Ketika Dendam Koruptor Bertemu Geng Solo: Targetnya Prabowo

Info grafis Jokowi digambarkan menyuruh anaknya naik kuda bersama Prabowo yang dikaitkan pencalonan anaknya dalam Pilpres 2024. Foto: WAGroup Saling berbagi info

Catatan dari Podcast Analisa Intelejen Kol Purn Sri Rajasa Chandra

Semarak.co – Demo itu biasanya sederhana. Ada isu, ada massa, ada polisi, selesai. Tapi demo kali ini rumit. Jalurnya berbelok-belok. Awalnya isunya jelas: usut Jokowi, usut Gibran lewat DPR. Tapi entah bagaimana, tiba-tiba DPR yang jadi sasaran.

Bacaan Lainnya

Rumah Sahroni diserbu. Rumah Uya Kuya dijarah. Rumah Sri Mulyani hampir hancur. Semua diarahkan ke DPR. Pesannya jelas: “jangan coba-coba bongkar masa lalu Jokowi.”

Kolonel (Purn) Sri Rajasa Chandra, pakar intelijen, membaca ini dengan mata tajamnya: ini bukan demo murni. Ini demo yang dibajak. Ada yang mendanai. Ada yang mengatur. Ada yang mengalihkan isu.

Siapa pendananya? Ia menyebut satu nama: Reza Chalid. Lama mengendap, kini muncul lagi. Dendam karena kasus besar yang menyeretnya. Logistik demo butuh uang, dan dia punya alasan untuk membayar.

Siapa operatornya? Geng Solo. Mereka yang menggerakkan. Menyebar narasi. Mengatur target. Menyulut massa. Dan yang paling berbahaya: membelokkan arah. Dari “usut Jokowi-Gibran” menjadi “gusur DPR”.

Lalu siapa target akhirnya? Prabowo. Strateginya dua langkah:

  1. Bekukan DPR lebih dulu dengan teror. Biar ciut. Biar tak berani buka kasus lama.
  2. Setelah itu, lempar bola ke Presiden. Tampilkan pemerintah sebagai lamban, aparat sebagai kacau, TNI sebagai salah langkah.

Ya, TNI. Itu juga bagian dari skenario. Kostrad diturunkan ke jalan. Bahkan Asintel Kostrad sempat bicara di depan massa. Itu aneh. Biasanya polisi tidak suka berbagi panggung. Tapi kali ini justru dibuka lebar. “Itu jebakan,” kata Sri Rajasa.

Killing ground. Kalau ada lemparan batu, tentara bisa bereaksi dengan cara tempur. Dan citra TNI hancur. Gratis. Polisi pun main standar ganda. Di satu titik mereka keras, di titik lain mereka diam.

Fasilitas vital dibakar, gudang senjata Gegana hampir jebol. Setelah itu gampang saja: dilempar isu “ini ulah Anarko”. Padahal orang intel tahu, itu kerja preman-preman terlatih, bukan kelompok ideologis.

Bahaya yang lebih halus: informasi ke Presiden. Menurut Sri Rajasa, semua disaring lewat satu pintu. Akibatnya Prabowo seperti melihat air tenang di permukaan, padahal arus deras di bawahnya. “Presiden bisa dibungkam bukan dengan mulutnya, tapi dengan informasi yang dipoles,” katanya.

Jadi garis besarnya begini:

Reza Chalid: pendana, balas dendam lama.

Geng Solo: operator, mengatur lapangan.

Prabowo: target akhir.

Kalau rantai ini dibiarkan, ujungnya jelas: DPR lumpuh, TNI rusak citra, dan Presiden kehilangan legitimasi. Lalu apa solusinya? Sri Rajasa menyarankan tiga hal cepat:

  1. Putus bottleneck informasi. Presiden harus punya tim kecil yang memberi laporan langsung, apa adanya.
  2. Tarik Kostrad dari jalan. Demo itu urusan polisi, bukan pasukan tempur.
  3. Amankan DPR. Bukan karena anggota dewan istimewa, tapi karena DPR adalah jantung demokrasi.

Sisanya: buru aliran uang, tindak operator lapangan, dan beri isyarat tegas pada publik. Kalau itu dilakukan, bara di jalan akan padam. Karena demo ini bukan demo biasa. Ini demo dendam. Dendam koruptor. Dan targetnya: Presiden sendiri.

 

Sumber: WAGroup WAGroup EXCLUSIVE ANIES RI 1 (postSelasa2/9/2025/suhartono)

Pos terkait