Opini Rektor UMB, Penerapan Ganjil Genap yang Berkeadilan

Rektor UMB Dr. Arissetyanto Nugroho, MM, IPU, CMA, MSS

Opini Rektor UMB

Dr. Arissetyanto Nugroho, MM, IPU, CMA, MSS

Kemacetan lalu lintas di Jakarta adalah persoalan sangat serius. Kondisinya kemacetan telah merambah pada ruas jalan non protokol. Tidak hanya pada jam sibuk kerja terjadi kemacetan, juga terjadi di luar jam sibuk kerja. Artinya kemacetan di Jakarta terjadi hampir setiap saat.

Pemerintah DKI Jakarta terus berupaya keras melakukan berbagai terobosan untuk menemukan solusi kemacetan. Mulai dari penerapan Three in One dan penyediaan transportasi publik, seperti Transjakarta, hingga penerapan kebijakan pembatasan operasional kendaraan berbasis nomor Ganjil – Genap.

Tidak terasa kebijakan ganjil genap di Jakarta yang dituangkan dalam Pergub No.164 Tahun 2016 tentang Pembatasan Lalu Lintas Dengan Sistem Ganjil Genap sudah berjalan dua tahun. Selama dua tahun kegaduhan kebijakan ganjil genap masih kerap terdengar. Meski pada satu sisi, banyak pengendara mobil yang telah menerima kebijakan ganjil genap dengan segala penyesuaian.

Kira tepat mengupas kebijakan ganjil genap secara tersendiri. Khususnya melihat dari sisi implikasinya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Misalkan dari sisi ganjil genap sebagai solusi mengurai kemacetan atau tidak? Apakah kebijakan ganjil genap itu berkeadilan atau tidak? dan lainnya.

Pergub No.164 Tahun 2016 tentang Pembatasan Lalu Lintas Dengan Sitem Ganjil Genap pada awalnya berlaku bagi empat ruas jalan. Serta sebagian jalan Gatot Subroto – HR. Said. Pembatasan itu pun pada waktu terbatas yakni pukul 07.00 – 10.00 dan 16.00 – 20.00 WIB. Kini diperluas pada sejumlah ruas jalan lain dengan pertimbangan mendukung pelaksaan Asian Games di Jakarta.

Jumlah Mobil, Pajak Kendaraan dan Kemacetan

Tentu saja memahami kebijakan ganjil genap dan kemacetan itu tidak bisa dilepaskan dari jumlah kendaraan yang beroperasi. Data pada Polda Metro Jaya mencatat penambahan mobil pribadi sekitar 1 juta unit kendaraan pribadi setiap tahun nya. Pada tahun 2015 jumlah mobil berada pada angka 10.4 juta unit, lalu naik menjadi 10.9 juta unit pada tahun 2016. Kemudian, baru sampai bulan Februari 2017, angka tersebut naik kembali menjadi 10.95 juta unit.

Menariknya kenaikan jumlah mobil pribadi itu sejalan dengan laporan Gabungan Industri Kendaraan Bermotor (GAIKINDO). Bahkan pada tahun 2018 ini GAIKINDO menargetkan peningkatan penjualan kendaraan bermotor mencapai 1,1 juta unit.

Peningkatan pembelian kendaraan mobil pribadi bisa dimaknai berbagai prespektif. Dari sisi ekonomi peningkatan jual kendaraan mobil sebagai instrument meningkatnya pendapatan masyarakat. Artinya kesejahteraan masyarakat dinilai membaik dari tahun sebelumnya.

Pada sisi sosial peningkatan pembelian kendaraan mobil pribadi sebagai instrument perubahan kelas menengah. Meskipun data penjualan mobil itu perlu dibedah lebih mendalam, agar dapat melihat lebih detil penyebaran kepemilikan mobil pada masyarakat kelas menengah.

Sedangkan dari sisi pemerintah daerah, peningkatan jumlah kendaraan pribadi sebagai sumber peningkatan pajak daerah. Baik dari sisi pajak pembelian, pajak balik nama sampai pada pajak kendaraan bermotor (PKB).

