Oleh Ahmad Daryoko *
semarak.co-Masalah siapa men subsidi siapa, ini tergantung Ideologi yang dipakai.
- IDEOLOGI ETATISME (NASIONALISME)/TA’JUL FURUDZ(ISLAM).
Menurut Etatisme/Ta’jul Furudz yang menjadi “ruh” dalam Panca Sila, Negara berkewajiban melindungi segenap tumpah darah dan bangsa Indonesia, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan fasilitas umum…dst (Pembukaan UUD 1945).
Sehingga apabila Negara mendirikan BUMN semacam PLN, maka biaya operasi kelistrikan yang timbul menjadi tanggung jawab Negara. Bukan tanggung jawab rakyat sebagai konsumen (mengingat pembukaan UUD 1945/Konstitusi diatas).
Bisa saja dalam memproduksi listrik, Negara kekurangan dana. Maka rakyat/konsumen yang menutup kekurangannya dalam bentuk “iuran listrik”! Misal biaya produksi listrik sebesar Rp2.000 per kWh. Sementara dana Negara hanya mampu Rp800 per kWh.
Maka rakyat yang nombokin kekurangannya sebesar Rp1.200 per kWh dengan istilah Iuran listrik. Maka jaman dahulu orang membayar listrik itu dengan istilah membayar iuran listrik!
- IDEOLOGI KAPITALIS.
Semenjak 1970 an, atas akal akalan John Perkins (agen CIA bidang ekonomi dalam bukunya “The Confession of an Economic Hitman” atau “Pengakuan dosa agen perusak ekonomi”) cara pandang yang semula Etatisme/Tak’jul Furudz diatas dirubah dengan cara pandang Kapitalis, yaitu menempatkan Negara sebagai pedagang listrik dan rakyat menjadi Konsumen nya.
Dalam hal ini biaya produksi kelistrikan menjadi tanggung jawab rakyat/konsumen. Negara sekedar memproduksi dan menjualnya. Sehingga kalau ada kekurangan biaya produksi, maka Negara yang akan memberikan subsidi. Artinya secara prinsip Negara tidak punya tanggung jawab lagi mewujudkan kesejahteraan rakyat sebagaimana Pembukaan UUD 1945.
Dalam istilah subsidi, Negara menempatkan diri sebagai sosok Pedagang yang berbaik hati kepada rakyat. Namun tetap saja kewajiban pengadaan listrik tetap berada di pundak rakyat. Dan suatu ketika karena beribu alasan dapat saja subsidi tersebut dicabut karena bukan menjadi kewajiban Negara!
Misal biaya produksi listrik Rp 2.000 per kWh, dan Negara hanya akan membiayai yang Rp 800 per kWh, maka rakyat/konsumen diharuskan membayar Rp 1.200,- per kwh (sebagai kewajiban), sedang yang Rp800 per kWh akan dihitung sebagai subsidi (bukan kewajiban, karena setiap saat bisa dicabut).
KESIMPULAN:
Istilah “subsidi” ini memang di design jauh jauh sebelum terjadinya privatisasi/penjualan/swastanisasi PLN. Yang dalam hal ini di ciptakan oleh John Perkins pada era 70 an.
Dan setelah Jawa-Bali nantinya di serahkan sepenuhnya ke swasta dalam mekanisme pasar bebas kelistrikan secara kompetisi penuh (MBMS=Multy Buyer and Multy Seller) System, maka dengan gampangnya Pemerintah akan bilang subsidi dicabut (karena memang bukan kewajiban).
Dan selanjutnya PLN Luar Jawa-Bali diserahkan PEMDA (terserah dengan System iuran, subsidi, atau diserahkan ke pasar bebas juga).
JAKARTA, 12 PEBRUARI 2022.
*) penulis adalah Koordinator INVEST.
sumber: WAGroup PERKOKOH PERSATUAN MUSLIM (postMinggu13/2/2022/yantishu)