Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Mendes PDTT) mengingatkan masyarakat, terutama pendamping desa agar tidak menjadikan tugasnya sebagai mata pencaharian. Karena anggaran pemerintah memang terbatas untuk pendamping desa ini. Apalagi sebenarnya, Kemendes PDTT lebih mengarahkan para pendamping untuk belajar dan menjadi pengusaha di desa setempat. Hal tersebut akan membantu mengurangi kesenjangan ekonomi, terutama desa.
Seperti diketahui, muncul asumsi adanya perbedaan besaran insentif atau honor yang diterima pendamping di berbagai desa. Insentif di pulau Jawa, misalnya, itu lebih besar dari yang diterima pendamping desa di Papua. Padahal, medan di Papua terbilang lebih berat dibanding yang ada di Pulau Jawa.
Menteri Desa, PDTT Eko Putro Sandjojo mengakui, gaji pendamping desa itu kecil, tapi bebannya besar. Jadi butuh pendamping yang memiliki panggilan hati. Dana yang digelontorkan pemerintah buat pelatihan dan pendamping desa itu sudah habis, Rp 1,8 triliun. Walau pun ini untuk 40 ribuan pendamping. Sekarang ini, klaim Eko, sudah banyak pendamping desa yang menjadi pengusaha di desa-desa. Mereka akhirnya bisa pula memberikan pekerjaan kepada masyatrakat desa
“Saya harapkan 5-10 tahun ke depan, banyak pendamping-pendamping ini menjadi pengusaha kelas menengah dan pengusaha besar yang memulainya berbasis desa. Karena desa itu kan berkembang terus. Jadi buat teman-teman pendamping, saya minta tugas ini jangan dijadikan sebagai tempat mata pencaharian. Tapi tugas ini sebagai tempat belajar. Saya berharap jadi pendamping-pendamping desa itu bisa belajar sehingga, nanti menjadi pengusaha-pengusaha di desa dan akhirnya bisa menggerakkan masyarakat desa,” ujar Eko usai acara menyalakan Mini Calderone dengan api obor kirap di kantor Walikota Sorong, Papua Barat, Jumat (27/7).
Ke depan Kemendes PDTT akan meluncurkan kurikulim program akademi desa 4.0 pada Agustus 2018. Nantinya diharapkan modul Akademi Desa 4.0 atau pelatihan pendamping desa secara online tersebut dapat meningkatkan SDM di desa secara lebih cepat dan lebih ekonomis. “Tahun lalu, kami telah bekerja sama dengan BUMN dan setiap tahun berhasil menciptakan 1.500 pengurus BUMDes. Tapi jumlah desa ada 75 ribu. Jadi kalau setahun cuman 1.500 pengurus, maka butuh 50 tahun untuk bisa melatih semua desa,” katanya.
Jadi tahun depan, lanjut dia, alokasi anggaran dana desa mencapai Rp 73 triliun. Jumlah tersebut naik 21% dibanding alokasi anggaran tahun ini sebesar Rp 60 triliun. Sementara tahun ini, realisasi anggaran dana desa hingga akhir Juni 2018 mencapai Rp 35,86 triliun. Atau mencapai 59,77% dari target dalam APBN 2018 sebesar Rp 60 triliun. Anggaran Dana Desa 2018, sebesar Rp 60 triliun atau sama seperti 2017 lalu.
Dana desa hingga saat ini telah banyak membantu memenuhi kebutuhan infrastruktur desa. Ketersediaan infrastruktur tersebut akan membantu meningkatkan pertumbuhan ekonomi desa melalui inovasi-inovasi baru. “Sekarang jalan desa sudah banyak yang terbangun. Memang tidak ada jalan tol, tidak ada trotoar. Ini butuh inovasi. Inovasi tidak bisa top down. Ada program PID (Program Inovasi Desa). Kita harapkan dengan ini akan tumbuh inovasi-inovasi baru sehingga masyarajat bisa rasakan manfaatnya supaya tidak terpaku,” ujarnya.
Baca: Asian Games 2018, Kirab Obor oleh Menteri Desa dan PDTT Disambut Antusiasme Warga
Seperti dana desa di Papua, lanjut Eko, memang sebagian besar masih banyak digunakan untuk infrastruktur. Karena memang insfrastruktur masih kurang di Papua. Tapi kalau di daerah-daerah yang dekat kota, seperti Kabupten Sorong atau Jayapura, itu infrastrukturnya sudah cukup, maka Eko menganjurkan dana desa digunakan untuk memulai di pengembangan ekonomi, seperti membentuk Bumdes yang aktifitasnya membentuk bank sampah, desa-desa wisata, pengolahan pasca panen, dan lainnya.
“Jadi tolong nanti kasih tahu itu para bupati agar bertemu bertemu saya dengan mengajukan proposal untuk program Prukades (Produk unggulan kawasan perdesaan). Karena dengan program Prukades ini, saya bisa memberikan link ke- 19 kementerian dan lembaga, lalu dunia usaha dan perbankan untuk support produk-produk unggulan daerah kabupaten yang berasal daeri desa-desanya,” imbuh Eko.
Menanggapi perlunya daerah perbatasan atau terluar untuk dijangkau, Eko mengatakan, desa Sebatik di Kalimantan Utara telah berkembang cepat sekali. Karena desa Sebatik mengggunakan dana desanya mengikuti program Pulkades. Misalnya dengan jagung, budi daya ikan yang diolah sehingga bisa diekspor .
“Jadi tidak ada alasan perbatasan atau tidak perbatasan, yang penting fokus pada produk unggulan tertentu sehingga mempunyai skala produksi yang besar dan kita bisa melibatkan dunia usaha untuk masuk di daerah-daerah tersebut agar membangun sarana pasca panen,” tukasnya. (lin)