Opini oleh Ustadz Felix Siauw: PENAWAR JIWA

Ustadz Felix Siauw.foto: kiblat.net

Opini oleh Ustadz Felix Siauw

Manusia bisa berkata apapun, tapi engkaulah yang mendefinisikan siapa dirimu. Sebab tak ada satupun yang bisa menyakitimu kecuali atas izinmu. Kita tak punya kuasa mengendalikan lisan orang lain, tapi kita selalu punya pilihan dan wewenang untuk berdaulat atas jiwa kita, atas hati dan pikiran kita

Karena itulah kita tidak pernah dihisab atas caci maki orang lain, tapi kita punya kesempatan beroleh pahala dari kesabaran dan respons baik pada saudara kita. Balas permusuhan dengan ukhuwah, beri kelembutan bagi mereka yang kasar, tampilkan prasangka baik pada yang menuduh, itu yang diajarkan Allah pada kita

Hanya yang berpenyakit hasad pada dirinya, yang tak suka melihat kebahagiaan, hanya yang hatinya dipenuhi amarah, yang tak suka persaudaraan. Maka wajar orang-orang seperti ini berusaha memisahkan satu kaum Muslim dengan Muslim yang lainnya. Hanya dirinya yang boleh benar, yang lain tidak

Bagi saya, ber-Islam berarti menemukan kenikmatan menyembah Tuhan yang benar, karenanya kita pasti akan lebih menyayangi manusia, respect pada kemanusiaan. Ber-Islam berarti lebih banyak bergaul dengan manusia, apapun latarnya, sebab tugas kita adalah memberi tahu manusia, betapa indahnya Islam.

Di situ, kafir, bid’ah, dan musyrik hanya sebutan saja, tapi hakikatnya, mereka adalah saudara yang kita sayangi, sebab kita ingin mereka beroleh hidayah. Karenanya lucu, bila ada yang menganggap seseorang itu kafir, bid’ah, musyrik, lantas menjauhi, mencaci, membenci, bahkan bertindak kasar.

Bukankah kita ini semua pendakwah?

Memperbaiki dan memberikan kebaikan? Lalu bagaimana orang lain bisa berubah sedang kita sudah memvonis mereka neraka. Alhamdulillah, contoh kita bukan manusia zaman now, yang begitu mudah menghakimi dan memutus asa untuk menjadi baik, contoh kita Rasulullah.

Beliau meneladankan kita, cintai Allah, maka kita akan senantiasa cintai manusia sepenuhnya.

Kafir Atau Non-Muslim

Sebelum rekomendasi “Non-Muslim” menggantikan kata “Kafir” diberikan pun, kita orang Indonesia, sudah sangat hati-hati dan sangat ingin menjaga perasaan saudara kita di Indonesia meski berbeda agama

Saya misalnya nggak pernah memanggil atau menyebut ibu dan ayah saya dengan kata-kata “woy kafir, makan yuk”. Kita selalu memanggil dan menyebut orang berdasarkan titel lain yang mereka nyaman didalamnya

Misal, “Mau kemana pi?” atau “Makan yuk mi?”, “Bajunya bagus tante”, dan lain sebagainya. Tidak hanya di Indonesia, di dunia saya juga melihat hal yang sama, mereka punya padanan kata terhadap kata kafir, misalnya non-Muslim atau selain Islam

Hanya yang menjadi permasalahan bukanlah hal itu. Tapi sebuah ide pemikiran yang ada di belakangnya. Bahwasanya kata “kafir” tidak boleh digunakan dalam konteks kewarganegaraan. Ini yang berbahaya

Karena ada upaya ingin menaruh negara diatas agama, bahasa kerennya “ayat konstitusi diatas ayat suci”. Di mata negara, tidak ada kafir dan mukmin, sebagaimana negara sekuler yang lainnya

Inilah pemikiran liberal yang sangat berbahaya, bagi mereka kata kafir dan Muslim harus dihilangkan dalam konteks kewarganegaraan, walau dalam istilah teologis masih dibolehkan. Melatih cara berpikir sekuler bukan? Bahwa jangan bawa-bawa agama, jangan bawa-bawa Allah dalam urusan bernegara

Apa lagi yang menjadi hal yang harus diwaspadai dalam polemik “Kafir atau Non-Muslim” ini? silakan saksikan videonya, semoga manfaat. ***

https://youtu.be/nncUjTd5Rwo

Sumber: [PAS – Pendidikan Akal Sehat].

#MajelisIlmuMillenial

#PendidikanAkalSehat

#SalamRinduUlilAlbab

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *