Mengapa Publik Marah pada Rezim Jokowi?

Presiden Joko Widodo menyampaikan pidato terkait Laporan Kinerja Lembaga-lembaga Negara dan Pidato Kenegaraan dalam rangka HUT Ke-79 Kemerdekaan Republik Indonesia dalam Sidang Tahunan MPR dan Sidang Bersama DPR - DPD Tahun 2024 di Gedung Nusantara, kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (16/8/2024). Foto: internet

Oleh Bimantoro Kushari Pramono *)

semarak.co-PEMERINTAHAN Presiden Joko Widodo akan berakhir 20 Oktober 2024. Rezim yang dipimpin mantan politisi PDI Perjuangan ini mampu bertahan selama 10 tahun dengan tingkat keputusan publik sebesar 75,6% (menurut hasil survei Litbang Kompas, Juni 2024).

Bacaan Lainnya

Hal ini mencerminkan dukungan publik yang luar biasa terhadap kinerja Presiden Joko Widodo. Sampai akhirnya putusan Mahkamah Konstitusi terbaru soal Pilkada memicu kisruh karena Jokowi dan KIM Plus dinilai cawe-cawe untuk mengubah aturan agar anak bungsunya, Kaesang Pangarep dapat maju di kontestasi Pilkada sebagai calon gubernur atau calon wakil gubernur.

Fenomena ini direspons negatif oleh publik melalui aksi massa besar-besaran di sejumlah daerah. Tak hanya mahasiswa, influencer sampai komika turut ambil bagian dalam gerakan mengawal putusan MK. Di media sosial, laporan dari Drone Emprit mengatakan bahwa sentimen positif terhadap gerakan mengawal putusan MK sangat dominan di angka 86 persen – 99%.

Sementara sentimen negatif yang muncul hanya satu persen. Hal ini menandakan bahwa mayoritas netizen Indonesia sangat mendukung putusan MK untuk ditegakan. Sebaliknya, satu persen sentimen negatif menandakan amarah kolektif netizen Indonesia akibat dugaan cawe-cawe Jokowi dan KIM Plus untuk urusan Pilkada.

Laporan media sosial lainnya datang dari Monash University Indonesia. Ditemukan 28.000 cuitan dari 13.000 akun pada gerakan tersebut. Selain itu, laporan ini juga menambahkan tidak terdeteksi buzzer dalam konten yang paling banyak disebarkan di media sosial. Dapat ditafsirkan amarah publik yang tertangkap dalam media sosial bersifat organik atau tanpa rekayasa.

Data data ini menunjukan bahwa di akhir masa jabatannya, Presiden Jokowi mendapatkan pukulan telak yang bukan berasal dari lawan politiknya, melainkan dari amarah publik. Lantas, mengapa publik semarah ini?

Jika alasannya karena karena politik dinasti, patut diingat bahwa dugaan cawe-cawe juga dialamatkan pada saat Gibran Rakabuming Raka menjadi calon Wakil Presiden setelah MK mengubah aturan soal batasan usia capres-cawapres.

Namun, amarah publik saat itu tidak memuncak sebesar sekarang. Aksi massa tetap terjadi, tetapi tidak sebesar yang terjadi pada putusan MK soal Pilkada. Kepuasan publik yang besar pada pemerintahan Jokowi (survei Juni), seolah luntur hanya dalam waktu tiga bulan.

Aksi menolak upaya revisi Undang-undang Pilkada oleh DPR RI tersebut berakhir ricuh dengan pihak kepolisian. Terdapat satu teori dalam Psikologi Politik yang dapat menjawab alasan memuncaknya kemarahan publik terhadap rezim Jokowi, yaitu Social Identity Theory.

Teori ini memiliki dalil bahwa setiap manusia memiliki persepsi tentang kelompok. Manusia cenderung membedakan antara in-group dan out-group. In-group adalah kelompok sosial yang dinilai mewakili diri, baik dari sisi nilai dan emosi.

Sedangkan out-group adalah kelompok sosial yang dinilai jauh dari nilai dan emosi yang mewakili manusia tersebut. Hakikatnya, kehidupan sosial akan selalu membentuk in-group dan out-group secara natural dan hubungan antarkelompok dapat berjalan harmonis.

Namun, hubungan antarkelompok akan memburuk ketika terdapat perbedaan akses pada sumber daya, baik yang bersifat materiil seperti uang ataupun imateriil seperti informasi.

Mengacu pada teori ini, terdapat dua faktor utama yang mendorong memuncaknya amarah publik dalam kasus ini, yaitu keberhasilan narasi Kita Vs Mereka dan persepsi ketidakadilan terhadap sumber daya.

Pada faktor pertama, yaitu keberhasilan narasi Kita Vs Mereka merujuk pada kemampuan narasi mengawal putusan MK untuk menempatkan identitas out-group pada Presiden Jokowi dan KIM Plus. Kampanye “Peringatan Darurat” dengan logo Garuda berwarna biru memiliki makna psikologis yang dalam untuk memisahkan antara negara dan oknum pemerintah.

Presiden Jokowi dan KIM Plus yang diduga cawe-cawe untuk mengubah aturan main Pilkada ditempatkan sebagai oknum pemerintah yang terpisah dari entitas negara. Untuk menyampaikan hal ini, lambang burung Garuda dijadikan simbol yang mewakili negara atau rakyat.

