Trending topic tentang Presiden Jokowi wajahnya bukan tipe diktator terus menghangat. Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Gerindra, Muhammad Syafi’i mengkritik ucapan Presiden Jokowi soal wajah diktator. Menurut politisi yang biasa disapa Romo ini, pemimpin diktator bukan dilihat dari wajahnya, melainkan dari kebijakan dan aturan yang dibuatnya.
“Seorang diktator bukan karena ucapan dia, tapi dari aturan-aturan yang dia buat. Dari kebijakan yang dikeluarkan,” kata Romo Syafi’i di Jakarta, Kamis (10/8).
Kediktatoran Jokowi, nilai Romo, bisa dilihat dari lahirnya Perppu ormas yang meniadakan pembubaran ormas harus melalui proses di pengadilan. “Setelah pemimpin diktator dan otoriter seperti Hitler (pemimpin Nazi Adolf Hitler) dan Benito Mussolini (pemimpin fasis asal Italia), pemimpin yang sekarang diktator dan otoriter, ya, Jokowi. Lihat saja, sekarang dana haji ingin digunakan untuk infrastruktur, Jokowi sebenarnya tahu tidak dana haji untuk apa?,” sindirnya.
Romo menganggap Jokowi otoriter tidak hanya dalam bidang itu saja, melainkan dalam bidang lainnya seperti full day school, impor garam, kedelai, dan singkong yang menggunakan sistem pasar bebas. Selain itu, Jokowi memaksakan presidential threshold 20 persen yang menurutnya melanggar UUD 1945. “Ini bukti bahwa Jokowi memaksakan kehendak. Di dalam negara yang bukan otoriter pasti yang menjadi panglima adalah hukum,” tegasnya.
Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah menyebut Jokowi adalah produk yang dihasilkan dari proses demokrasi. Ia mengatakan sebenarnya masyarakat belum siap menerima orang seperti Jokowi karena wajahnya yang kurang tegas. Akibat dikeluarkannya Perppu Ormas yang mengakibatkan pembubaran ormas HTI, sejumlah pihak menganggap Jokowi menjalankan kepemimpinan diktator dan otoriter.
“Masyarakat, kadang-kadang, kita memang enggak siap menerima orang kayak Pak Jokowi karena tampangnya enggak kuat gitu loh. Dan Pak Jokowi jujur mengakui itu. Memang tampangnya tidak kuat. Tapi tampang Jokowi itu, ya memang demokrasi itu begitu milihnya yang kayak begitu-begitu gitu loh. Itu demokrasi,” kata Fahri di gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (10/8).
Perihal Jokowi disebut ndeso dan diktator, Fahri melihat hal itu bukan menjadi acuan utama. Karena apa yang dilakukan Jokowi bukan berdasarkan kondisi fisik, tetapi kebijakan apa yang diputuskan. Namun demikian, Fahri berpendapat apa yang dilakukan Jokowi saat ini tidak bisa dipungkiri dapat membangunkan kondisi yang otoriter. Kondisi tersebut, kata Fahri, bisa berbahaya jika menilik berbagai kebijakan yang dikeluarkan Jokowi, salah satunya Perppu Ormas.
“Satu caranya, kalau kadang-kadang kita mereproduksi pasal-pasal otoriter dalam UU, dan salah satunya Perppu Ormas. Dia membuat Perppu, tidak UU, dan dia buat pasal-pasal yang memungkinkan pemerintah tunjuk jari dan membubarkan satu lembaga, menghilangkan kebebasan. Hari ini korbannya ormas, besok korbannya bisa media, besok korbannya bisa parpol, korbannya organisasi buruh organisasi intelektual, bisa,” papar politisi PKS.
Wakil Ketua DPR Fadli Zon seolah senanada. Menurutnya, sikap diktator seorang pemimpin tidak dilihat dari ucapan dan wajahnya. Namun, sikap diktator bisa diukur dari tindakan dan kebijakan yang dikeluarkan seorang pemimpin. “Diktator itu bisa dilihat bukan dari ucapan apalagi dari wajah, tetapi dari tindakan dan kebijakannya,” kata Fadli kepada Kompas.com, Rabu (9/8).
Fadli menilai banyak tindakan dan kebijakan pemerintahan Jokowi yang mengarah pada gaya pemerintahan diktator. Misalnya terkait Perppu. Ia menilai perppu tersebut bergaya diktator karena bisa membubarkan ormas tanpa melalui proses pengadilan. Sejauh ini, baru satu ormas yang dibubarkan menggunakan mekanisme Perppu, yakni Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
Selain itu, ada juga penangkapan demonstran dengan tuduhan makar. Orang yang membuat dan menyebarkan ujaran kebencian kepada pemerintah di media sosial juga kerap ditangkap oleh aparat kepolisian. “Dan hate speech yang ditangkap itu yang hanya mengkritik pemerintah, tapi yang tidak kritik pemerintah dibiarkan. Jadi ini kecenderungan yang mengarah kepada kediktatoran,” ucap Fadli Zon.
Wakil Ketua Umum Partai Gerindra ini merasa perlu mengingatkan Jokowi agar tidak bertindak kebablasan. Sebab, Fadli mengingatkan banyak diktator dunia yang awalnya juga menjual demokrasi dan kebebasan berekspresi. Namun lama kelamaan, karena kekuasaan yang besar, para pemimpin dunia kerap lupa dengan janjinya dan berakhir menjadi seorang diktator. “Kita harus ingatkan karena ada pepatah mengatakan, power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely,” ucap Fadli.
Dalam dua hari terakhir, Jokowi dua kali menyampaikan bahwa ia bukanlah seorang diktator. Pertama, ketika bersilaturahim dengan ulama beserta para santri di Pondok Pesantren Minhaajurrosyidin Lubang Buaya, Jakarta Timur, Selasa (8/8/2017). Jokowi meminta santri tidak takut untuk naik ke atas panggung. “Enggak usah takut. Presidennya enggak diktator kok. Sekarang di medsos banyak yang menyampaikan, Pak Presiden Jokowi itu otoriter, diktator. Masa wajah saya kayak gini wajah diktator,” kata Jokowi.
Lalu, saat membuka simposium internasional bertajuk “Mahkamah Konsitusi Sebagai Pengawal Ideologi dan Demokrasi dalam Masyarakat Majemuk” di aula Universitas 11 Maret, Kota Solo, Jawa Tengah, Rabu (9/8/2017). Presiden menegaskan, konstitusi tidak memungkinkan kepemimpinan diktator di Indonesia. “Merujuk konstitusi kita, tidak ada satu pun institusi yang memiliki kekuasaan mutlak, apalagi seperti dictator,” tutupnya. ((kpc/pubn/kum/lin)