Media Inggris Bongkar Sepak Terjang BuzzeRp di Indonesia, Peneliti LIPI: Ini 3 Alasan Munculnya Buzzer

Grafis Buzzer dan Influencer di media sosial. Foto: republika.co.id di internet

Peneliti Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2P LIPI) Wasisto Raharjo Jati mengatakan, terdapat tiga motif serangan buzzer sebagai cyber troops atau pengerahan pasukan dunia maya. Menurut Wasisto, tiga motif ini kemudian yang menjadi alasan buzzer muncul dalam kehidupan demokrasi di Indonesia.

semarak.co-“Kenapa buzzer itu muncul dalam demokrasi kita? Yang pertama jelas satu motifnya personal,” ujar Wasisto dalam diskusi politik secara daring di Jakarta, Jumat (10/9/2021) seperti dilansir republika.co.id/Jumat 10 Sep 2021 17:28 WIB.

Bacaan Lainnya

Motif personal itu timbul dari ketidaksukaan seseorang terhadap orang lain. Ketidaksukaan ini dimanfaatkan buzzer untuk black campaigning atau melakukan kampanye negatif yang menyerang orang lain.

Motif kedua adalah ekonomi. Ketika narasi yang digaungkan buzzer viral di media sosial dan mendatangkan banyak akun followers atau pengikut, maka pundi-pundi dalam bentuk tawaran iklan pun menghampiri para buzzer tersebut.

Motif ketiga, politik. “Jadi ketiga motif ini yang menjadikan kenapa sekarang ini buzzer itu menjadi hal yang tidak dapat terelakkan dalam demokrasi kita karena satu itu lebih condong ke arah ekonomi politik,” kata Wasisto.

Buzzer dapat dimaknai positif kalau informasi yang ditampilkan tidak partisan dan tidak tendensius. Sementara, buzzer dimaknai negatif apabila yang dilakukannya menyumbang narasi-narasi identitas. Kini, narasi buzzer lebih cenderung mencari sensasi.

Terjadi pula pergeseran buzzer yang semula beraksi secara individu menjadi kolektif dan masif. “Buzzer sekarang ini mengubah paradigma aktivisme siber kita yang dulu cenderung membangun representasi, melawan sensor negara, sekarang ini lebih condong bagaimana kita mendapatkan pengakuan di ruang public,” imbuhnya.

Dan sekarang yang paling penting, lanjut Wasisto, adalah cenderung digunakan elite untuk melakukan black campaigning atau kampanye hitam. Buzzer memiliki peran dan fungsi dalam aktivisme siber.

Antara lain membentuk wacana politik; menciptakan isu sosial dan politik, yang biasanya advokatif, konstruktif, destruktif, dan agitatif; menyiapkan counter discourse bilamana terjadi perang siber dengan buzzer lainnya; serta bergerak dalam kelompok kecil bersifat independen dan partisan. Dalam ekpresi diskursus politik, kata Wasisto, wacana yang dilontarkan buzzer biasanya bersifat testing the water untuk melihat aksi dan reaksi kelas menengah warganet.

Mengutip warta-berita.com/ Juli 31, 2021/Media Inggris, The Guardian membongkar sepak terjang buzzeRp di Indonesia. Media ini pun lantas menurunkan tulisan menyoroti keberadaan tim Buzzer yang menjadi bagian dari politik yang sedang berkembang di Indonesia.

Mirisnya, The Guardian juga menyebut buzzer membantu memecah belah agama dan ras. Dalam tulisannya, The Guardian mewawancarai seorang anggota tim buzzer dari mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok.

Sumber yang mengaku bernama Alex itu mengatakan ia adalah salah satu dari 20 orang dalam pasukan maya rahasia yang menyebarkan pesan dari akun media palsu untuk mendukung Ahok. “Mereka mengatakan kepada kami bahwa Anda harus memiliki lima akun Facebook, lima akun Twitter dan satu Instagram,” katanya dikutip dari The Guardian.

“Dan mereka mengatakan kepada kami untuk merahasiakannya. Mereka mengatakan itu adalah ‘waktunya berperang’ dan kami harus menjaga medan perang dan tidak memberi tahu siapa pun tentang kami bekerja. Ketika Anda sedang berperang, Anda menggunakan apa pun yang tersedian untuk menyerang lawan. Tetapi kadang-kadang saya merasa jijik dengan diri saya sendiri,” ucapnya.

Alex mengatakan timnya dipekerjakan untuk melawan banjir sentimen anti Ahok, termasuk hashtag yang mengkritik kandidat oposisi, atau menertawakan koalisi kelompok Islam. Tim Alex, yang terdiri dari pendukung Ahok dan mahasiswa, memperoleh bayaran Rp4 juta.

Mereka diduga bekerja di sebuah rumah mewah kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Masing-masing dari mereka diberitahu untuk mengirim 60 hingga 120 kali cuitan sehari di akun Twitter palsu dan beberapa kali postingan setiap hari di Facebook. Alex mengatakan timnya terdiri dari 20 orang, masing-masing dengan 11 akun media sosial, akan menghasilkan hingga 2.400 postingan di Twitter sehari.

Operasi ini dikoordinasikan melalui grup WhatsApp bernama Special Force, atau Pasukan Khusus, yang Alex perkirakan terdiri dari sekitar 80 anggota. Tim itu memberi makan konten dan hashtag harian untuk diposting.

“Mereka tidak ingin akun tersebut menjadi anonim sehingga mereka meminta kami untuk mengambil foto untuk profil tersebut, jadi kami mengambilnya dari Google, atau terkadang kami menggunakan gambar dari teman-teman kami, atau foto dari grup Facebook atau WhatsApp,” jelas Alex.

Dilanjutkan Alex, “Mereka juga mendorong kami untuk menggunakan akun wanita cantik untuk menarik perhatian pada materi; banyak akun yang seperti itu. Di Facebook, mereka bahkan membuat beberapa akun menggunakan foto profil aktris asing yang terkenal, yang entah bagaimana tampak seperti penggemar Ahok.”

Tim siber itu diduga mengatakan “aman” untuk memposting dari markas mereka di Menteng, di mana mereka beroperasi dari beberapa kamar. Cara-cara seperti itu hingga kini masih dipergunakan demi melindungi pemerintah dari kritikan pihak oposisi. (net/war/rep/smr)

 

sumber: republik.co.id/wartaberita.com di WAGroup ANIES GUBERNUR DKI

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *