Ketua BKSAP (Badan Kerjasama Antar-Parlemen) DPR RI Fadli Zon prihatin atas kudeta yang dilakukan militer Myanmar Senin kemarin (1/2/2021). Ia menilai kudeta di Negeri Pagoda Emas itu tidak hanya sebagai kemunduran demokrasi bagi Myanmar, tapi juga bisa mempengaruhi persepsi dunia terhadap praktik demokrasi di ASEAN.
semarak.co-Sebagai anggota parlemen, politisi Partai Gerindra mengaku sangat prihatin. Sebab kudeta itu dilakukan saat parlemen baru Myanmar hasil Pemilu 2020 akan memulai persidangan.
“Pengambil alihan kekuasaan oleh militer Myanmar itu telah menghilangkan peran parlemen sebagai alat kontrol kekuasaan. Ini buruk bagi demokrasi,” ungkap Fadli Zon dalam rilis yang beredar di kalangan wartawan, salah satunya dilansir WAGroup Guyub PWI Jaya, Selasa (2/2/2021).
Karenanya, Fadli Zon berharap AIPA (ASEAN Inter-Parliamentary Assembly) yang merupakan organisasi parlemen negara-negara ASEAN perlu segera merespon tentang hal itu. Hingga 2011 silam, kata dia, Myanmar memang diperintah angkatan bersenjata.
“Namun, sesudah itu mereka melakukan reformasi demokrasi dan mengakhiri kekuasaan militer. Kudeta militer yang terjadi kemarin telah menarik mundur proses demokrasi yang sudah berjalan dan itu amat disayangkan,” ujarnya.
Anggota DPR RI dari Fraksi Gerindra ini juga mencemaskan krisis politik di Myanmar itu akan menghambat penyelesaian tragedi kemanusiaan yang menimpa etnis muslim Rohingya Myanmar.
Sebagai catatan, sejak 2017 silam ratusan ribuan etnis muslim Rohingya terusir dan telah mengungsi ke berbagai negara, termasuk Indonesia karena tindakan keras militer Myanmar. Tindakan militer Myanmar ini jelas pelanggaran hak asasi manusia (HAM) secara brutal.
“Pada akhir 2017, saya telah melihat langsung kamp pengungsian di Cox Bazaar, perbatasan Bangladesh yang dihuni ratusan ribu warga Rohingya. Mereka adalah korban yang selamat dari penyiksaan dan penindasan militer Myanmar,” ungkapnya.
Ditambahkan pria berdarah Minang ini, “Bahkan saya telah bertemu langsung di Jenewa dengan Mantan Sekjen Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Kofi Annan yang menginisiasi investigasi melalui Annan Report. Annan sangat prihatin atas dominasi militer dalam formasi pemerintahan sipil Myanmar.”
Di era kepemimpinan sipil saja, kata dia, masalah Rohingya tak bisa diselesaikan dengan baik, karena pemimpin sipilnya takut kepada militer. Sekarang, dengan kudeta militer dan krisis politik, kasus Rohingya akan semakin diabaikan pemerintah Myanmar.
Itu sebabnya pihaknya mendesak agar semua pihak yang terlibat konflik di Myanmar menahan diri. “Selain itu, saya juga mendorong agar ASEAN melakukan tindakan progresif dalam menyikapi persoalan yang terjadi di Myanmar,” harapnya.
ASEAN, nilai dia, perlu mendorong terjadinya dialog dan mungkin juga power sharing antarfaksi yang terlibat konflik. Sebab, selama ini ASEAN sangat lamban dan tak banyak berfungsi dalam mengatasi persoalan-persoalan semacam itu. “ASEAN kelihatan tak berdaya dalam menangani masalah Rohingya apalagi kini ada kudeta,” tegasnya.
ASEAN dituntut harus bisa menafsirkan asas non-interference secara lebih progresif. Sebab, kata dia, selama ini prinsip tersebut telah membelenggu ASEAN untuk melakukan tindakan berarti, jika ada konflik yang terjadi di negara anggotanya.
“Kita memang harus menghormati kedaulatan negara lain. Namun, asas noninterference seharusnya tak dimaknai bahwa ASEAN bersikap pasif atas situasi di Myanmar,” ujar politisi yang pernah dipercaya menjadi Presiden Organisasi Parlemen Antikorupsi Sedunia (GOPAC) di 2015-2019.
Fadli Zon mendorong agar pemerintah Indonesia bisa menginisiasi dialog tersebut. “Tentu DPR akan sangat mendukung langkah tersebut sebagai wujud komitmen terhadap demokrasi dan HAM,” pungkasnya.
Sebagaimana diketahui militer Myanmar pada Senin 1 Februari 2021, telah melakukan kudeta. Sejumlah pemimpin sipil Myanmar, seperti Aung San Suu Kyi, Presiden Win Myint, beserta sejumlah pejabat negara, dan tokoh politik lainnya telah ditangkapi dan ditahan militer pada dini hari kemarin.
Peristiwa pengambil alihan kekuasaan dari pemerintah pimpinan Aung San Suu Kyi yang baru saja terpilih secara demokratis itu juga telah memancing keprihatinan dunia. Semua pihak menganggap adalah kabar buruk bagi masa depan demokrasi di negara itu. (ayu/smr)