Opini: HM Affan Rangkuti
semarak.co -(Keluarkan Aturan Paksa, Sejarah Akan Mencatatmu Sebagai Penyelamat Rakyat)
Data terakhir (23/03/2020) dari www.covid19.go.id positif Corona 579. Sembuh 30, mati 49. Ku yakin data ini akan terus naik. Ada beberapa argumen mengapa kuyakini data itu akan terus naik. Sejak wabah ini mulai terkuak pada 2 Maret lalu. Dari 2 melonjak hingga 289,5 persen selama 21 hari hingga bertotal positif Corona sebanyak 579 orang.
21 hari, bagaimana jika 21 hari kedepan? Sulit untuk dibayangkan, dan memang tak mau membayangkannya, horror. Ini yang positif, belum lagi yang dalam pemantauan dan pengawasan yang masih berinteraksi dengan orang lainnya, puluhan ribu mungkin sudah.
Apa kita tahu siapa saja mereka yang dalam pemantauan dan pengawasan itu. Oh no, kita tidak tahu. Kita juga tidak tahu yang positif Corona berinteraksi dengan siapa saja, memegang apa saja, uang misalkan yang beredar dari tangan ke tangan. Boleh jadi interaksi itu juga terjadi dengan orang di sekitar kita. Kita tidak tahu.
Samalah seperti era friendster hingga facebook, twitter dan lainnya yang mudah terkoneksi antara satu dengan lainnya. Artinya apa, kita adalah sasaran berikutnya yang tak tahu kapan dan dimana kita disasar. Tak ada jaminan apapun orang disekeliling kita aman dari Corona. Boleh dong berargumen seperti itu, ya bolehlah.
Permintaan agar tidak bersentuhan langsung dan menjaga jarak sudah beredar. Bahkan pemerintah sudah jelas sekali menyampaikan agar tidak mengadakan kegiatan sosial kemasyarakatan yang menyebabkan berkumpulnya massa dalam dalam jumlah banyak baik di tempat umum maupun di lingkungan sendiri.
Negarawan Romawi Kuno Marcus Tullius Cicero (106 SM- 43 SM) pernah berujar “Salus Populi Suprema Lex Esto” yang artinya adalah keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi.
Apa yang sampaikan tokoh besar mazhab filsafat Stoa ini senada dengan Alinea ke 4 pembukaan UUD 1945 dalam memajukan kesejahteraan umum, mencerdasakan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Balik kepada Corona, asas Salus Populi Suprema Lex Esto sudah dimaklumatkan salah satu pemimpin negeri ini sebagai asas untuk keselamatan seluruh masyarakat dalam rangka menangkal dan memerangi wabah yang mengerikan itu.
Tetapi tetap saja, masih banyak orang yang seolah acuh, bahkan membenturkan satu fakta dan kenyataan dengan pemikiran primordial bersandar pada teologi. Semestinya fakta dan kenyataan itu disejalankan dengan teologi, bukan berlomba membangun bantahan anti fakta dan kenyataan.
Hello brather and sister, korban sudah berjatuhan. Hari ini giliran mereka yang korban, dan besar kemungkinan aku, kamu dan kita semua menyusul. Memang kita tahu, virus itu menyerangnya kapan, dimana, jam berapa, saat kita lagi berbuat apa. Tak tahukan? Mata kita bukan mata kalangan Avengers yang bisa melihat ada virus di tubuh orang, di benda yang bisa kamu mengelak darinya.
Bagi aku, pemerintah saat ini sangat baik sekali masih membuat himbauan, maklumat dan fatwa serta sejenisnya. Padahal wabah ini sudah sangat menakutkan bagi orang yang berfikir, bagi orang yang punya pikiran. Kecuali bagi orang yang tak punya pikiran, mungkin wabah ini dianggap ecek-ecek.
Mengapa? Karena masih banyak sekali yang tak mematuhi himbauan pemerintah itu. Tetap saja masih ada yang mengumpulkan orang-orang. Okelah, itu hak Anda dengan seabrek landasan argumen yang dibangun. Intinya Anda juga harus tahu, aku juga mau hidup, semua orang mau hidup.
Hai, kamu yang di sana dan dimanapun berada. Tahu tidak, melahirkan, merawat dan membesarkan anak itu penuh pengorbanan. Bukan masalah korban uang, bertumpuk pengorbanan orang tua yang tak bisa dihitung dengan uang bahkan kalaulah gunung dijadikan emas sekalipun tak mampu membayar pengorbanan itu.
Eh, malah dengan enaknya kamu yang di sana mengumpulkan orang yang diantaranya boleh jadi ada yang terpapar Corona. Begitu juga yang dalam pemantauan masih saja enak keluyuran ke sana kemari.
Sepertinya pemerintah jangan lagi pakai tangan lembut menyikapi hal ini. Pakai paksaan saja akan jauh lebih baik. Pak Pemimpin, kami yang masih waras ini masih ingin hidup, ingin bersama keluarga kami, bersama anak-anak kami dengan segala harapan dan impian bagi anak-anak kami untuk menjadi orang yang berguna.
Mohon Pak Pemimpin, pakai paksaan saja, karena kami, anak dan keluarga ingin hidup Pak dan kami punya hak untuk hidup itu. Jadi buat saja Pak aturan bersifat memaksa agar wabah ini bisa ditangkal dan penyebarannya dihilangkan. Tak ada cara lain Pak. Sejarah akan mencatat Anda sebagai Pemimpin yang menyelamatkan semua rakyatmu.
Kami tak ingin mati sia-sia, jika kami mati maka bagaimana nasib anak dan keluarga kami. Apakah akan ada yang perduli dengan mereka nantinya, sehari, dua hari, tiga hari perduli, tak ada jaminan perduli selamanya.
Bisa saja saat kami mati karena Corona hanya ucapan dukacita melalui Whatsapplah yang akan kami terima. Iya jika ada paket datanya, jika tidak ada maka dibacapun tidak. Miris Pak. ***