Oleh: Yudhiarma MK, M.Si, Pemerhati Filantropi
semarak.co -Membuka lembaran sejarah, banyak catatan yang berkisah tentang pemberontakan para petani.
Mereka bangkit memerangi kezaliman, melakukan protes keras, melawan penguasa dan tuan-tuan tanah yang melakukan penindasan dengan berbagai cara.
Aksi heroik mereka banyak terjadi di berbagai belahan dunia, karena sebelum revolusi industri, perekonomian agraris mendominasi aktivitas kehidupan masyarakat global ketika itu.
Maka seperti kaum petani di masa lalu, kini para pemotor seolah-olah menjadi representasi mereka di era industri 4.0 di negeri ini.
Ada dua hal yang menjadi poin penting, terkait eksistensi kendaraan roda dua ini.
Pertama, “ekonomi sepeda motor”. Bayangkan, jumlahnya kini hampir setengah warga negara Indonesia (WNI) yang mencapai 260 juta jiwa.
Per tahun 2017 saja, data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, ada 113.030.793 motor.
Sementara sebanyak 105 juta orang pemiliknya atau 39,62% dari total WNI, sebagian besar adalah kelompok ekonomi lemah. Karena itu, sepeda motor menjadi salah satu alat produksi masyarakat di perdesaan dan perkotaan.
Ketua Umum Asosiasi Industri Sepeda motor Indonesia (AISI) Johannes Loman, menyebutkan, penjualan motor saban tahun mencapai 9 juta unit, hampir dua kali lipat penduduk Singapura, yang kini berjumlah 5,6 juta jiwa (Wikipedia).
Bahkan, berdasarkan data yang dibeberkan PT Yamaha Indonesia Motor Manufacturing (YIMM), motor adalah barang ketiga yang wajib dimiliki di rumah tangga setelah televisi dan kulkas. Sementara nilai investasi motor mencapai 7 miliar dolar AS.
Dan yang menarik, dari pajak dan pungutan sepeda motor, tahun 2017 saja, negara menerima pendapatan sebesar Rp 7 triliun (Otomania.gridoto.com).
Ditambah lagi, RI juga kembali menjadi pasar sepeda motor terbesar di Asia Tenggara.
Menurut Motorcycles Data, pasar ASEAN mewakili 22,4% penjualan motor global. Pada 2019 lalu, total sebanyak 13,75 juta unit sepeda motor tersebar di kawasan Asia Tenggara. Angka itu naik 5,3% dari tahun sebelumnya.
Posisi kedua ditempati Vietnam, di mana sepanjang 2019 menjual 3.271.000 sepeda motor.
ASEAN Automotive Federation merilis, Thailand memasarkan 1.718.587 unit, Filipina 1.704.900 unit, sementara Malaysia dan Singapura hanya menjual 546.813 dan 19.356 sepeda motor.
Di luar itu, ada bisnis ojek online (ojol). Presidium Gabungan Aksi Roda Dua (Garda) Indonesia, Igun Wicaksono, memproyeksikan pengemudi ojol mencapai 2,5 juta orang.
Di mana keberadaan di wilayah Jabodetabek bisa 50 persen dari total mitra di seluruh Indonesia, atau lebih dari 1,25 juta pengemudi (Bisnis.com, 12/11/2019).
Meski demikian, Igun menyatakan, jumlah driver ojol disembunyikan para aplikator. Saat ini, asosiasi pengendara ojol pun tak memiliki data terkait jumlah pasti mitra pengemudi.
Menurut dia, perusahaan aplikator juga tak mau membuka informasi terkait.
Berdasarkan penelusuran melalui playstrore, jumlah unduhan Gojek Driver lebih dari 5 juta kali, sementara Gocar Driver lebih dari 1 juta.
Untuk aplikasi pengemudi bagi Grab Indonesia, tidak dibedakan berdasarkan mitra ojol maupun taksi daring seperti yang dilakukan Gojek. Jumlah unduhan aplikasi Grab Driver pun lebih dari 10 juta kali.
Jumlah unduhan di playstrore, memang tidak merepresentasikan jumlah pengemudi ojol dan taksi online secara riil di Indonesia.
Alasannya, bisa saja mitra pengemudi yang berhenti atau mengunduh sampai beberapa kali.
Setidaknya, hal itu menegaskan bahwa unduhan aplikasi Gojek dan Grab sudah menembus 16 juta kali atau setara 6,1 persen dari populasi jumlah penduduk Indonesia pada 2018 yang mencapai 258,7 juta jiwa.
Dan yang paling fantastis adalah, lembaga riset global, CBInsights dalam laporan berjudul “Global Unicorn Club” menyatakan, Gojek memiliki valuasi 10 miliar dolar AS atau setara Rp 140 triliun.
Hal ini membuat perusahaan tersebut berstatus decacorn.
Sebelumnya, di ASEAN hanya terdapat satu decacorn yang disandang Grab Holdings. Sekarang ada dua yang sama-sama startup berbagi tumpangan (ride-hailing).
CBInsights menghitung Grab Holdings memiliki valuasi 11 miliar dolar AS.
Kedua, sepeda motor menjadi solusi alternatif bagi masalah transportasi umum yang masih carut-marut.
Ketidakseimbangan kebutuhan akibat pertumbuhan pengguna yang sangat cepat dengan ketersediaan angkutan publik yang lambat, turut mendorong booming sepeda motor.
Dengan alasan lebih cepat, efektif, efisien dan kemudahan dalam kepemilikannya, pengguna angkutan umum banyak yang beralih ke sepeda motor, termasuk pemanfaatan ojol oleh masyarakat ekonomi menengah ke atas.
“Pemberontakan”
Tapi fenomena kehebatan ekonomi sepeda motor dan solusi alternatif masalah transportasi umum, tak berbanding lurus dengan kebijakan pemerintah.
Pertama, layanan dan infrastruktur untuk kendaraan roda dua, justru semakin dipersempit dan belum mendapatkan perhatian serius.
Kedua, pemerintah seolah-olah merasa malu mempertontonkan sepeda motor yang merepresentasikan ekonomi lemah di ruang-ruang publik, sehingga muncul larangan dan pembatasan melewati jalan-jalan utama dan sebagainya.
Seperti kebijakan yang tertuang dalam Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 195 Tahun 2014 tentang Pembatasan Lalu Lintas Sepeda Motor.
Ketiga, sepeda motor dianaktirikan alias tidak mendapatkan hak yang sama, sebagaimana mobil dan sepeda yang memiliki jalur khusus.
Keempat, sejauh ini memang belum ada penelitian, tetapi bisa jadi tingkat kecelakaan yang tinggi dan pelanggaran yang sering terjadi adalah efek dari ketidakseriusan pemerintah memberikan perhatian terhadap para pengguna sepeda motor.
Termasuk “pemberontakan” berupa protes-protes keras dari kaum pemotor yang melawan kebijakan yang dirasa tidak adil.
Seperti yang terjadi baru-baru ini, para pengemudi ojol berdemonstrasi di depan Gedung DPR.
Ketua Presidium Garda, Igun Wicaksono, mengatakan, pihaknya menuntut tiga hal.
Pertama, memprotes keras wacana pembatasan sepeda motor di jalan nasional yang dicetuskan Wakil Ketua Komisi V DPR, Nurhayati Manoarfah.
Dalam rapat di Komisi V (26/2/2020), Nurhayati mengusulkan pembatasan jumlah sepeda motor di jalan raya dengan cara melimitasi kepemilikan kendaraan, termasuk roda dua.
Kedua, para mitra ojol meminta DPR melegalkan sepeda motor menjadi moda angkutan khusus terbatas.
Menurut mereka, hal itu bisa menjadi solusi sebelum ada angkutan umum yang layak, memadai, cepat dan nyaman bagi masyarakat.
Ketiga, para mitra ojol meminta DPR dan pemerintah merevisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Solusi Filantropi
Ada beberapa tawaran solusi untuk merealisasikan aspirasi para pemotor.
Pertama, membangun infrastruktur atau jalur khusus motor dan jalan layang khusus motor. Ini bisa dilakukan dengan pendekatan filantropis seperti pernah diimplementasikan Pemprov DKI Jakarta dalam pengadaan Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA) yang dibangun melalui dana CSR.
