Ontologi Kebencian

Mungkin sedikit diantara kita yang sadar kian merebaknya gejala kebencian. Ontologi kebencian tajuk tulisan ini adalah gejala umum masyarakat Indonesia masa belakangan sebagai akibat perbedaan, iri atau tidak suka. Maka kajian hakikat secara ontologi kebencian itu mungkin diperlukan, mengingat kalau saja kebencian berkembang, kita sulit membayangkan apa yang akan terjadi pada bangsa inii. Paling tidak kesatuan nasional pasti akan goyah. Yang tentu tidak kita inginkan.

Memang, tidak cukup sekadar faham apa kebencian tapi apa akibat dari kebencian. Sebab menyebarluaskan kebencian mustahil tidak ada tujuannya, tokh jika ada kebencian itu tidak dasarnya pasti kebencian tidak akan pernah ada. Sama halnya, jika tanpa ada motivasinya atau tujuannya maka adanya sesuatu itu tidak akan berwujud. Sekarang? Rasa asanya kebencian itu ibarat virus yang menyebar keseluruh tubuh.

Sekadar contoh sebutlah tertangkapnya Patrialis Akbar hakim MK oleh KPK. Dinyatakan dia (semula) tertangkap tangan (OTT) menerima uang berada bersama seorang wanita.Tuduhan korupsi nya adalah kaitan dengan satu judicial review tentang undan undang import daging tahun 2015. Bagaimana tertangkap tangan tahun 2017 padahal dakwaannya pada kasus tahun 2015. Ada apa dibalik ini semua ?

Coba perhatikan lagi, dia dinyatakan terkena operasi tangkap tangan (OTT) dengan seorang wanita seolah olah Patrialis Akbar bersama wanita mesum. Yang benar wanita itu adalah isterinya sedang berjalan bersama di sebuah shoping centre di jakarta Pusat. Sementara menerima uang dari seseorang. Ternyata tidak ada orang itu. Dilanjutkan dengan penjelasan ada voucher uang asing pada seseorang.Akan diberikan. Yang tidak dikenal oleh Patrialis.

Kasus ini menyebar sangat luas di media sosial. Patrialis Akbar pun segera ditersangkakan oleh KPK dan MK segera memberhentikannya dan memperoses seleksi hakim MK yang baru. Berlangsung cepat. Ditangkap, ditersangkakan, diberhentikan dan diganti dengan hakim yang baru.

Kasus ini, patut diduga ada unsur apa apanya, kalau tak ada berada masakkan tempat bersarang rendah kata metafora klasik moyang kita. Yang di pahami ada berada itu, yaitu ada kebencian. Patrialis Akbar membantah menerima uang, ia merasa dizalimi. Terdapat dugaan, ia dibenci karena dinilai tidak pro Ahok. Sementara ia hakim berasal dari unsur pemerintah yang seyogynya pro pemerintah dan Ahok.

Tersirat juga juga gejala kurang sehat dalam hal kenapa reaksi KPK cepat sekali. Langsung dan diganti.Tak sama dengan unsur korupsi Basuki Purnama (Ahok) Gubernur DKI Jakarta non aktif, Laporan disampaikan oleh lembaga resmi BPK tapi tidak direspon oleh KPK bahkan mengatakan tidak terdapat bukti cukup permulaan yang cukup. Hingga sekarang.

Kasus Patrialis Akbar adalah kasus luar biasa, dan kasus Ahok juga luar biasa. Yang satu reaksi cepat diterdakwakan, yang satu reaksinya cepat ditutup dengan respon tidak ditangkap karena tidak ada bukti permulaan yang cukup.Yang jelas lain Patrialis Akbar lain Ahok

Apa unsur atau apa apanya, dari KPK sehingga berprinsip dan merespon seperti itu, sungguh kita tidak tahu. Yang tahu persis adalah personal yang duduk dalam lembaga KPK. Biarlah mereka menjelaskan (kalau mau) kepada publik nanti.

Namun sebagai kajian pembelajaran akademik, kita mencoba melihat persfektif ontologi pada kebencian dalam fiilsafat. Pada intinya adalah menjawab apa unsur kebencian,dan untuk apa menciptakan kebencian.

Terminologi kata kebencian, adalah benci kata sifat, berubah kebencian awalan ke dan akhiran an, menjadi kebencian menjadi kata benda. Sejatinya arti kata benci adalah tidak suka, tidak senang. Menurut kamus bahasa Indonesia, kebencian berkembang maknanya menjadi sangat tidak suka.

Di kaitkan ontologi sebagai logika, dalam fungsi kata kebencian ada hakikat (ontos logos ,hakikat apa). Disini, gunanya adalah untuk menolak.mengabaikan, menyerang. Mencederai. Dengan kata lain, kebencian yang fungsional menolak dan menyingkirkan.

Hemat penulis, inilah ontologi kebencian. Yaitu fungsioanl dari sikap tidak suka,sikap yang mau menyikirkan apa yang dibenci. Demikianlah titik tekan tujuan, sasaran dan urgensi dari kebencian..

Pengertian inilah agaknya yang berkembang dari takrif ontologi kebencian yang bermunculan sebagai fenomena sosial termasuk hukum. Wujud dari kebencian itu dilakukan kutak kutik manajerial (manejemen base on hateness). Hal itu dapat dilakukan sebagai bagian aspek tujuan dari kebencian, dapat dikemukakan sebagai berikut

Pertama, aspek fungsi untuk memberi citra tercela. Seperti labeling korupsi dari peraturan perundangan. Untuk kebencian pada Patrialis Akbar adalah dengan memberi label korupsi kepadanya. Mencemarkan nama baik

Kedua, menciptakan pesan langsung atau palsu. Mengada ada, contohnya perbuatan makar kepada Rahmawati, Mayjen TNI Purn. Kivlan Zein, Hatta Taliwang, serta Mayjen TNI Purn. Aditiawarman dll. Tuduhan yang tidak berdasar kuat yang dibantah pihak bersangkutan

Ketiga, menciptakan unsur politik buruk. Seperti Pesantren sumber paham radikal/teroris.Yang amat menganggu umat Islam khususnya pembina Pesantren.
Demikianlah sekurang kurangnya pangkal isu yang membahayakan.Yang berakibat dapat menebar kebencian dalam atau antar komponen bangsa. Yaitu kebencian dengan mengatakan koruptor, kebencian dengan menebarkan berita bohong,palsu, seperti perbuatan makar dan menebar kebencian melalui kompanye buruk pesantren sumber teroris.

Akhirnya Ontologi kebencian memberikan persfektif keilmuan kepada kita. Bahwa kebencian harus disadari apa tujuannya. Dengan demikian antsipasi pemikiran yang merusak harus kita atasi. Yakni menghilangkan sebabnya, Yaitu benci, ingin menyingkirkan,ingin mencederai orang lain dlsbnya.Sudah saatnya kita menguburkan kebencian, berdampak perpecahan pada kita sesama komponen bangsa. Semoga. (lin)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *