Oleh Ahmad Sastra *)
semarak.co-Berbagai polemik politik dan masalah bangsa saat ini menegaskan bahwa orientasi pragmatisme dan transaksional machiavellistik menjadi watak asli demokrasi sekuler, dimana aturan dibuat dan diubah didasarkan kepada hawa nafsu dan kepentingan duniawi sesaat.
Politik demokrasi sekuler melahirkan disorientasi kekuasaan yang hanya melahirkan berbagai bentuk kerusakan, kesengsaraan, kezoliman, dan bahkan keterjajahan. Pragmatisme politik yang lahir dari penerapan demokrasi sekuler dapat memicu ketidakpastian atau kebingungan mengenai arah atau identitas politik suatu pihak atau pemimpin politik.
Karena terkesan lebih fokus pada pencapaian keuntungan atau kekuasaan. Politik transaksional adalah pendekatan dalam politik yang menekankan pada pertukaran atau transaksi antara pihak-pihak politik untuk mencapai tujuan mereka.
Dalam konteks ini, pertukaran tersebut bisa berupa dukungan politik, suara dalam pemilihan, atau sumber daya lainnya seperti uang. Karena itu antara demokrasi dan oligarki seperti dua mata uang, tak mungkin dipisahkan. Praktek politik demokrasi sekuler cenderung berwatak machiavellistik, yang membenarkan tindakan-tindakan yang tidak bermoral atau manipulatif dalam politik.
Paham ini menekankan pentingnya bagi seorang penguasa untuk menggunakan segala cara (permisivisme) yang diperlukan untuk mempertahankan kekuasaan dan kepentingannya, bahkan jika itu berarti bertindak tidak jujur, melanggar janji, atau menggunakan kekerasan demi ambisi politik individu atau kelompok. Machievalime politik akan melahirkan amoralitas kekuasaan.
Amoralitas kekuasaan adalah konsep yang menggambarkan tindakan atau kebijakan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang yang memegang kekuasaan tanpa mempertimbangkan nilai-nilai moral atau etika.
Dalam konteks ini, pemegang kekuasaan lebih mengutamakan kepentingan atau tujuan mereka sendiri, seringkali dengan mengabaikan atau bahkan melanggar norma-norma moral yang biasanya dihormati oleh masyarakat serta melanggar konstitusi yang telah disepakati. Dalam bahasa jawa, semau udelnya sendiri.
Konsep ini sering dikaitkan dengan filsafat politik realisme, di mana kekuasaan dan kepentingan negara dianggap sebagai hal yang utama, bahkan jika itu berarti melanggar prinsip-prinsip moral. Dalam pandangan ini, tindakan yang secara moral dipandang salah bisa saja dibenarkan jika dilakukan untuk mempertahankan atau memperluas kekuasaan.
Beberapa tokoh yang sering dikaitkan dengan pemikiran ini adalah Niccolò Machiavelli, yang dalam karyanya Il Principe (Sang Pangeran) mengusulkan bahwa seorang penguasa harus siap untuk melakukan tindakan yang tidak bermoral demi mempertahankan kekuasaan dan stabilitas negara.
Selain itu, amoralitas kekuasaan juga dapat muncul dalam bentuk korupsi, manipulasi, dan penyalahgunaan kekuasaan untuk keuntungan pribadi atau kelompok tertentu, tanpa memperhatikan dampak negatifnya terhadap masyarakat luas.
Secara singkat, amoralitas kekuasaan mengacu pada sikap dan tindakan pemegang kekuasaan yang tidak terikat oleh pertimbangan moral, tetapi lebih didorong oleh keinginan untuk mempertahankan dan memperluas kekuasaan mereka.
Praktek paham machievalisme demokrasi sekuler akan mengakibatkan pengabaikan hak-hak rakyat, pelanggaran moral dan etika, menciptakan ketidakpastian dan ketidakstabilan, dominasi oligarki ekonomi dan politik, polarisasi politik dan perpecahan bangsa, dan terjadinya situasi chaos dan konflik antara rakyat dan pemerintah yang akan mengakibatkan anarkisme dan kerusuhan sosial.
Sekulerisme yang melekat dalam sistem demokrasi adalah paham yang memisahkan antara kehidupan dengan agama yang menganggap bahwa kebijakan publik, hukum, dan etika harus didasarkan pada akal budi, bukan agama.
Paham liberalisme, pluralisme dan sekulerisme bagi umat Islam adalah haram, sebagaimana telah difatwakan oleh MUI tahun 2005. MUI berpendapat bahwa agama harus menjadi sumber nilai dalam kehidupan sosial, politik, dan budaya, dan bahwa pemisahan antara agama dan negara yang diusung oleh sekulerisme dapat merusak dan memperlemah keimanan umat muslim.
Demokrasi sekuler memiliki daya rusak bagi umat dan bangsa, diantaranya pertama, memperlemah nilai-nilai keagamaan dalam berbangsa dan bernegara, yang melahirkan politik nir-adab. Kedua, demokrasi sekuler melahirkan disorientasi politik karena hanya bertujuan pada kepentingan dunia atau materi, minus spiritualitas.
Ketiga, demokrasi sekuler dapat memicu individualisme dan hedonisme sehingga sarat prakteka korupsi, kolusi, nepotisme dan dinasti. Keempat, demokrasi sekuler akan melahirkan produk hukum yang bertentangan dengan agama seperti legalisasi zina, riba, judi, dan keburukan lainnya.
Kelima, sekulerisme dapat memicu polarisasi dan konflik antara kelompok agama dan non-agama, terutama jika diimplementasikan dengan cara yang tidak proporsional atau memihak pada kelompok tertentu. Sekulerisme di negeri ini terbukti telah memecah umat Islam ke dalam berbagai organisasi politik dan sosial. Saat pemilu demokrasi, terlihat jelas perpecahan umat Islam.
Menegaskan dan menyerukan kepada seluruh bangsa Indonesia, khususnya umat muslim mayoritas di negeri ini agar memiliki kesadaran politik ideologis, dimana praktika demokrasi sekuler hanya akan menambah kerusakan negeri ini akibat disorientasi politik dan hukum, solusi tambal sulam aturan tak akan pernah menyelaikan masalah negeri ini.
Saatnya umat Islam meninggalkan sistem demokrasi sekuler yang membawa watak machievalistik dan kembali kepada hukum-hukum Allah dengan terus memperjuangkan tegaknya syariat Islam dalam bingkai khilafah islamiyah yang akan mampu menabarkan rahmat bagi seluruh negeri ini sesuai dengan izin dan janji Allah.
AhmadSastra, KotaHujan,25/08/24: 21.56 WIB)
sumber: ahmadsastra.com/Minggu, Agustus 25, 2024 di WAGroup KSATRIAN MUHIBBIN MUJAHIDIN PATRIOT NKRI (postMinggu25/8/2024/zahara)