Termasuk pengadaan bus-bus pariwisata keliling kota (city tour) yang disediakan oleh perusahaan-perusahaan swasta.
Untuk mengejawantahkan gagasan ini, pemerintah bisa menggandeng korporasi otomotif dan agen tunggal pemegang merek.
Bahkan, negara produsen sepeda motor terbesar seperti Jepang, bisa diajak bekerja sama sebagaimana kesediaan mereka membangun jalan simpang susun Semanggi, sehingga tak perlu menggunakan APBD.
Untuk desain, Pemprov DKI Jakarta berpengalaman dengan pengadaan jembatan penyeberangan orang (JPO) yang instagramable. Ini bisa dijadikan contoh untuk pembangunan jalur khusus motor dan jalan layang khusus motor.
Sebagai referensi, Malaysia pernah memperkenalkan jalur khusus motor pada 1980 (Koran Sindo, 19/8/2015).
Negeri jiran ini menyediakan infrastruktur di beberapa ruas jalan raya dan jalan tol. Jalur khusus ini ditempatkan di sebelah lajur kiri dan hanya dapat digunakan untuk motor dengan kapasitas mesin di bawah 250cc.
Penerapan jalur khusus motor diklaim dapat menurunkan tingkat kecelakaan motor sebesar 39%, sedangkan untuk tingkat fatalitas anjlok hingga 83%.
Dalam kurun waktu satu tahun setelah pembukaan jalur khusus motor, terjadi penurunan angka kecelakaan sebesar 39%.
Banyak pihak yang menyebut, selain Malaysia, belum ada negara yang membangun fasilitas khusus untuk pengguna motor.
Ini tentu memiliki alasan, antara lain misal, pada negara-negara empat musim, motor bukan jenis transportasi yang nyaman digunakan.
Selain karena jalan yang licin (termasuk gurun), juga karena pengendara bisa tersiksa oleh cuaca dingin.
Begitu pula sebaliknya, untuk negara-negara panas seperti Afrika dan Timur Tengah, para pengguna motor akan tersiksa oleh cuaca ekstrem.
Sementara di negara-negara yang menerapkan biaya parkir mahal dan transportasi publik memadai, masyarakat lebih memilih menggunakan angkutan umum ketimbang motor. Selain itu, membawa barang besar dengan motor adalah tindakan ilegal.
Kedua, solusi kebijakan memperbolehkan motor menggunakan jalan tol, seperti pernah disampaikan Ketua MPR, Bambang Soesatyo, saat menjabat ketua DPR.
Bamsoet kala itu, mengusulkan agar pemerintah menyediakan jalur selebar 2,5 meter disertai pembatas di jalan tol untuk lintasan pemotor.
Instruktur Safety Riding Rifat Drive Labs Andry Berlianto, menyebutkan, beberapa negara seperti Malaysia, Jepang dan beberapa negara di Eropa, membebaskan pemotor melenggang di jalan tol (Detik.com, 29/1/2019).
Meski demikian, perlu diingatkan bahwa berdasarkan riset Bank Pembangunan Asia (ADB), sebagian besar kematian akibat kecelakaan sepeda motor terjadi di Asia, dengan proporsi mencapai 78%.
Data Polri menyebutkan, pada 2013 kecelakaan lalu lintas menyebabkan korban jiwa mencapai 26.486 orang, di mana 70% nya didominasi pengendara roda dua.
Lima penyebab utama kecelakaan motor adalah cara mendahului yang salah di pertigaan, salah memperhitungkan lintasan tikungan, terlalu dekat dengan kendaraan di depan, kecepatan tidak sesuai keadaan, kondisi motor tak mendukung keamanan. Karena itu, kampanye keselamatan pengendara (safety riding) harus terus digalakkan dan dikampanyekan.
Selanjutnya, mengutip Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat, Djoko Setijowarno, Indonesia harus memiliki roadmap kebijakan sepeda motor.
Karena seperti kaum petani di masa lalu, kini para pemotor seolah-olah menjadi representasi mereka di era industri 4.0 di negeri ini.
Nasib mereka mesti diperhatikan dan diperjuangkan. ***