Berdasarkan data Pemprov DKI Jakarta 2017 target Pajak Kendaraan Bermotor mencapai Rp. 7,7 triliun, ternyata realisasinya mencapai Rp. 8 triliun. Sedangkan pajak Biaya Balik Nama Kendaraan Bermotor pada 2017 ditargekan Rp. 5 triliun, realisasinya sekitar Rp. 5,03 triliun.

Angka pendapatan pajak itu belum dihitung dari para wajib pajak yang menunda melunasi pajak kendaraannya. Berdasarkan data tercatat 725.000 unit kendaraan roda empat belum melakukan pedaftaran ulang, sedangkan jumlah kendaraan roda dua yang menunggak sebanyak 1,7 juta unit.

Dengan melihat angka tersebut sangat beralasan jika pajak kendaraan bermotor merupakan sumber pajak DKI Jakarta yang menggiurkan. Pemerintah DKI Jakarta pun menempatkan pajak kendaraan sebagai tulang punggung pajak daerah.

Jumlah kendaraan yang sangat banyak di Jakarta, serta pendapatan kendaran daerah yang menggiurkan bagi pemerintah Jakarta, tidak sejalan dengan penambahan badan jalan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) DKI Jakarta mencatat, per 2016, jumlah kendaraan di Jakarta sebanyak 18 juta unit. Jumlah itu meningkat 50 persen dibandingkan 2010, yang masih sebanyak 12 juta unit. Dari jumlah itu, sekitar 70 persen merupakan sepeda motor, sedangkan mobil sekitar 24 persen.

Dengan jumlah kendaraan sebanyak itu, total panjang jalan di Jakarta hanya 6.900 km. Hal itu membuat rasio panjang jalan (tidak termasuk jalan tol) terhadap jumlah kendaraan menjadi 1:2.077 berdasarkan data 2015. Rasio itu berarti tiap 1 km jalan melayani 2.077 unit kendaraan. Bandingkan dengan DIY yang kepadatan lalu lintasnya nomor dua di Indonesia, rasionya hanya 1:785, atau hanya sepertiga daripada Jakarta.

Rasanya pantas pula melihat hubungan kemacetan dengan tingkat polusi. Sebuah organisasi lingkungan, Greenpeace Indonesia melaporkan polusi di Jakarta pada tahun 2016 berada pada level 4.5 kali ambang batas yang ditetapkan WHO. Hal itu sejalan pula dengan data dari BPLHD DKI bahwa udara Jakarta terdapat Nitrogen Dioksida, Hidrokarbon non Metana dan Karbon dioksida yang berada dibawah ambang baku mutu kualitas udara. Balitbangkes Kemenkes menyatakan bahwa polusi di Jakarta mencapai taraf berbahaya.

Kemacetan telah menelan kerugian materi. Data Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) menyebut nilai kerugian mencapai Rp. 100 triliun pada tahun 2017. Rangkaian fakta tersebut menegaskan persoalan kemacetan di Jakarta perlu solusi serius.

Ganjil Genap yang Berkeadilan

Kebijakan pembatasan kendaraan dengan system ganjil genap bukanlah hal baru. Sejumlah negara telah menerapkan kebijakan tersebut, antara lain Meksiko, Kolombia, Cina dan Perancis. Dasar pertimbangan kebijakan itu pun hampir sama antar negara manapun, yakni mengurai kemacetan lalu lintas.

Pembatasan kendaraan juga terjadi pada negara Singapura. Jika mencontoh pada negeri yang berjuluk 1001 Larangan ini, kebijakan pembatasan kendaraan pribadi terlihat lebih ekstrem. Mulai dari harga kendaraan yang empat kali lebih mahal dari mobil di eropa, sampai pajak kendaraan yang selangit.

Namun demikian beberapa negara yang menerapkan pembatasan kendaraan dengan berbagai pola tersebut, memiliki kesamaan dalam penerapan pajaknya. Antara lain mahalnya pajak kendaraan diikuti dengan fasilitas angkutan umum yang memadai. Bahkan di Perancis menetapkan pajak kendaraan pribadi yang tinggi, namun menggratiskan angkutan umum bagi masyarakatnya.

