Opini by Zeng Wei Jian: The Politics of Hatred

Zeng Wei Jian. foto: internet

Wakil Ketua Advokasi DPP Partai Gerindra, Hendarsam Marantoko alias Hence menyatakan, “Poros Tengku Umar-Kertanegara (Megawati, Jokowi, Prabowo) akan terbentuk secara alamiah”.

Hari ini tanggal 08 Agustus 2019, Pa Prabowo datang ke Kongres PDI-Perjuangan di Bali. “Anak Banteng” sambut kedatangannya dengan meriah.

Karangan bunga dari Pa Prabowo jadi obyek selfi Kader-Kader PDI-Perjuangan.

Para Pimpinan dari Partai Demokrat, PKS, dan PAN ngga keliatan. Mungkin tidak diundang. Surya Paloh lesu darah. Dia ingin pertahankan posisi Jaksa Agung tetap milik Nasdem. Ibu Megawati tak bisa menyembunyikan kegembiraan di pidatonya. 

Kolaborasi tiga pihak ini mengubah peta politik. Minimal ada dua impact.

Pertama, Pasca Pertemuan Mega-Pro, semua “anak banteng” struktural mendatangi Pengurus Gerindra di daerah.

Kader Gerindra dianggap “saudara”. Mereka senang. Kedua Partai punya langgam serupa; Partai Nasionalis Patriotik.

Koalisi PDI-Perjuangan dan Gerindra dipastikan memenangkan mayoritas Kepala Daerah yang diusung keduanya di Pilkada 2020. No political power would be able to stop their rage.

Bayangkan spanduk Calon Walikota dengan background Ibu Megawati di kiri dan Pa Prabowo di kanan. “Seng ada lawan,” kata Lawyer Ali Lubis.

Kedua, The end of political hatred culture. Gerindra, Pa Prabowo, Ibu Megawati, Jokowi, PDI-Perjuangan, Hendarsam Marantoko dan semua kader mengakhiri kultur politik kebencian yang entah ditanam oleh siapa.

The Politics of hatred telah menjadi trend global. Di Israel, Netanyahu’s victory disebabkan exploitasi rhetorica anti-Muslim dan anti-Palestine. Di atas kedua platform rasa benci itu, dia dorong visi membangun “Greater Israel” at the expense of Palestinians.

Radio Host Bill Kelly mengatakan, “The politics of hatred is tearing us apart.”

Segelintir orang meneruskan praktek politics of hatred itu. Mereka meradang melihat Pa Prabowo, Ibu Megawati dan Puan Maharani potret diri. Beredarnya foto Pa Prabowo dengan Hendropriyono dan Diaz membuat orang-orang itu kesurupan.

Sebelumnya, mereka hanya benci kepada Jokowi dan Megawati. Sekarang mereka pun benci Pa Prabowo.

Caci-maki mereka kasar. Untungnya, mereka sedikit. Semakin terisolasi dalam ruang yang gelap. Ya mereka sendirian. Hanya ditemanin rasa benci mereka yang irasional.

Akhirnya mereka menulis sebuah catatan sarkasme. Judulnya memuji Prabowo. Isinya menghasut dan adu domba PDI-Perjuangan vs Gerindra.

Mereka senyawa dengan praxis Kelompok TKN 01 yang marah akibat Ibu Megawati merangkul Pa Prabowo masuk pemerintahan.

Narasi Para Ampas Politik

Ada residu TKN 01 dan BPN 02. Obyektif Mereka; Melemahkan Megawati sekaligus menendang Prabowo keluar arena politik. Modusnya; The politics of hatred.

Residu TKN 01 hendak mempertahankan status quo. Poros Jokowi-Megawati-Prabowo bisa mengubah landscape politik.

Sayap kiri Residu BPN 02 hanya memuaskan amarah. Sayap kanan pura-pura dukung Prabowo tapi menyiapkan figur baru. Tendang Jokowi dan Prabowo sekaligus. Satu batu bunuh dua ekor burung. All at once.

Residu lain adalah oknum Partai Demokrat. Mereka membangun narasi Jokowi dan Megawati hina Prabowo di Kongres Bali. Narasi itu menyatakan Prabowo pura-pura diundang hanya dijadikan “badut politik”.

Narasi jahat ini ditelan kaum sumbu. Enggan mikir. Full of anger. Rasis. Politics of hatred.

Mentalitas Gerombolan dan Psikologi ikut-ikutan diexploitasi abis. Target narasi ini adu domba. Mereka tak ingin PDI-Perjuangan dan Gerindra membangun poros kuat di pilkada 2020. Di tengah jalan, Jokowi-Makruf bisa dijatuhkan.

Residu hitam nyerang Jokowi dan Megawati. Seolah menjadi “Pendukung Prabowo”. Padahal tidak ada instruksi serang. Apalagi secara brutal dan tidak etis. Mereka adalah kelompok politics of hatred.

Mereka pula yang menyebabkan Paslon 02 kalah di Bali, NTT dan daerah minoritas lain.

Prabowo-Sandi berulang kali menyerukan “Jangan mainkan kartu SARA”. Mereka ngga patuh.

Alhasil, isu khilafah dan radikalisme nancep di kepala minoritas. Baru kali ini elemen NU bersatu hadapi “common enemy”. Yeni Wahid ngga keberatan satu kubu dengan Panglima Santri Cak Imin. Mereka tidak benci Prabowo-Sandi secara pribadi.

Seandainya para pemain politik kebencian ini marah akibat kalah telak di Bali mbok ya jangan ngipas-ngipas dan tunggangi Prabowo. ***

THE END

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *