Oleh Asp Andy Syam
semarak.co– Di tengah makin derasnya benturan peradaban, Indonesia ibarat kapal besar sedang berlayar ditengah samudera diantara bahaya dua KARANG besar. Karena itu, Indonesia membutuhkan partai jalan Tengah untuk keselamatan NKRI.
Partai Gelora (Gelombang Rakyat) secara hukum telah resmi berdiri. Begitu pengakuan pendiri partai yaitu Anis Matta setelah lulus verifikasi di Menhukum dan Ham.
Masyarakat tidak lagi bertanya tanya-tanya, siapa sesungguhnya pendiri partai Gelora. Semua sudah tahu bahwa pendiri dari partai Gelora adalah mantan pentolan PKS yaitu Anis Matta, Fahri Hamzah, Mahfud Siddiq, dkk.
Jokowi’s effek
Gebrakan awal pertama para tokoh partai Gelora adalah mereka menghadap Presiden Jokowi untuk memperkenalkan pengurusnya. Suatu terobosan yang jitu membuat berita. Sontak komentar di media sosial bahwa partai Gelora didirikan oleh barisan sakit hati sempalan PKS. Partai Gelora didirikan untuk menggembosi PKS dari dalam.
Pada hal sesungguhnya, friksi dalam PKS yang berakhir dengan lahirnya partai Gelora adalah dampak dari Jokowi’s efek. Setelah Presiden PKS Sohibul Iman bertemu Presiden Jokowi tiba tiba memunculkan sikap baru Kepemimpinan PKS pada tokoh vokal (pengkritik Jokowi).
Seperti keluhan Fahri Hamzah bahwa Kepemimpinan PKS mulai otoriter dan benar sendiri. Inilah embrio Friksi dalam tubuh PKS mulai memecah belah pemikiran para kader. Fahri Hamzah adalah tokoh vokal yang sering mengkritik Presiden Jokowi mulai disingkirkan, yang berbuntut proses hukum di Pengadilan.
Konon pertemuan Ketua PKS dengan Presiden Jokowi adalah soal bargaining politik untuk melindungi mantan Pimpinan PKS dari jeratan kasus hukum. Publik sudah tahu, bahwa rezim Jokowi menggunakan hukum untuk mengancam lawan politik lalu menjinakkannya.
Menjadikan hukum sebagai alat politik, menurut pakar politik Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt, salah pendekatan otoritarian kepemimpinan politik yang berpotensi membunuh demokrasi.
Sungguh mencurigakan kalau ada partai tiba-tiba merapat ke Presiden Jokowi dan berdampak pada perpecahan partai. Terlihat peralihan Kepemimpinanpartai Golkar dari Aburizal Bakri kepada Airlangga Hartarto menimbulkan guncangan didalam. Naiknya Hartarto semacam dipaksakan oleh kelompok Agung Laksono dkk.
Akibatnya menyingkirkan kelompok Akbar Tanjung dan JK. Itulah Jokowi’s efek Hartarto membawa Golkar menjadi loyalis Presiden Jokowi. Golkar dulu dikenal sebagai partai jalan Tengah, kini jadi partai yang cenderung ke kiri mengikuti aliran zaman rezim Jokowi sebagai era kebangkitan kekuatan kiri di Indonesia. Sejumlah tokoh Golkar loyalis Akbar Tanjung dan JK akhirnya tersingkir dengan kasus eKTP.
Juga Ketua PAN, Zulkifly Hasan makin rapat pada Presiden Jokowi dan dampaknya mengancam perpecahan partai. Tetapi PAN bukan berarti cenderung pada jalan kiri. Mungkin sekedar taktis penyelamatan Kepemimpinan.
Demikianlah Jokowi’s efek.Tapi itulah politik. Kawan bisa jadi lawan dan lawan bisa berubah jadi kawan. Suatu politik oponturis yang menunjukkan kekaburan nilai-nilai dan kelemahan integritas.
Perpecahan PKS
Kalau mencermati perpecahan PKS kemudian lahir partai Gelora, inti masalahnya adalah persepsi yang berbeda tentang gaya Kepemimpinan dan kebebasan yang mulai tidak ditemukan dalam kepemimpinan Presiden PKS Sohibul Iman. Dinamika berfikir Anis Matta, Fahri Hamzah memerlukan ruang kebebasan untuk berkreasi.
Mereka melihat perlunya beradabtasi pada perubahan yang makin cepat dan tak terduga.Mereka punya gagasan arah baru Indonesia. Sebuah gagasan masih diangkasa biru.Mereka ingin Islam, Nasionalisme, demokrasi menjadi thema perjuangan.Kini Gelora menjadi rumah yang bebas. Karena gagasannya itu mereka disebut liberal olah Kepemimpinan PKS.
Masalahnya bukan soal liberal, tapi setiap pemimpin yang membaca perubahan perlu memberikan respon pada perubahan. Perubahan masyarakat Indonesia yang majemuk, makin terbuka pikirannya. Sekularisme makin besar pengaruhnya. Gaya hidup pun makin berubah yang cenderung pada pragmatisme dan hedonisme. Nilai-nilai agamis makin longgar. Mereka ingin pemimpin politik yang mengerti perubahan.
Tetapi kelihatan kepemimpinan PKS ditangan Sohibul Iman dengan dukungan Dewan Syuroh sebagai cendekiawan sepertinya bukan menolak perubahan, tapi ingin konsisten pada perjuangan bela agama (Islam). Nilai-nilai Islam mesti ada kelompok yang memperjuangkannya.
Dalam Al Qur’an memang disebutkan adanya kelompok yang membela agama (Islam). Musuh musuh mereka tidak membahayakan mereka karena senantiasa dalam lindungan Allah. Di zaman Nabi disebut kaum Mujirin dan Anzhar. Dizaman nabi Isa disebut kaum Hawariun. Mungkinkah PKS adalah kelompok itu…?Sikap PKS yang teguh itu sepertinya menguatkan PKS untuk bertahan.
Memang kelihatannya, tanpa tokoh-tokoh seperti Anis Matta, Fahri Hamzah, Mahfud Sidfiq, PKS mampu memperkuat kiprahnya dan meningkatkan perolehan suara pada Pemilu 2019. PKS memperoleh gizi baru karena konsisten memelihara hubungan dengan alumni 212 sebagai kelompok pembela agama.
Kelompok Islamis itu seolah menjadi basis tradisional PKS. Selain sistim tarbiyah PKS dengan binaan kelompok kecil (liqo) kader kader PKS yang luar biasa banyaknya, hadir disetiap komunitas dan mesjid merupakan modal andalan PKS untuk tetap survive ditengah gencarnya sekularisasi kehidupan perkotaan.
Baru baru ini, sikap PKS yang berani sendiri menolak Perpu Corona menjadi UU menujukkan Jati diri kepemimpinan yang berintergritas tinggi pada kebenaran. Suatu partai bisa langgeng dihati takyat tidak mesti harus besar.
Walaupun kecil, tapi teguh dan sabar dalam kebenaran. Percuma besar, tapi plin-plan dan kurang berintergritas pada kebenaran. Yang salah dianggap benar, karena ikut-ikutan pada yang banyak saja. Besar tapi seperti buih ditengah lautan.
Melihat pada substansi perpecahan, lahirnya Gelora bukanlah ancaman pada PKS. Sekmen pemilih hijau (Islam) masih sangat besar yang perlu digarap. Para ahli politik menyebutkan sekitar 70 % pangsa pemilih yang mayoritas Muslim adalah abu abu atau netral politik.
Beberapa partai Islam seperti PPP, PBR dan PBB gagal menggarap pemilih hijau itu karena kelemahan strategi dan siasat pengkaderan serta kelemahan sistem tarbiyah dalam menanamkan pengaruh. Mereka kalah dengan partai jalan Tengah yang memiliki gaya obsesi yang efektif pengaruhnya seperti Golkar, Demokrat dan Gerindra.
