Oleh Irawan Djoko Nugroho *
semarak.co-Kampung Majapahit adalah komplek permukiman desa yang memiliki ciri hunian khas rumah pada zaman Majapahit. Kampung Majapahit merupakan upaya Pemkab Mojokerto dan Pemprov Jatim untuk menghadirkan Desa Wisata pada Kawasan Cagar Budaya Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto sebagai pendukung cagar budaya situs peninggalan era Majapahit dengan memaksimalkan kegiatan ekonomi lokal sebagai bagian dari atraksi pariwisata yang dapat dijadikan sebagai daya tarik wisata tambahan.
Kampung Majapahit menduduki 3 desa yang ada di Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto. Tiga desa tersebut diantaranya adalah Desa Bejijong, Sentonorejo, dan Jatipasar. Dari sedikitnya 3 desa tersebut, terindikasi bahwa sedikitnya ada 296 rumah yang akan dipugar dan dirubah bentuk fisiknya menjadi kawasan dengan arsitektural zaman Majapahit (Jovany Aliflyantera, 2016: 78).
Desain Rumah Kampung Majapahit di Mojokerto, salah satunya berasal dari usulan Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Trowulan. Usulan itu merujuk pada 3 sumber sejarah Majapahit. Yakni Nāgarakṛtāgama, relief sejumlah candi dan penemuan artefak kuno.
Namun demikian menurut penelitian Sugiyono Ruslan, ciri hunian khas rumah pada zaman Majapahit secara umum didasarkan pada relief Candi Minak Jinggo dan Candi Tegowangi, (Sugiyono Ruslan 2019: 59).
Rekonstruksi rumah Majapahit versi BPCB hasil reka ulang juga dianggap masih kurang lengkap tentang rumah Majapahit kecuali bila rumah tersebut dibenahi terlebih dahulu dan diberi tulisan “rumah Majapahit strata sudra” bentuk rumah masyarakat paling bawah/rendah.
Perlu dijelaskan bahwa rumah itu adalah rumah masyarakat pada umumnya dan berbanding terbalik dengan kebesaran Majapahit yang dapat membunuh karakter Majapahit (Sugiyono Ruslan 2019: 65).
Salah Desain
Istilah “rumah Majapahit strata sudra” merupakan istilah yang tentu sangat menarik. Terlebih bila kemudian dikatakan jika rumah tersebut adalah rumah masyarakat pada umumnya. Namun benarkah bila rumah Majapahit yang disebut sebagai “rumah Majapahit strata sudra” merupakan rumah masyarakat pada umumnya?
Bila melihat kembali sumber yang digunakan untuk mendeskripsikan rumah khas Majapahit di Kampung Majapahit yaitu relief rumah di Candi Minak Jinggo dan Candi Tegowangi, maka keduanya sebenarnya tidak mengisahkan sebuah rumah untuk tempat tinggal.
Di sini ada semacam upaya manipulasi desain dengan menjadikannya inspirasi sebagai rumah khas Majapahit untuk dianggap sebagai rumah masyarakat pada umumnya. Manipulasi desain tersebut adalah sebagai berikut.
- Relief Candi Menak Jinggo
Secara umum relief Candi Menak Jinggo yang diangkat sebagai dasar inspirasi Rumah Majapahit, tampak sebagai berikut.
Bila melihat kembali bangunan tersebut, bangunan pada relief candi itu sesungguhnya adalah bangunan terbuka. Semacam bale dan bukan bangunan tertutup. Di relief Candi Borobudur, variasi relief yang berbentuk bale banyak terdapat. Di sini tampak para ahli memanipulasinya menjadi bangunan tertutup, demi hanya untuk menjadikannya dasar inspirasi rumah Majapahit.
Rumah Majapahit secara arkeologis sendiri hingga saat ini belum teridentifikasi. Dalam ‘Potret-Potret Kearifan Lingkungan Masa Lalu dalam Relief dan Sastra Tertulis’, Siswanto dicatat tidak memasukkan informasi mengenai format rumah, (Siswanto 2014).
Tidak dimasukkannya informasi mengenai format rumah ini menunjukkan jika format rumah pada masa lalu memang masih abstrak hingga saat ini. Karena itu memanipulasi bale menjadi sebuah rumah Majapahit untuk Kampung Majapahit, menjadi sebuah langkah yang dapat disebut sebagai salah desain.
2. Relief Candi Tegowangi
Relief Candi Tegowangi pada dasarnya adalah relief yang mengisahkan kisah Sudamala. Sebuah cerita yang mengisahkan mengenai peruwatan sebuah kutukan. Salah satu relief yang dijadikan dasar desain rumah khas Majapahit ternyata adalah bangunan pekuburan.
