Malapetaka Lingkungan di Iran: 161 Orang Tewas Per Hari

Negeri para Mullah, Iran, kini menghadapi salah satu krisis lingkungan paling mematikan dalam sejarahnya. Ibu Kota Tehran diselimuti kabut asap tebal pada hari Jumat (21/11/2025) akibat cuaca kerontang yang terus menerus dan menyebabkan kekeringan parah.

Semarak.co – Mengutip Newsweek, lonjakan udara kotor terjadi di enam kota besar. Di Tehran, tingkat rata-rata particulate matter halus (PM2.5) mencapai 103, dengan puncak pagi mencapai 133, yang tergolong “tidak sehat untuk kelompok sensitif.”

Dampak Kesehatan dari Polusi Udara Sangat Mengerikan

Wakil Menteri Kesehatan Iran melaporkan bahwa polusi udara telah merenggut 161 jiwa per hari, setara dengan sekitar tujuh orang setiap jam, selama tahun kalender Iran yang dimulai Maret 2024, dengan total 58.975 kematian.

Pejabat Organisasi Meteorologi Nasional Iran, Sadegh Ziaian pada hari Jumat lalu mengatakan, negeri kaya minyak kawasan Persia ini tengah dilanda malapetaka besar, dan kondisi ini akan menjadi sesuatu yang terus terjadi.

“Langit Teheran akan tetap cerah dengan kabut lokal, dan udara akan mencapai tingkat yang tidak sehat untuk semua kelompok,” tegas Sadegh Ziaian, seperti dilansir detik.com dari Reuter dan Newsweek pada tanggal 24/11-2025.

Krisis lingkungan di Tanah Persia semakin rumit karena saling terkaitnya masalah yang melingkupi keberadaannya, dari mulai sirkulasi udara (yang buruk seperti saat ini), ketersediaan air dan juga bidang energi.

Menurunnya cadangan air akibat kekeringan telah sedikit banyak membatasi produksi pertanian, menimbulkan kekhawatiran luas tentang ketahanan pangan di kawasan yang rantai pasokannya saling terkait.

Selain itu, kekurangan pasokan gas memaksa otoritas menerapkan penjatahan listrik dan pemadaman berkala, sementara kelangkaan air juga menyebabkan penjatahan di beberapa bagian Tehran menjadi masalah nan rumit.

Otoritas mengutip emisi industri, lalu lintas padat dari kendaraan yang sudah tua dan renta serta pembakaran bahan bakar berkualitas rendah dalam pembangkit listrik sebagai sumber utama terjadinya polusi kronis.

Konvergensi polusi, ditambah kelangkaan akan ketersediaan air dan masalah infrastruktur, ini semakin memperdalam kesulitan ekonomi dan secara keras mempertajam kerentanan politik dalam negeri para Mullah itu.

Tekanan lingkungan telah menjadi katalisator persisten bagi frustrasi publik, berkontribusi pada kerusuhan berkala di komunitas yang paling terpukul oleh kekeringan dan penurunan kualitas layanan publik.

Menanggapi situasi darurat ini, pihak berwenang di wilayah Tehran, Isfahan, Mashhad dan berbagai kota-kota lain di wilayah Iran, akan sangat merespons dengan mengeluarkan peringatan kesehatan dan pembatasan darurat.

Langkah-langkah tersebut meliputi larangan 24 jam untuk penambangan pasir dan kerikil, penangguhan kegiatan olah raga sekolah, serta penerapan kerja  jarak jauh bagi sejumlah pegawai dengan kondisi pernapasan atau jantung.

Kendatipun demikian, masalah mendasar tetap belum terpecahkan. Presiden Iran, Masoud Pezeshkian bahkan memeringatkan bahwa relokasi ibu kota mungkin menjadi langkah yang tidak terhindarkan karena masalah kepadatan penduduk dan tekanan ekologis yang terus meningkat.

Ia menyarankan, wilayah Iran Tenggara sebagai lokasi potensial relokasi ibu kota. Meski begitu, ia tetap meminta warga menjaga lingkungan. “Melindungi lingkungan bukanlah lelucon. Mengabaikannya berarti menandatangani kehancuran kita sendiri,” ujarnya. (net/di/cnbc/n/kim/smr)

Pos terkait