Apakah partai Gelora dengan semangat baru akan mampu menghadapi persaingan berat dengan partai-partai jalan tengah yang sudah besar seperti Gerindra, Demokrat dan Golkar dalam menggarap pemilih hijau yang terus tumbuh dan dinamis pilihannya.
Faktor pendidikan yang makin maju dan budaya baru yang makin terbuka serta pengaruh tekhnologi internet atau media sosial telah merubah persepsi pemilih dari waktu ke waktu.
Sosok Fahri Hamzah
Untuk masa depan partai Gelora, apakah Fahri Hamzah masih kritis yang menujukkan sosok pembela kebenaran ?.Masa lalu, kiprah Fahri Hamzah cukup signifikan dalam mengangkat popularitas PKS.
Ketika Presiden PKS, Lutfi Hasan Ishak terjerat kasus korupsi (2013) dan PKS dihajar habisan habisan melalui media massa untuk meluluh -lantakkan nama PKS.Fahri Hamzah selalu tampil militan memberikan pembelaan dan meluruskan pemberitaan.
Semua tahu bahwa lembaga survey seperti LSI telah meramalkan akan anjloknya perolehan suara PKS pada Pemilu 2014 karena kasus korupsi Presiden PKS yang sangat memalukan itu. Tapi anjloknya suara PKS tidak terjadi. Beda dengan partai Demokrat, kasus korupsi para petingginya membuat Demokrat sangat tajam merosot perolehan suaranya pada Pemilu 2014.
Tidak merosot perolehan suara PKS, menunjukkan PKS memang tangguh dan layak disebut kuda hitam dalam politik. Sosok kiprah Fahri Hamzah senantiasa mengangkat PKS jadi berita. Dia tidak pernah absen menilai kebijakan Pemerintah dan menyuarakan aspirasi masyarakat. Hal itu membuat PKS selalu jadi berita baik dimedia sosial maupun di media mainstream.
Sama seperti Fadly Zon di Partai Gerindra selalu proaktif menilai kebijakan Pemerintah dan menyuarakan aspirasi masyarakat. Kedua tokoh Fahri Hamzah dan Fadly Zon adalah bintang wakil rakyat dari Senayan. Dizaman politik Orba ada tokoh seperti itu yaitu Cholik Mawardi, Ridwan Saidi, Saban Sirait dll sebagai oposisi mendinamisasi fungsi pengawasan DPR.
Baik Fahri Hamzah maupun Fadly Zon sering tampil sebagai nara sumber diacara penting Indonesia Lawyers Club (TV One). Bedanya, di Gerindra terkesan kepemimpinan nya lebih demokratis sedangkan di PKS lebih terkesan anti kritik membuat Fahri Hamzah akhirnya tersingkir dari PKS.
Apakah sosok jatidiri Fahri Hamzah masih dipertahankan setelah berdirinya Gelora.?. Sepertinya mulai kendur. Isyaratnya pada pertemuan Gelora dengan Presiden Jokowi. Walaupun keduanya masih menyindir.
Jokowi mengatakan Fahri Hamzah sudah makin gemuk. Fahri Hamzah menimpali, dimusim lockdown Corona membuat orang makin gemuk, tapi Jokowi makin kurus. Suatu lolucon cerdas.
Harapan pada Partai Gelora
Nampaknya partai Gelora membawa nilai-nilai baru yang beda dengan PKS. Kendati berlatar belakang Islami, tapi tidak mau terbawa arus (kekuatan) politik yang ada. Karena itu, partai Gelora mendeklarasikan diri sebagai partai terbuka (inklusif). Inilah perbedaan siknifikan dengan PKS.
Tetapi PKS sekalipun eksklusif, tapi terbuka untuk bekerja sama dengan semua partai terutama dalam menghadapi Pilkada.Hanya PDIP yang belum pernah bekerja sama dengan PKS.
Terlihat kiprah politik PKS memiliki sikap politik yang teguh dalam prinsip nilai-nilai kebenaran, tapi lugas dalam taktik atau siasat politik. Inilah yang membuat PKS sebagai kekuatan politik (Islami) yang terus diperhitungkan dan dianggap strategis untuk menjalin kerjasama dengan semua partai politik.
Ada yang menyamakan PKS sebagai partai politik Islamis dengan Ihwanul Muslimin (IM) di Mesir. Pengamatan kami, kelihatannya sungguh beda. Kalau IM didirikan Hasan Al Banna, sebagai reaksi atas keruntuhan Khilafah Usmaniyah di Turki.
IM punya cita cita ingin membangun kembali Khilafah Islamiyah, walaupun tidak semudah itu, setelah negara-negara bangsa berdiri dinegara negara mayoritas Muslim.
Dimana saja, gerakan Islamis tidak sama karena faktor sejarah, budaya dan lingkungan kebangsaan.
Demikian juga PKS tentu tidak bisa disamakan dengan gerakan Islamis di negara lain seperti IM di Mesir.
Sedangkan PKS nampaknya hadir untuk mengisi ruang demokratisasi di Indonesia Untuk memperjuangkan nilai-nilai Islam. Tetapi PKS juga sadar keberagaman masyarakat Indonesia, karena itu, PKS selalu lugas dalam taktik atau siasat. Senantiasa membuka diri untuk bekerja sama, sepanjang tidak menyimpang dari kebenaran.
Sehubungan dengan hadirnya Gelora sebagai partai terbuka (inklusif). Pertanyaannya apakah ciri ideologis ini mampu terus dipertahankan di tengah dinamika persaingan politik. Dulu waktu baru berdiri PKB Dan PAN juga mendeklarasikan diri sebagai partai terbuka (inklusif), tapi sayang kemudian hal itu tidak sampai bertahan.
Kini baik PKB maupun PAN PAN mirip partai tertutup. PKB rekruitmen kadernya sangat tergantung pada kader kader NU. Sedangkan PAN juga sangat tergantung pada kader kader Muhammadiyah. Terlihat daya tahan hidup kedua partai ini sangat bergantung pada sumber kader kedua Ormas Islam besar itu.
Baik PKB maupun PAN seperti tidak punya kader yang mampu membuat berita sekelas Fahri Hamzah dan Fadly Zon, tetapi kedua partai itu tetap lolos ke Parlemen ( DPR), karena dukungan pemilih traditional dari kedua Ormas Islam besar (NU dan Muhammadiyah)
Sejauh mana partai Gelora akan mampu mempertahankan diri sebagai partai terbuka..? Tentu partai Gelora beda dengan PKB dan PAN karena kedua partai ini punya induk organisasi massa yaitu NU dan Muhammadiyah. Sedangkan partai Gelora tidak punya induk organisasi massa.
Semua tergantung pada kepemimpinan partai Gelora. Sejauh mana mereka mampu menata organisasi dan pengkaderan yang mandiri. Dan menghindari ketergatungan pada politik kanibal pada PKS.
Belajar dari dua partai Islam yaitu Partai Bintang Reformasi (PBR) dan Partai Bulan Bintang (PBB) tersingkir dari Parlemen (DPR), karena kaderisasinya banyak bergantung pada HMI/ KAHMI Sedangkan karder kader HMI/KAHMI sendiri punya kiprah independen, bisa ditarik kesana kemari dan tidak solid dalam ideologi Islam.
Kebutuhan pada Jalan Tengah
Secara tradisional ada dua arus kekuatan politik di Indonesia, yaitu : Nasionalis Sekuler dan Nasionalis Islam. Variannya bisa kekiri maupun kekanan.Kedua kekuatan politik itu mewarnai perjalanan politik di Indonesia sejak awal kemerdekaan. Mereka kadang berseteru soal ideologis seperti di sidang Konstutuante di Bandung yang berakhir dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Tetapi kedua aliran itu, mereka tetap bersatu dalam wadah NKRI. Berbeda beda tapi tetap satu (Bhinneka Tunggal Ika). Kedua aliran itu mewarnai pilihan politik dalam memilih Pemimpin Indonesia.
Adalah suatu pilihan politik dan hingga hari ini, bukannya redup, tapi makin terang menyeruak kemuka dengan munculnya RUU HIP. Menghidupkan kembali persaingan ideologis yang pernah jadi trauma masa lalu dan menguras energi bangsa.
Walaupun kedua aliran itu terus hadir, namun tidak menutup munculnya aliran baru yaitu jalan Tengah. Suatu kekuatan alternatif.
Kalau melihat ideologi partai Gelora yang terbuka (inklusif) menujukkan jatidiri sebagai partai jalan Tengah. Atau menghindari terbawa arus yang terbelah oleh dua aliran politik dimaksud.
Dulu partai Demokrat waktu baru lahir, juga SBY menegaskan tidak mau terbawa arus kekuatan yang ada. Artinya ingin jalan tengah. Gerindra pun yang didirikan Prabowo Subianto menempuh jalan tengah, bukan untuk golongan tertentu.
Tetapi jalan tengah mereka agak membingungkan karena mereka menyebut partainya nasionalis dan agamis. Kalau begitu mungkin lebih tepat disebut campur-sari.
Budaya gado-gado. Mau jalan tengah atau campuran gado gado, kedua partai itu mampu menarik simpatik rakyat di setiap Pemilu. Bahkan partai Demokrat pernah dua kali memimpin koalisi mengantar SBY memenangi Pilpres.
Sedangkan partai Gerindra dua kali memimpin koalisi mengusung Prabowo maju sebagai Capres. Sedangkan partai partai Islam hanya jadi pelengkap pendukung koalisi. Jadi baik Demokrat maupun Gerindra adalah partai jalan Tengah dengan prestasi yang luar biasa.
Gagasan jalan tengah atau jalan ketiga (the Third Way) dipopulerkan oleh Anthoni Gidden, pakar politik dari Inggris ditengah debut kapitalis dan sosialis. Di Indonesia pada awal reformasi, tokoh tokoh reformasi Amien Rais ditengah sengitnya persaingan politik, secara kreatif membuat terobosan politik dengan memunculkan istilah poros tengah.
Hasilnya Abdul Rachman Wahid (Gusdur) terpilih jadi Presiden pertama di era reformasi (1999). Padahal waktu itu, PDIP adalah partai pemenang Pemilu, hanya mampu mendudukkan Megawati sebagai Capres Gusdur.
Dimasa Orde baru, kekuatan politik jalan tengah menjadi identitas Golkar dan ABRI sebagai kekuatan sosial politik (Dwi fungsi ABRI). Jalan tengah itu memunculkan pemikiran anti ekstrim kiri dan ekstrim kanan yang merupakan ciri persaingan ideologis di era perang dingin (masa lalu), yang menjadi ikon untuk mempertahankan stabilitas keamanan dan politik.
Selama 32 tahun masa pemerintahan Orde baru adalah masa yang panjang pemerintahan jalan tengah, dengan stabilitas politik dan kemanan.Akhirnya runtuh oleh badai demokratisasi.
Sesungguhnya jalan tengah seperti apa maunya partai Gelora?
Mungkinkah sekedar ingin beda dengan PKS yang makin hari makin terlihat sosoknya yang didukung kekuatan massa Islamis yaitu alumni 212. Juga PKS makin menegaskan diri sebagai satu satunya partai oposisi pemerintah. Bisa saja langkah Gelora menghadap Presiden Jokowi untuk meledek PKS.
Kalau partai Golora ingin mengikuti sukses partai Demokrat dan partai Gerindra, sepertinya agak sulit. Karena rakyat Indonesia sudah tahu, para pendiri partai Gelora adalah kelompok Islamis pecahan dari PKS.
Apakah mereka dengan mudah dapat menukar ideologi mereka..? Beda dengan SBY dan Prabowo memang karir mereka lahir dari jalan tengah (ABRI), jadi tidak diragukan jalan tengah mereka.
Tetapi tentu para petinggi partai Gelora diharapkan mampu membangun strategi dalam menghadapi persaingan partai-partai jalan Tengah untuk memperebutkan 70 % pangsa pemilih abu abu yang mayoritas pemilih hijau.
Tantangan Masa Depan
Masa depan dunia makin gaduh dengan persaingan hegemoni global yang makin tajam menyeruak. Selain itu, benturan peradaban makin kencang. Bukan benturan antara Muslim dan Barat yang lebih menonjol tapi benturan antara kapitalisme dan komunisme. Lainnya adalah benturan antara Islam dan sekularisme.
Benturan peradaban seperti menempatkan Indonesia diantara dua karang yang berbahaya.
Seperti disinyalir Francis Fukuyama bahwa politik identitas makin menguat. Juga pakar politik Steven Levistsky dan Daniel Ziblatt mengemukakan makin menguatnya kembali nasionalisme dan agama. Juga demokrasi terancam mati.
Ancaman hegemoni global menguatkan nasionalisme. Sedangkan gencarnya sekelurarisasi menguatkan kebangkitan agama. Begitu pula kekuasaan dimasa depan lebih cenderung kembali ke otoritarian yang mengancam masa depan demokrasi atau menimbulkan kematian demokrasi.
Fenomena itu semakin memicu persaingan politik Dan ancaman konflik. Muncul pemimpin pemimpin yang ingin mengendalikan situasi dengan sikap politik yang negatif, penuh curiga dan tidak percaya.
Donald Trump, Presiden Amerika Serikat salah seorang Pemimpin yang menunjukkan ciri kebangkitan nasionalisme Amerika. Amerika mulai ketakutan pada imigrasi (para pendatang). Amerika mulai berubah dari negara yang terbuka menjadi negara yang tertutup.
Trump curiga pada Perusahaan- perusahaan besar China yang dianggap indentik dengan Partai Komunis China (PKC) Tiongkok yang melakukan kegiatan yang berkedok bisnis, tapi dengan kegiatan spionase untuk menguasai Amerika dimasa depan. Inilah yang menjadi alasan kenapa Amerika segera memutuskan hubungan kerjasama ekonomi dengan PKC Tiongkok.
Kini Amerika dan China saling balas menutup Konsulat.Juga Trump mencurigai para Mahasiswa China yang kuliah di Amerika sebagai mata mata PKC Tiongkok untuk menguasai setiap langkah kemajuan Tekhnologi dan militer Amerika. Karena itu langkah Amerika mengusir para mahasiswa China.
Bukan hanya itu, ada satu juta mahasiswa manca negara akan kehilangan kesempatan kuliah di Amerika. Di Eropah juga mulai muncul kegelisahan pada elit dan pemimpin tentang masa depan Eropah dan pembauran para imigran dari Turki Dan Timur Tengah yang akan merubah wajah masa depan Eropah.
Kalau negara raksasa seperti Amerika Serikat saja ketakutan pada hegemoni China, bagaimana dengan negara menengah seperti Indonesia?
Dalam dasawarsa terakhir ini, menyeruak nasionalisme rakyat negara-negara Asean menghadapi ancaman hegemoni PKC Tiongkok melalui kerjasama ekonomi dan investasi.
Krisis kependudukan di China mendorong PKC menggalakkan warganya berimigrasi atau go Internasional untuk bekerja di luar negeri. Karena itu, China mencari lebensraum (ruang hidup) dengan mengggalakkan kerjasama ekonomi dan investasi dengan negara-negara kawasan.
