Oleh: Agus M Maksum *)
Semarak.co – Dalam tulisan saya sebelumnya, saya tulis begini: “Ketika kebenaran material tak lagi bisa ditepis, maka runtuhlah panggung kebenaran formal buatan negara.”
Dulu, kalau pengadilan bilang A, ya A.
Kalau kampus bilang lulus, ya lulus.
Kalau polisi bilang kasus selesai, ya sudah.
Semua percaya. Semua patuh.
Sekarang? Orang biasa seperti kita justru yang buka-bukaan. Mereka cari sendiri dokumennya. Periksa sendiri kertasnya. Bandingkan, cocokkan, bongkar habis-habisan. Bahkan hari ini, publik mulai menyorot cara kerja polisi. Bukan sekadar siapa ditangkap, siapa ditersangkakan, tapi:
“Kok caranya gitu?”
Alkatiri Bacakan Perkap, Polisi Diam
Adalah Abdullah Alkatiri—yang kalau ngomong soal aturan, keras kepala seperti mobil tronton tanpa power steering. Sekali dia maju, jangan harap bisa dibelokkan. Waktu itu dia berdiri, dan bilang:
> “Kalau bilang tahu isi PERKAP, coba saya tanya—DPR, Komnas HAM yang hadir di sini, tahu nggak isinya?”
Lalu dia minta ditayangkan.
PERKAP No. 10 Tahun 2009. Pasal 10.
Ia bacakan:
- Permintaan pemeriksaan barang bukti ke laboratorium forensik harus diajukan tertulis oleh Kepala Kesatuan Wilayah atau pimpinan instansi.
- Surat itu wajib dilengkapi syarat formil dan teknis.
- Kalau tidak lengkap? Laboratorium wajib mengembalikan dalam waktu 14 hari.
- Dan kalau setelah dua kali 14 hari belum juga lengkap, berkas tidak boleh diproses.
> “Ini kayak proses P21 di kejaksaan,” kata Alkatiri.
“Kalau tidak lengkap, tidak bisa dipaksa lanjut. Tapi ini, Bareskrim justru tetap jalan.”
Dia kemudian lanjut ke Pasal 80:
> Pemeriksaan terhadap dokumen seperti ijazah wajib ada laporan polisi, BAP saksi atau tersangka, dan dokumen proses penyidikan.
Tapi dalam kasus ini? Tidak ada semua itu.
> “Ya ini kayak orang masuk rumah tanpa ketuk pintu,” katanya sambil menatap tajam.
“Kalau syaratnya belum lengkap, ya hasil forensiknya tidak sah!”
Kalau Sudah Tahu Salah, Kenapa Masih Dipaksakan?
Yang bikin tambah aneh, meski tahu prosedur belum lengkap, Bareskrim tetap lanjut. Para pelapor dinaikkan statusnya jadi penyidikan. Mereka dituduh menghasut, menyebar hoaks, mencemarkan nama baik.
Tapi lucunya, tidak ada satu pun yang membahas apakah ijazah Jokowi asli atau palsu. Gawangnya digeser. Bolanya tetap, tapi tiangnya pindah.
Ini Bukan Lagi Soal Hukum, Tapi Soal Akal Sehat
Orang awam pun bisa melihat ini janggal. Kalau memang ijazahnya asli, kenapa tidak tunjukkan saja di depan publik? Kenapa malah yang bertanya yang dipenjara? Ini seperti orang ditanya SIM, bukannya menunjukkan SIM, malah melaporkan balik si penanya karena dianggap menghina.
Polisi Juga Terikat Aturan
Ada yang bilang PERKAP itu cuma aturan internal. Tapi bukankah semua institusi negara wajib taat pada aturan yang mereka buat sendiri? Kalau polisi melanggar PERKAP, ya sama aja kayak supir taksi nerobos lampu merah lalu marah ketika ditilang. Kalau polisi saja boleh melanggar, maka rusak sudah kepercayaan publik. Bukan cuma rusak institusi, tapi rusak harapan rakyat pada hukum.
Hati-Hati, Kalau 12 Orang Ini Dijadikan Tersangka, Negara Sedang Membuat Martir
Hari-hari ini, kita dengar kabar akan ada 12 orang yang diproses karena dianggap menyebarkan dugaan ijazah palsu Jokowi. Kalau benar mereka dijadikan tersangka, maka publik tidak akan diam. Ini bukan lagi soal hukum, tapi soal sejarah.
Publik akan mencatat:
Mereka bukan penjahat.
Mereka hanya bertanya:
“Mana ijazah aslinya, Pak?”
Dan kalau pertanyaan seperti itu bisa bikin orang masuk penjara, akan lahir gelombang baru: seribu orang bertanya hal yang sama.
Akhirnya: Kalau Benar, Tunjukkan. Kalau Tidak, Jangan Salahkan Rakyat yang Bertanya
Hukum bukan untuk melindungi kekuasaan. Hukum dibuat untuk melindungi kebenaran. Dan kalau hari ini Bareskrim melanggar aturan mereka sendiri, maka pertanyaannya bukan lagi “siapa salah”, tapi: siapa sebenarnya yang sedang diselamatkan?”
Kalau kebenaran itu bisa dibuktikan, tunjukkan. Kalau tidak bisa, jangan kriminalisasi orang yang bertanya. Sejarah tak pernah lupa. Dan kebenaran—seperti air—selalu menemukan jalannya sendiri.
✍️ Catatan ini ditulis bukan karena benci, tapi karena cinta pada hukum yang jujur dan negara yang sehat. Kalau negara ini mau tetap tegak, maka tegakkanlah dulu kejujuran paling dasar: bahwa aturan berlaku untuk semua, bukan hanya untuk rakyat kecil.
*) belum ditemukan
Sumber: WAGroup GENERASI PEJUANG PERUBAHAN NKRI (postSenin21/7/2025/budisulistiyo)