Komisi X DPR RI segera memanggil Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu’ti untuk membahas putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang pendidikan gratis jenjang Sekolah Dasar (SD) hingga Sekolah Menengah Pertama (SMP) baik di sekolah negeri maupun swasta.
Semarak.co-Di mana putusan MK itu mengabulkan sebagian uji materi Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) yang memperluas kewajiban pemerintah dalam menjamin pendidikan dasar bebas biaya, termasuk di sekolah swasta.
Wakil Ketua Komisi X DPR dari Fraksi PKB Lalu Hadrian Irfani mengatakan bahwa pemanggilan Mendikdasman Abdul Mu’ti akan dilakukan setelah masa sidang dibuka kembali. Menurut Lalu Irfan, pemanggilan dilakukan untuk membahas pelaksanaan teknis dan kebijakan terkait pendidikan gratis itu.
“Termasuk pembiayaan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau APBN. Tentu skemanya (pembiayaan) akan kami diskusikan dengan pemerintah dalam hal ini Kemdikdasmen,” kata Lalu Irfan saat dihubungi wartawan, Kamis (29/5/2025)
Selain itu, terang Lalu Irfan, Komisi X juga akan membahas revisi UU Nomor 20 Tahun 2003 guna menyesuaikan norma hukum baru yang ditetapkan oleh MK, termasuk hak-hak siswa, guru, dan sekolah. Putusan MK itu juga menjadi momentum mendorong pemerintah agar alokasi anggaran pendidikan 20% dari APBN benar-benar direalisasikan secara optimal.
“Kami tetap perjuangkan agar mandatory spending 20% untuk pendidikan itu benar-benar untuk kepentingan pendidikan. Saat ini belum total ke pendidikan,” ujar Lalu Irfan seperti kemudian dilansir beritasatu.com, Kamis, 29 Mei 2025 | 15:17 WIB.
Sebelumnya Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) mengonfirmasi bahwa pihaknya masih mengkaji putusan MK yang mewajibkan pendidikan dasar gratis di sekolah negeri dan swasta itu.
Mendikdasmen Mu’ti menyampaikan pihaknya belum memberikan respons lengkap terkait keputusan tersebut. “Kami masih menganalisis keputusan MK,” kata Mendikdasmen Mu’ti dikutip dari Kompas.com, Rabu (28/5/2025).
MK memutuskan menggratiskan pendidikan dasar di tingkat SD, SMP, dan madrasah atau sederajat baik swasta maupun negeri dalam Putusan Nomor 3/PUU-XXII/2024. Keputusan tersebut dibacakan Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih, Selasa (27/5/2025).
Saat ditanya soal ketersediaan anggaran untuk realisasi kebijakan tersebut, Abdul tidak memberikan respons. Wakil Menteri Dikdasmen Fajar Riza UI Haq menyampaikan hal serupa bahwa pihaknya masih mengkaji putusan tersebut. “Ya, kami sedang dalam proses pengkajian di internal, tentu juga kita akan menunggu arahan Bapak Presiden mengenai hal ini,” kata Fajar.
Fajar mengatakan putusan baru saja diputuskan oleh MK sehingga pihaknya belum menerima salinan resminya. Proses kajian akan dilakukan secara internal sembari menunggu instruksi lebih lanjut dari Presiden Prabowo Subianto.
Menurut Fajar, implementasi putusan MK untuk menggratiskan pendidikan dasar baik negeri maupun swasta memerlukan pengelolaan dan tanggung jawab yang sejalan antara pemerintah daerah dengan pusat. Pendidikan dasar SD dan SMP berada di bawah pengelolaan dan tanggung jawab pemerintah daerah.
Putusan MK menyatakan pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya, baik untuk satuan pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun satuan pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh masyarakat.
Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menyampaikan pendidikan dasar gratis merupakan bagian dari pemenuhan hak atas ekonomi, sosial, dan budaya. Pemenuhan hak atas pendidikan sebagai bagian dari hak atas ekonomi, sosial, dan budaya dapat dilakukan secara bertahap sesuai dengan kondisi kemampuan negara.
“Oleh karena itu, perwujudan pendidikan dasar yang tidak memungut biaya berkenaan dengan pemenuhan hak ekosob dapat dilakukan secara bertahap, secara selektif, dan afirmatif tanpa memunculkan perlakuan diskriminatif,” kata Enny dilansir detikNews, Selasa, 27 Mei 2025 16:49 WIB.
Mengutip law-justice.co – Rabu, 28/05/2025 05:31 WIB, MK secara resmi memutuskan bahwa negara, dalam hal ini pemerintah pusat dan daerah harus menggratiskan pendidikan dasar yang diselenggarakan pada satuan pendidikan SD, SMP, dan madrasah atau sederajat, baik di sekolah negeri maupun swasta.
Permohonan uji materi ini diajukan oleh lembaga masyarakat sipil bernama Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) serta tiga orang ibu rumah tangga, yakni Fathiyah, Novianisa Rizkika, dan Riris Risma Anjiningrum.
MK mengabulkan gugatan uji materi Undang-Undang Nomor 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. MK memerintahkan pemerintah menggratiskan pendidikan wajib belajar sembilan tahun di sekolah swasta.
Permohonan dengan nomor 3/PUU-XXIII/2025 diajukan Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia bersama tiga pemohon individu, yaitu Fathiyah, Novianisa Rizkika, dan Riris Risma Anjiningrum. Fathiyah dan Novianisa adalah ibu rumah tangga, sementara Riris bekerja sebagai pegawai negeri sipil (PNS). Putusan dibacakan saat sidang di gedung MK Selasa (27/5/2025).
Ketua MK Suhartoyo saat membacakan amar putusan, “Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian. Menyatakan Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”
“Dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya, baik untuk satuan pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun satuan pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh masyarakat.”
MK menegaskan pemerintah dan pemerintah daerah harus menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya. Hal itu berlaku untuk satuan pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun satuan pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh masyarakat.
Dalam pertimbangannya, hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih, menilai frasa ‘wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya’ dalam Pasal 34 ayat (2) UU Sisdiknas yang hanya untuk sekolah negeri menimbulkan kesenjangan.
Akibatnya, kata Enny, ada keterbatasan daya tampung di sekolah negeri hingga peserta didik terpaksa bersekolah di sekolah swasta. Sebagai ilustrasi, pada tahun ajaran 2023/2024, sekolah negeri di jenjang SD hanya mampu menampung sebanyak 970.145 siswa, sementara sekolah swasta menampung 173.265 siswa.
Adapun pada jenjang SMP, sekolah negeri tercatat menampung 245.977 siswa, sedangkan sekolah swasta menampung 104.525 siswa. MK berpandangan negara tetap memiliki kewajiban konstitusional untuk memastikan bahwa tidak ada peserta didik yang terhambat dalam memperoleh pendidikan dasar hanya karena faktor ekonomi dan keterbatasan sarana pendidikan dasar.
Oleh karena itu, kata Enny, frasa tanpa memungut biaya dapat menimbulkan perbedaan perlakuan bagi peserta didik yang tidak mendapatkan tempat di sekolah negeri dan harus bersekolah di sekolah swasta dengan beban biaya yang lebih besar.
Sehingga terjadi fakta yang tidak berkesesuaian dengan apa yang diperintahkan oleh UUD NRI Tahun 1945, khususnya Pasal 31 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, karena norma konstitusi tersebut tidak memberikan batasan atau limitasi mengenai pendidikan dasar mana yang wajib dibiayai negara.
Norma konstitusi a quo mewajibkan negara untuk membiayai pendidikan dasar dengan tujuan agar warga negara dapat melaksanakan kewajibannya dalam mengikuti pendidikan dasar.
Dalam hal ini, norma Pasal 31 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 harus dimaknai sebagai pendidikan dasar baik yang diselenggarakan oleh pemerintah (negeri) maupun yang diselenggarakan oleh masyarakat (swasta).
MK menyatakan frasa wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya dalam Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) telah menimbulkan multitafsir dan perlakuan diskriminatif sehingga bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945.
Dijelaskan Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih bahwa frasa “wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya” yang penerapannya hanya berlaku bagi sekolah negeri dapat menimbulkan kesenjangan akses pendidikan dasar bagi siswa yang bersekolah di sekolah swasta.
Terlebih, dalam kondisi tertentu, terdapat peserta didik yang terpaksa bersekolah di sekolah swasta akibat keterbatasan daya tampung sekolah negeri. Dalam kondisi demikian, menurut MK, negara tetap memiliki kewajiban konstitusional untuk memastikan tidak ada peserta didik yang terhambat memperoleh pendidikan dasar hanya karena faktor ekonomi dan keterbatasan sarana pendidikan dasar.
Sejatinya, konstitusi tidak memberikan batasan mengenai pendidikan dasar mana yang wajib dibiayai negara. Pasal 31 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 mewajibkan negara untuk membiayai pendidikan dasar dengan tujuan agar warga negara dapat melaksanakan kewajibannya dalam mengikuti pendidikan dasar.
“Dalam hal ini, norma Pasal 31 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 harus dimaknai sebagai pendidikan dasar baik yang diselenggarakan oleh pemerintah atau negeri maupun yang diselenggarakan oleh masyarakat atau swasta,” imbuh Enny.
Menurut MK, jika frasa “wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya” hanya dimaknai berlaku untuk sekolah negeri, negara justru mengabaikan fakta keterbatasan daya tampung sekolah negeri telah memaksa banyak anak untuk bersekolah di sekolah swasta dengan beban biaya lebih besar.
Kondisi demikian dinilai oleh Mahkamah bertentangan dengan kewajiban negara dalam menjamin pendidikan dasar tanpa memungut biaya bagi seluruh warga negara. Oleh karena itu, negara harus mewujudkan kebijakan pembiayaan pendidikan dasar, baik di sekolah negeri maupun swasta, melalui mekanisme bantuan pendidikan atau subsidi.
Di sisi lain, MK memahami tidak seluruh sekolah swasta di Indonesia yang menyelenggarakan pendidikan dasar dapat diletakkan dalam satu kategori yang sama sebab sejumlah sekolah swasta juga menerapkan kurikulum tambahan selain kurikulum nasional yang menjadi nilai jual sekolah tersebut.
Sekolah-sekolah seperti itu berpengaruh pada motivasi peserta didik untuk mengikuti pendidikan dasar. Warga negara yang mengikuti pendidikan dasar di sekolah swasta dimaksud tidak sepenuhnya dilatarbelakangi atas tidak tersedianya akses ke sekolah negeri.
Dalam konteks itu, peserta didik secara sadar memahami konsekuensi biaya yang lebih tinggi ketika memutuskan bersekolah di sekolah swasta tersebut. Karena itu, MK meminta negara mengutamakan alokasi anggaran pendidikan untuk penyelenggaraan pendidikan dasar, termasuk pada sekolah swasta, dengan mempertimbangkan faktor kebutuhan dari sekolah swasta tersebut.
Lebih lanjut Enny mengatakan bahwa bantuan pendidikan untuk kepentingan peserta didik yang bersekolah di sekolah swasta tetap hanya dapat diberikan kepada sekolah swasta yang memenuhi persyaratan atau kriteria tertentu berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Hal ini untuk menjamin bahwa sekolah swasta yang memperoleh bantuan pendidikan tersebut dikelola dengan baik. Berdasarkan pertimbangan itu, MK dalam amar putusannya mengubah norma frasa Pasal 34 ayat (2) UU Sisdiknas menjadi:
“Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya, baik untuk satuan pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun satuan pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh masyarakat.”
Koordinator Nasional JPPI Ubaid Matraji memandang putusan ini adalah kemenangan monumental bagi hak atas pendidikan. Sehingga hal ini menjadi penegasan negara wajib hadir memastikan pendidikan dasar berkualitas, inklusif, dan bebas biaya bagi seluruh anak bangsa, tanpa memandang apakah sekolah tersebut diselenggarakan oleh pemerintah (negeri) maupun masyarakat (swasta).
“Putusan ini membuka jalan bagi berakhirnya diskriminasi pembiayaan pendidikan yang selama ini membebani jutaan keluarga. Ini adalah pengakuan bahwa anggaran 20% pendidikan dari APBN dan APBD harus benar-benar dialokasikan secara adil untuk pendidikan dasar tanpa dipungut biaya di semua jenis sekolah, baik negeri maupun swasta,” kata Ubaid, Selasa (27/5/2025).
Menyusul putusan ini, JPPI menyerukan pemerintah segera mengambil langkah-langkah konkret dan sistematis. JPPI mendorong integrasi sekolah swasta dalam Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB) Online.
“Pemerintah wajib segera mengintegrasikan sekolah swasta yang menyelenggarakan pendidikan dasar ke dalam SPMB berbasis online yang dikelola pemerintah. Ini memastikan transparansi, kesetaraan akses, dan implementasi nyata dari putusan MK bahwa pendidikan dasar bebas biaya juga mencakup sekolah swasta,” ujar Ubaid.
Ubaid mendorong anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN dan APBD harus segera diaudit, direalokasi, dan dioptimalkan secara transparan. Prioritas utama harus diarahkan pada pembiayaan operasional sekolah, tunjangan guru, dan penyediaan fasilitas yang menunjang pendidikan dasar bebas biaya, baik di sekolah negeri maupun swasta.
Ini termasuk menghentikan praktik anggaran yang tidak relevan dengan pendidikan. Selain itu, JPPI mengingatkan transformasi sistem pembiayaan pendidikan harus segera dilakukan. Hal ini guna menjamin tidak ada lagi anak yang putus sekolah atau ijazahnya ditahan karena masalah biaya.
“Pendidikan bukan lagi beban, melainkan hak yang terjamin sepenuhnya oleh negara. Putusan ini adalah kesempatan emas untuk merajut kembali keadilan sosial melalui pendidikan,” ujar Ubaid. (net/bsc/dtc/gog/smr)