Melalui keturunan China lokal, negara China berusaha menguasai Kepala Pemerintah negara-negara Asean menjadi komprador China. Tapi gagal menguasai rakyat negara negara Asean. Buktinya melalui Pemilu kejatuhan rezim Najib di Malaysia diganti oleh rezim Mahathir.
Beberapa waktu yang lalu rakyat Vietnam mengusir para TKA China dari Vietnam. Di Morowali, Sulawesi Tenggara, Indonesia, Kedatangan TKA China disambut dengan demonstrasi yang sempat bentrok dengan aparat keamanan. Demikianlah kebangkitan nasionalisme rakyat Asean menghadapi ancaman hegemoni PKC Tiongkok.
Di tengah ancaman hegemoni dunia (global) itulah kehadiran partai-partai jalan tengah sangat dibutuhkan. Indonesia mirip kapal besar melakukan pelayaran samudera diantara bahaya dua karang besar ditengah laut. Bagaimana menyelamatkan Indonesia ditengah bahaya dua karang besar itu.
Kalau PDIP awalnya dilahirkan dari kandungan nasionalisme Bungkarno (partai PNI). Tapi kini di era rezim Jokowi PDIP lebih menunjukkan sosok partai kiri. Dominasi kader kader kiri dalam tubuh PDIP.Dengan dukungan PDIP bersama koalisinya, Presiden Jokowi menjalankan poros politik luar negeri sangat berat ke kiri (China Komunis).
Hal itu membuat kaburnya nasionalisme PDIP. Mengulang sikap politik Bungkarno (1960 -1965) dari semula nasionalisme anti imperalialisme menjadi pro PKC Tiongkok karena pengaruh tokoh-tokoh PKI.
Munculnya RUU HIP menimbulkan protes keras karena dicurigai membawa misi komunisme. Kegagalan pengesahan RUU HIP karena ancaman demo besar besaran dan partai-partai Tengah pendukung rezim Jokowi menarik dukungannya di DPR. Maka satu-satunya jalan bagi rezim Jokowi adalah menunda RUU HIP dan merubahnya menjadi RUU BPIP sebagai penyelamatan muka PDIP.
Kalau melihat pada protes RUU HIP dan protes kedatangan TKA China bisa disimpulkan bahwa ideologi nasionalisme kini menjadi semangat kekuatan Islam dan melahirkan kembali nasionalisme pribumi. Sepertinya akan ada kebangkitan baru Indonesia.
Rezim Jokowi Ma’ruf dengan dukungan PDIP dan koalisinya berusaha keras, selain menjalankan politik luar negeri yang condong berat kekiri, juga sangat proaktif mendorong sekularisasi di Indonesia melalui pendidikan nasional. Salah satu yang pokok adalah mengutak atik materi pendidikan agama (Islam).
Karena itu, kelihatannya rezim Jokowi -Ma’ruf berserta PDIP dan koalisinya sepertinya terseret arus menjadi bagian dari benturan peradaban. Berpotensi memicu konflik (Proxi war) dan memecah belah NKRI kalau terus menerus mengusung politik kekiri dan sekularisasi di Indonesia.
Konflik akan membangkitkan kekuasaan otoritarian dan mematikan demokrasi. Kalau tidak mau disebut bagian dari benturan peradaban, segera kejalan tengah. Hentikan politik kekiri dan sekularisasi Indonesia. Kembali ke Pancasila sebagai jalan tengah yang damai, mengayomi semuanya.
Lakukanlah toleransi pada kemajuan agama (Islam) baik budaya, ekonomi maupun politik. Tahan diri untuk mencegah benturan peradaban (proxi war) dan terus menjaga demokrasi. Menjadi urgen kehadiran dan memperkuat partai partai jalan tengah bila ingin menyelamatkan Indonesia di masa depan.
Save NKRI
*Hikmahjalan
Kearifan Kepemimpinan
Peduli pada Kepemimpinan nasional. 30 /7/2020
sumber: WA Group Keluarga Alumni HMI MPO