Januari 1998 dan Mei 1998 Soeharto jatuh. Kini Oktober 2020 Michael AS datang entah jatuh atau bertahankah Jokowi. Yang jelas rakyat sudah mulai mendesak.
Pompeo sukses memainkan panggung diplomasi. Memang langkah kelas dunia. Sekali datang Natuna sudah di tangan. Indonesia dibuat kebingungan menghadapi jasa-jasa investasi dan “debt-trap” RRC. Jokowi bukan figur idealnya AS, Jokowi juga mulai diragukan sebagai figur kuat pengaman kepentingan RRC.
Jokowi tidak aman. Jokowi tidak mengakar. Kasus RUU HIP dan UU Omnibus Law menempatkan Jokowi berhadapan dengan rakyat dan umat. TNI yang tergerus oleh Polri juga rentan untuk tetap menjadi pilar Jokowi.
Pompeo belum banyak bergerak tetapi sudah membuat belingsatan. Menusuk pertahanan yang memang dari dulu juga lemah.
Pompeo sukses. Moga pak Jokowi tidak lari ke gorong gorong.
*) Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Bandung, 31 Oktober 2020
sumber: WA Group Anies For Presiden 2024