Pada gambar Relief Candi Tegowangi tersebut, dikisahkan sebuah setting kuburan angker yang bernama Setra Gandamayu. Di mana kala itu, Kunti (ibu para Pandawa) tengah ber-anjali (mengatup tangan untuk penghormatan).
Kunti juga mempersembahkan sesaji kepada Ra Nini dan memohon agar Ra Nini mengenyahkan Kalanjaya dan Kalantaka. Karena itu dapat dikatakan jika bangunan-bangunan yang ada dalam relief tersebut sesungguhnya adalah bangunan pekuburan bukan perumahan.
Kisah adanya bangunan di pekuburan ternyata juga dikisahkan dalam kakawin. Misalnya saja kakawin Sutasoma IX: 7. Dalam kakawin Sutasoma tersebut, dikisahkan Pangeran Sutasoma juga bersamadi di sebuah pekuburan besar dan kemudian memasuki rumah persembahan.
Nyanggrodhâsělur ing lěmah kěpuh agöng karamayan amilět těkeng ruhur,
sak rangkang nyan amarppatâpaḍu witâna ri těngah ikanârjja kokiran,
byâtītan ri surup hyang ârkka nṛpaputra sira ḍatěng arâryyan ing yaśa,
ngkân mañjing sira ring pangarccaṇan angarccaṇa ri sang atirȗpa Bherawȋ.
‘The shoots of a banyan tree reached down to the ground, and a tall kepuh-tree beautifully entwined with it up to its top. The pavillions at the four corners of the charnel ground and the reception-hall in the centre, all beautifully carved, were damaged. After sunset the prince came there to rest in the building.
There he entered the offering-house to pay homage to the terrible looking goddess Bherawȋ’ – (Pucuk pohon banyan mencapai ke tanah, dan pohon kepuh yang tinggi terjalin dengan indah hingga ke puncaknya. Paviliun (Rangkang) di empat sudut tanah pemakaman dan aula resepsi (Witâna) di tengah, semuanya diukir dengan indah, rusak.
Setelah matahari terbenam sang pangeran datang ke sana untuk beristirahat di dalam gedung (Yaśa). Di sana ia memasuki rumah persembahan untuk memberi penghormatan kepada dewi Bherawȋ yang tampak mengerikan).
Menurut kakawin Sutasoma tersebut, ada tiga bangunan yang terdapat di pekuburan. Ketiganya adalah Rangkang, Witâna, dan Yaśa yang di dalamnya terdapat tempat bernama pangarccaṇan. Bila dihubungkan dengan gambar relief Candi Tegowangi di atas, lukisan yang disebut Rangkang tidak lain berada di belakang Kunti.
Witâna di sisi kanan Kunti dan Yaśa adalah bangunan yang berada di bagian depan Kunti. Karena itu mendasarkan inspirasi desain rumah Majapahit di Kampung Majapahit pada relief Candi Tegowangi sudah tentu juga salah desain.
Para ahli yang merujukkan pada relief Candi Tegowangi sebagai inspirasi desain rumah Majapahit jelas tidak membaca akan makna kisah relief tersebut. Karena itu rumah Majapahit di Kampung Majapahit sudah selayaknya dirubah total. Namun bila tetap dipertahankan sebagaimana adanya, maka Kampung Majapahit tidak lebih dari sebuah rumah pekuburan Majapahit.
3. Desain Rumah Majapahit Yang Seharusnya
Melacak gambar rumah Majapahit masa lalu, pada dasarnya dapat mendasarkan pada informasi Sejarah Dinasti Song (960-1279) dan bukan pada informasi Yingya Shenglan (1416). Keduanya menginformasikan informasi yang berberbeda.
Informasi Sejarah Dinasti Song (960-1279), mencatat rumah orang Jawa adalah sebagai berikut. Rumah mereka indah dan dihiasi dengan genting berwarna kuning dan hijau. Ketika para pedagang Tionghoa tiba di sana, mereka diterima sebagai tamu di dalam bangunan umum. Hidangan makanan yang dimakan para tamu itu begitu banyak dan bersih, (WP. Groeneveldt, 2009:24).
Sementara itu informasi Yingya Shenglan (1416) adalah sebagai berikut. Pertama. Rumah tinggal penduduk dialasi jerami dan dilengkapi dengan ruang penyimpanan yang terbuat dari bata. Tingginya sekitar satu meter dan digunakan untuk menyimpan barang-barang milik mereka.
Di atas tempat penyimpanan inilah mereka biasanya duduk, (WP. Groeneveldt, 2009:64). Kedua. Penduduk negara ini tidur sambil duduk. Mereka tidak memiliki tempat tidur atau dipan, (WP. Groeneveldt, 2009:68). Ketiga. Jika mereka menerima tamu, mereka tidak menawarkan minuman tetapi menawarkan pinang, (WP. Groeneveldt, 2009:69).