Kondisi inilah yang berbeda dari kebijakan ganjil genap di Jakarta. Kebijakan ganjil genap sesuai pada konsideran Pergub No. 164 Tahun 2016 menitik beratkan pada efisiensi dan efektifitas penggunaan ruas jalan dan pengendalian lalu lintas saja. Berbeda dengan negara-negara lain, dimana kebijakan ganjil genap kendaraan mengarah pada upaya pengguna kendaraan pribadi untuk menggunakan transportasi publik.

Sedangkan pada penetapan pajak kendaraan juga tampak perbedaan. Di berbagai negara maju, seperti Perancis dan Singapura menetapkan pajak kendaraan sangat mahal. Agar memaksa masyarakat tidak membeli kendaraan pribadi. Namun sekaligus menyiapkan transportasi publik yang memadai bagi masyarakat.

Di Jakarta penerapan pajak kendaraan cukup tinggi. Tetapi sarana transportasinya tidak tersedia baik. Hal-hal tersebut yang diraskan tidak berkeadilan. Pemerintah membiarkan masyarakat terjebak dalam kondisi sulit tanpa pilihan, bahkan terkesan terpaksa.

Pajak kendaraaan bermotor yang tertuang dalam Pergub No. 38 Tahun 2018 itu mengatur wajib pajak membayar pajak kendaraan berdasarkan nilai jual kendaraan bermotor dan bobot relative kerusakan jalan serta pencemaran lingkungan. Hal tersebut jelas tertuang pada Pasal 4 ayat (2).

Perbedaan lain terlihat pada waktu penggunaan kendaraa pribadi. Di Negara Singapura pengguna kendaraan pribadi pada hari kerja dikenakan pajak yang berbeda dengan pengguna kendaraan pribadi pada hari libur (sabtu-minggu). Pilihan besaran pajak ditetapkan sejak awal pembelian mobil. Pemerintah Singapura juga menerapkan sanksi berat kepada pengguna kendaraan pribadi yang melanggar kebijakan. Sanksinya bukan hanya pelanggaran lalu lintas saja, tetapi juga pelanggaran pajak.

Sedangkan di Jakarta pengguna kendaraan pribadi dikenakan pajak setahun penuh sesuai Pergub No. 38 Tahun 2018. Sedangkan beroperasinya kendaraan pribadi itu dibatasi penggunannya sesuai Pergub No. 164 Tahun 2016 tentang Pembantasan Kendaraan Dengan system Ganjil Genap. Hal ini yang menimbulkan pertentangan peraturan dan pelanggaran hak wajib pajak.

Padahal sebagaimana dijelaskan pada Pergub No.38 Tahun 2018 itu penetapan pajak kendaraan berdasarkan dua hal, pertama Nilai Jual Kendaraan Bermotor (NJKB) dan kedua relatif kerusakan dan penceraman lingkungan terhadap penggunana kendaraan bermotor. Dengan demikian penerapan ganjil genap telah mengurangi pula tingkat relatif kerusakan jalan dan pencemaran lingkungan yang menjadi dasar penerapan pajak kendaraan bermotor.

Dari pandangan itu perlu evaluasi besaran pajak kendaraan bermotor di Jakarta, dengan meniru penerapan pajak kendaraan di luar negeri. Sekaligus pemerintah berusaha keras menyediakan transportasi publik yang memenuhi harapan. Bahkan jika perlu membebaskan biaya penggunaan angkutan publik, sekaligus menaikan beban pajak kendaraan pribadi.

Melalui tulisan ini tepat kiranya kita mengevaluasi program Ganjil Genap, sekaligus meminta pemerintah DKI Jakarta melakukan sinkronisasi kedua peraturan itu, selanjutnya berupaya maksimal menyediakan angkutan publik yang memadai dan baik, serta kemudian penerapan pajak kendaraan pribadi yang proposional sesuai waktu penggunaanya. Dengan demikian rasa keadilan para wajib pajak dapat terpenuhi. ***

Penulis: Rektor Universitas Mercu Buana (UMB)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *