by M Rizal Fadillah
semarak.co-Ketua KPK Firli Bahuri gelisah dan kesulitan ketika ditanya oleh Aiman Witjaksono dalam acara Aiman di Kompas TV saat harus memilih antara Agama atau Pancasila?
Awalnya ia keberatan untuk menjawab namun karena “terdesak” maka jawabannya ternyata bukan memilih melainkan menjelaskan bahwa Pancasila itu satu garis tegak lurus dengan Agama.
Ketika Aiman mengingatkan bahwa yang terjadi saat test wawasan kebangsaan pegawai KPK adalah harus memilih, maka Firli Bahuri tak bersedia menjawab. Ia pun hanya menyatakan bahwa dirinya pernah menerima pertanyaan yang sama saat tes dan akhirnya lolos.
Entah tes apa, serupakah itu dengan keharusan memilih Agama dan Pancasila? Atau sekedar pandangan mengenai Agama dan Pancasila? Firli sendiri kerepotan harus memilih Pancasila atau Agama, sebab akan bagai makan buah simalakama.
Jika jawab Agama maka capnya bisa anti Pancasila, bila menjawab Pancasila sama saja dengan menafikan keyakinan Agama. Artinya rusak keimanan. Jika Ketua KPK saja tak mampu menjawab, maka dipastikan peserta test wawasan kebangsaan pegawai KPK pun akan sama kesulitan untuk menjawab.
Dan itu dapat menyebabkan ia atau mereka “tidak lolos”. Pertanyaan model ini yang antara lain menjadi perhatian Komnas HAM saat menerima pengaduan 75 pegawai KPK yang tidak lolos. Pertanyaan Agama atau Pancasila tendensinya adalah agar memilih Pancasila. Tapi ini pertanyaan gaya komunis yang ingin mengecilkan arti agama.
Persis seperti DN Aidit yang membuat buku “Membela Pancasila” tahun 1964 dimana faham komunisme Aidit adalah membenci Agama. Agama merupakan candu yang harus diberantas.
Pertanyaan tendensius seperti ini juga menjadi model proses “brain washing” di lingkungan pendidikan negara China, termasuk di “Kamp Pendidikan Ulang” Xinjiang untuk mengkomuniskan satu juta Muslim Uyghur.
Dulu juga Tentara Khmer Merah pimpinan Pol Pot memaksakan penghafalan kategori-kategori kepada penduduk Kamboja agar “bersih faham dan fikiran” selain komunisme.
Pertanyaan bebas moral lain seperti LGBT, pacaran, hasrat seksual yang juga tak relevan dengan pemberantasan korupsi berpadu dengan anti gerakan keagamaan FPI, HTI, serta kacau dan pencampuradukkan faham keagamaan seperti soal qunut, ucapan natal dan donor darah agama lain.
Betapa picik dan tendensiusnya konten TWK untuk pegawai KPK tersebut. Firli dan pimpiban KPK lain mangkir dua kali atas pemanggilan Komnas HAM. Sangat diduga kuat terjadi pelanggaran HAM dalam kasus ini.
KPK bukan menjadi lembaga pemberantas korupsi tetapi pemberantas agama dan nilai-nilai moral. Adakah komunisme menyusup ke lembaga anti ruswah ini? Firli harus bertanggungjawab sebagai pimpinan KPK.
Dengan sandaran moral, agama, dan Pancasila maka adanya kasus TWK yang telah dinilai negatif oleh publik dan terjadi pemeriksaan oleh Komnas HAM maka sudah sangat layak sebagai awal langkah pelajaran berharga adalah bahwa Komjen Pol Firli Bahuri harus segera dipecat.
KPK melemah dan terus menjadi obyek pengkritisan publik di bawah kepemimpinan Firli Bahuri. Adakah pengangkatan Firli itu menjadi bagian dari misi penyusupan untuk penghancuran?
Atau memang Firli adalah figur lemah yang dihancurkan oleh kepentingan pihak ketiga yaitu taipan, kelompok pro koruptor, atau istana sendiri? Ketika pertanyaan itu adalah pilih Agama atau Pancasila, maka politik jebakan dan jeratan telah dilakukan. Agama dibenturkan dengan Pancasila.
Bukan saja picik tetapi a-historis serta mencurigai Agama sebagai perusak bangsa dan negara. Jika demikian maka wajar jika ada penilaian bahwa saat ini komunisme memang telah berhasil menyusup ke ruang keuasaan.
Elit kekuasaan menjadi pendukung atau pejuang kebangkitan komunisme di Indonesia. KPK pun turut tercemar. Agama atau Pancasila? Jawablah Komunis, niscaya mereka akan bahagia.
*) Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Bandung, 16 Juni 2021
sumber: 000#MUSLIM BENTENG NKRI (post16/6/2021/rizal)