Irawan Djoko Nugroho (2022), mencatat bila informasi Yingya Shenglan (1416), sesungguhnya tidak dapat untuk menggambarkan istana dan perumahan Jawa pada masa lalu. Hal ini karena rombongan utusan Cina menurut Yingya Shenglan tersebut berada di wilayah khusus. Hal ini dapat dilihat dari perbandingan informasi Yingya Shenglan dengan Hikayat Banjar.
Pada informasi Yingya Shenglan disebutkan bila tempat keberadaan utusan Cina berada di 1,5 hari selepas turun dari perahu dan berjalan ke Majapahit. Setelah turun dari perahu dan berjalan kaki ke arah selatan selama satu setengah hari, sampailah kita di Majapahit, (WP. Groeneveldt, 2009:64).
Informasi ini ternyata setengah dari jarak menurut catatan Hikayat Banjar. Dalam Hikayat Banjar dicatat sebagai berikut. Ditangah djalan itu tiga hari datang ka-Majapahit, maka terkabar oleh orang pada radja itu, (J.J. Ras, 1984: 300). Melalui perbandingan itu, terdapat jarak 1,5 hari lagi dari waktu yang ditempuh utusan Cina bila hendak sampai ke istana Majapahit yang sesungguhnya.
Irawan Djoko Nugroho (2022) kemudian menyebut desain rumah indah sebagaimana catatan Sejarah Dinasti Song (960-1279) adalah relief rumah yang tampak pada relief cerita Lalitavistara di candi Borobudur. Cerita Lalitavistara berisi kisah kehidupan Buddha Gautama. Dalam photodharma.net, relief yang di dalamnya terdapat lukisan rumah mendapat keterangan sebagai The Statues worship Siddhartha.
Berikut, desain rumah indah orang Jawa sebagaimana yang dimaksud dalam catatan Sejarah Dinasti Song (960-1279).
Informasi desain rumah indah sebagaimana yang dicatat Sejarah Dinasti Song (960-1279), ternyata memiliki kemiripan dengan informasi Śiwarātrikalpa. Dalam Śiwarātrikalpa, sekalipun dilukiskan beratap lalang namun desain bangunan di sebuah dusun yang jauh dari istana Majapahit, juga dicatat indah. Di sini terdapat kesamaan informasi ‘indah’ antara keduanya.
Śiwarātrikalpa 2.5:
‘Adapun sebuah dusun yang dipandangnya dari atas, terletak di bawah, dalam sebuah lembah di tengah-tengah punggung-punggung bukit. Bangunannya indah sekali, atapnya yang dibuat dari lalang terselubung oleh hujan gerimis. Gumpalan-gumpalan asap melayang jauh, meninggalkan bekasnya di langit. Balai desa terlindung oleh sebatang pohon banyan, atapnya terbuat dari gelagah; di bawahnya sering diadakan musyawarah’, (Zoetmulder, 1983:257).
Sekalipun makna ‘indah’ mengandung unsur subyektifitas, namun bangunan yang memiliki bentuk ‘indah’ yang dimaksud dalam Śiwarātrikalpa tentu bukan sekedar ukirannya sebagaimana bangunan di pekuburan, tapi struktur bangun secara keseluruhan.
Karena itu ia lebih tepat merujuk pada bangunan sesuai informasi Sejarah Dinasti Song (960-1279), yaitu mengacu pada Rumah dalam Relief Borobudur: Lalitavistara-Original-00054. Dapat dikatakan bila sekalipun struktur atapnya berbeda, namun struktur bangunannya yang disebut ‘indah’ memiliki kesamaan.
Karena itu, dapat dikatakan bila rumah Majapahit di Kampung Majapahit seharusnya juga mengacu pada bangunan menurut relief Borobudur bukan pada bangunan yang merujuk pada relief di Candi Minak Jinggo terlebih lagi pada Candi Tegowangi. Bangunan Candi Tegowangi tidak lain adalah bangunan di pekuburan yang tidak digunakan sebagai rumah tempat tinggal.
Salah Konsep
Dengan membawa nama Majapahit, Kampung Majapahit seharusnya tidak terjebak hanya sekedar memaksimalkan kondisi eksisting kegiatan ekonomi lokal. Biarpun memaksimalkan kondisi eksisting kegiatan ekonomi lokal itu penting, namun kala Kampung Majapahit hanya berorientasi pada hal tersebut, maka jelas Kampung Majapahit telah masuk dalam kategori salah konsep.