Lambang yang bahkan sebelum 2024, sudah eksis sebagai salah satu simbol nilai Indonesia sebagai negara. Namun seperti yang dijelaskan dalam Social Identity Theory, konflik antarkelompok yang berujung pada amarah dapat terjadi jika kesadaran in-group yang terbentuk, sehingga sebuah kelompok dapat dengan mudah membedakan diri dengan out-group.

Jika identitas out-group digunakan untuk mendefinisikan kelompok lain, maka identitas in-group dibutuhkan bagi manusia untuk mendefinisikan diri sendiri dan kelompok. Terdapat tiga komponen yang dapat membentuk identitas, baik in-group dan out-group, yaitu komponen kognitif, komponen evaluatif, dan investasi emosi.

Komponen kognitif mengacu pada kesadaran bahwa manusia merupakan bagian dari sebuah kelompok. Pada komponen ini, kesadaran rakyat sebagai in-group muncul akibat dorongan influencer, komika, dan aktivis yang kerap menjadi trend setter bagi masyarakat.

Kelompok ini memiliki kemampuan mengajak masyarakat untuk relevan dengan tren yang ada. Keinginan relevan tersebut, atau FOMO (Fear of Missing Out) memicu keinginan kuat untuk terasosiasi kedalam sebuah in-group yang dalam fenomena ini sedang membawa agenda mengawal putusan MK.

Komponen evaluatif mengacu pada kesamaan nilai yang memperkuat perasaan menjadi bagian dari in-group. Nilai yang dibawa dalam in-group ini adalah soal melawan ketimpangan. Gaya hidup Kaesang dan Istrinya Erina Gudono adalah faktor terbesar yang menciptakan komponan evaluatif, yang pada akhirnya memperkuat in-group¬ masyarakat dalam mengawal putusan MK soal Pilkada.

Kaesang dan Erina pergi ke Amerika Serikat menggunakan jet pribadi dan makan roti seharga Rp400.000 ketika keadaan rakyat sedang marah pada rezim. Mesikpun hal ini merupakan hak pribadi Kaesang dan Erina, namun perilaku ini semakin memperkuat kesadaran in-group masyarakat karena gaya hidup mereka yang dianggap timpang dengan masyarakat kebanyakan.

Hal ini juga menyebabkan semakin tingginya jarak antara in-group dan out-group dalam permasalahan ini. Lebih lanjut lagi, untuk menjelaskan maksud dari melawan ketimpangan penting untuk memahami komponen ketiga, yaitu investasi emosi.

Rezim Jokowi dinilai melemahkan KPK, mampu mengubah aturan untuk persyaratan Capres dan Cawapres, dan yang terakhir mampu mengondisikan putusan MK yang final dan mengikat soal Pilkada. Hal-hal tersebut memiliki pola, yaitu mempertunjukan kekuatan penuh dan absolut dalam mengendalikan negara.

Di mana semakin kuatnya kekuatan tersebut, sampai mampu menciptakan ruang khusus bagi keluarga Jokowi untuk tetap berada di jalur Pemerintahan. Emosi soal ketidakmampuan masyarakat umum untuk menguasai sumber daya seperti keluarga Jokowi telah menciptakan investasi emosi yang memuncak dan meledak sekarang.

Ditambah dengan menguatnya kesadaran in-group, investasi emosi akibat ketimbangan sumber daya seolah pistol bertemu pistolnya. Hal inilah yang menjelaskan alasan kedua mengapa amarah publik memuncak sekarang. Yaitu, begitu jelasnya ketimpangan sumber daya yang dimiliki keluarga Jokowi.

Mekanisme psikologis yang terjadi adalah menguatnya kesadaran in-group terhadap eksistensi out-group yang diisi oleh elite politik, di mana mewakili nilai yang sangat berbeda dengan rakyat dan menguasai sumber daya dengan sangat besar.

Memprediksi sejauh mana mekanisme ini akan terus berjalan mengawal putusan MK, perjalanan masa lalu bangsa Indonesia dalam menghadapi konflik in-group dan out-group¬ patut dicermati. Tumbangnya Orde Baru adalah contoh sempurna bagaimana konflik in-group dan out-group meruncing akibat ketimpangan ekonomi.

Permasalahan Pilkada, walaupun membawa isu ketimpangan, namun masih didominasi narasi Politik tentang rezim Jokowi. Kasus penistaan agama oleh Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok di Pilkada DKI Jakarta juga contoh lain terbentuknya konflik sosial akibat kesadaran in-group dan out-group.

Namun masalah tersebut lebih berbau sektarian dibandingkan isu ketimpangan. Sosok Ahok yang merupakan keturunan Tionghoa yang diasosiasikan menguasai ekonomi Indonesia, membuat isu ini tetap memiliki aspek ketimpangan ekonomi meskipun bersifat tidak langsung.

Potensi isu sektarian antara in-group dan out-group dapat terjadi jika narasi Ketua Umum Golkar, Bahlil Lahadalia soal “Raja Jawa” diamplifikasi di area luar Jawa. Jika ingin masalah ini terselesaikan, harus ada komunikasi antara in-group dan out-group yang mampu memunculkan kesepahaman.

Rasanya sulit membayangkan hal ini terjadi tanpa melihat sosok atau tokoh politik yang dapat menjadi simbol bagi in-group untuk berinteraksi dengan out-group yang dipimpin oleh Jokowi.

*) Peneliti Research Affiliate at Monash Indonesia Data & Democracy Research Hub, Dosen Digital Diplomacy Universitas Paramadina

 

sumber: kompas.com – 27/08/2024, 05:52 WIB di laman pencarian google.co.id, Jumat (30/8/2024)

Pos terkait