Majapahit dalam sejarah identik dengan maritim, rempah, pengolahan logam baja, ilmu pengetahuan dan kuliner yang menembus dunia. Karena itu perlu ada inovasi lain yang mampu membawa kembali ingatan kepada Majapahit yang sesungguhnya. Ingatan tersebut dapat dipersempit misalnya dengan menjadi kampung rempah dan kuliner khas Majapahit.
Majapahit sebagai pusat rempah dicatat dengan jelas oleh semua orang asing yang datang ke Majapahit. Seperti Ibn Batutta, Odorico da Pordenone, hingga Ma Huan. Sementara itu kuliner Majapahit, salah satunya dicatat dalam Hikayat Banjar.
Di sini Pemerintah Daerah dan Propinsi perlu bertindak secara tepat dengan mendeklarasikan Kampung Majapahit sebagai Kampung Maritim dengan fokus utama sebagai Kampung Rempah dan Herbal selain Kampung Kuliner Majapahit.
Deklarasi ini perlu diikuti kebijakan terkaitnya sehingga semua linier mendukung keberadaan kampung itu. Tanpa itu, roh Majapahit tidak akan pernah ada. Kampung Majapahit hanya menjadi kampung yang salah konsep. *
Pustaka
Agus Aris Munandar, Pakuwon Pada Masa Majapahit: Kearifan Bangunan Hunian yang Beradaptasi dengan Lingkungan.
Irawan Djoko Nugroho, Meluruskan Sejarah Majapahit, Yogyakarta: Ragam Media, 2010.
Irawan Djoko Nugroho, Majapahit Peradaban Maritim, Jakarta: Yayasan Suluh Nuswantara Bakti, 2011.
Irawan Djoko Nugroho, Kronogram Dalam Hikayat Hang Tuah. Analisa Struktur dan Kekerabatan Melaka-Majapahit, Jakarta: , 2022.
Jovany Aliflyantera, Arahan Pengembangan “Kampung Majapahit” Sebagai Desa Wisata Pada Kawasan Cagar Budaya Kecamatan Trpwulan, Kabupten Mojokerto. Tugas Akhir Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya, 2016.
Jovany Aliflyantera Adistana dan Haryo Sulistyarso, Arahan Pengembangan “Kampung Majapahit” sebagai Desa Wisata pada Kawasan Cagar Budaya Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Jurnal Teknik ITS Vol. 5, No. 2, (2016).
Ras, J.J., Hikayat Bandjar, a Study in Malay Historiography. BI. 1. The Hague: Martinus Nijhoff, 1968.
Siswanto, ‘Potret-Potret Kearifan Lingkungan Masa Lalu dalam Relief dan Sastra Tertulis’ dalam Majapahit Batas Kota dan Jejak Kejayaan di Luar Kota, Yogyakarta: Penerbit Kepel Press: 2014.
Sugiyono Ruslan, Rekonstruksi Rumah Majapahit di Desa Bejijong Sebagai Sarana Edukasi Pendidikan IPS, Gulawentah: Jurnal Studi Sosial, 2019.
Soewito Santoso, Boddhakawya – Sutasoma a Study in Javanese Wajrayana Text – Translation – Commentary, Thesis submitted for the degree of Doctor of Philosophy in the Australian National University, 1968.
W.P. Groeneveldt, Nusantara dalam Catatan Tionghoa. Jakarta. Komunitas Bambu, 2009, hal: 15.
Zoetmulder P.J., Kalangwan Sastra Jawa Kuna Selayang Pandang. Jakarta: Penerbit Djambatan, 1983.
Zoetmulder P.J., Kamus Jawa Kuno-Indonesia. Vol. I-II. Terjemahan Darusuprapto-Sumarti Suprayitno. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1995.
Website
Irawan Djoko Nugroho, Omahipun Simbah. https://www.nusantarareview.com/omahipun-simbah.html
Irawan Djoko Nugroho, Lokasi Istana Majapahit Berlapis Emas. https://www.nusantarareview.com/lokasi-istana-majapahit-berlapis-emas.html
https://nasional.tempo.co/read/547182/ratusan-rumah-akan-jadi-kampung-majapahit
https://www.brilio.net/jalan-jalan/melihat-kampung-majapahit-di-trowulan-jelajahi-permukiman-abad-ke-14–160513c.html
https://news.detik.com/berita-jawa-timur/d-2803426/desain-rumah-kampung-majapahit-bersumber-dari-kitab-negarakertagama
https://mblusuk.com/versi-amp/947-Relief-Kisah-Sudamala-di-Candi-Tegowangi.html
https://mblusuk.com/versi-amp/310-Candi-Candi-Tak-Utuh-di-Trowulan.html