Iuran BPJS Kesehatan Naik 100% Tinggal Teken Jokowi, DPR Bilang Harusnya Malah Gratis

ilustrasi kartu BPJS Kesehatan. foto: internet

Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Mardiasmo mengatakan, kenaikan iuran BPJS Kesehatan sudah ditentukan. Penetapan besaran iuran baru tinggal menunggu penerbitan peraturan presiden (perpres) yang nantinya ditandatangani Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Besaran iuran BPJS Kesehatan, kata Mardiasmo, sama seperti yang diumumkan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pada rapat gabungan antara Komisi IX dengan Komisi XI kemarin.

“Ini sudah kita naikkan, segera akan keluar Perpresnya. Hitungannya seperti yang disampaikan Ibu Menteri pada saat di DPR itu,” kata Mardiasmo di gedung DPR, Jakarta, Rabu (28/8/2019).

Iuran BPJS Kesehatan yang diusulkan Menteri Keuangan adalah untuk peserta penerima bantuan iuran (PBI) dan non PBI kelas 3 sebesar Rp 42 ribu per bulan per jiwa. Sedangkan kelas 2 sebesar Rp 110.000 per bulan per jiwa, dan kelas 1 sebesar Rp 160 ribu per bulan per jiwa.

“Kami berharap, kebijakan kenaikan iuran bisa menutup defisit keuangan BPJS Kesehatan yang berpotensi sampai Rp 32,84 triliun hingga akhir 2019. Iya insyaallah tidak ada lagi, dengan optimalisasi semuanya. Jadi sudah dihitung, kalau sudah semuanya, tidak akan defisit lagi,” ungkapnya.

Sebelumnya Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengusulkan iuran BPJS Kesehatan yang baru sebesar Rp 160 ribu per bulan per jiwa untuk kelas 1. Angka itu lebih besar dibandingkan usulan Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN).

“Untuk 2020 kami usulkan kelas 2 dan kelas 1 jumlah yang diusulkan oleh DJSN perlu dinaikkan,” kata Sri Mulyani di ruang rapat Komisi IX DPR, Jakarta, Selasa (27/8/2019).

DJSN mengusulkan kepada pemerintah besaran iuran yang akan diberlakukan pada 2020 yakni Peserta penerima bantuan iuran (PBI) sebesar Rp 42.000 per jiwa atau meningkat Rp 19.000 dari yang berlaku sekarang Rp 23.000 per jiwa

Untuk iuran peserta penerima upah (PPU) badan usaha sebesar 5% dengan batas atas upah sebesar Rp 12 juta atau naik dari yang sebelumnya Rp 8 juta. Sedangkan iuran PPU pemerintah sebesar 5% dari take home pay (TKP) dari yang sebelumnya 5% dari gaji pokok ditambah tunjangan keluarga.

Selanjutnya, iuran untuk peserta bukan penerima upah (PBPU) untuk kelas 1 menjadi Rp 120.000 dari sebelumnya Rp 80.000 per jiwa. Kelas 2 menjadi Rp 75.000 per jiwa dari yang sebelumnya Rp 51.000 per jiwa. Kelas 3 menjadi Rp 42.000 dari yang sebelumnya Rp 25.500 per jiwa.

Khusus yang PBPU, Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini mengaku mengusulkan lebih besar, untuk kelas 2 menjadi Rp 110.000 per bulan, dan kelas 1 Rp 160.000 per bulan. Sedangkan kelas 3 tetap sama sebesar Rp 42.000 per bulan. “Ini berlaku Januari 2020,” jelasnya.

Wali Kota Surakarta FX Hadi Rudyatmo, mengkritik rencana pemerintah menaikkan iuran BPJS Kesehatan. Kenaikan tersebut dikhawatirkan justru bakal menambah angka kemiskinan Indonesia.

Terutama bagi para peserta BPJS Kesehatan mandiri, mereka diperkirakan akan kesulitan membayar iuran. Bahkan mereka bisa turun kelas menjadi kategori miskin jika dipaksa membayar iuran yang semakin mahal.

“Itu nanti yang peserta mandiri semakin tidak bisa bayar kok. Malah nanti masyarakat rentan miskin bisa jatuh miskin, kemiskinan makin meningkat,” kata pria yang akrab disapa Rudy di Balai Kota Surakarta, Rabu (28/8/2019).

Ketika kesulitan membayar, peserta mandiri dimungkinkan akan berhenti menjadi anggota BPJS. Capaian universal health coverage atau cakupan kesehatan semesta pun semakin menjauh dari 100 persen.

“Kalau sudah keluar dari anggota BPJS, target pemerintah tentang jaminan kesehatan tidak jalan. Kalau mau masuk ke PBI (penerima bantuan iuran), kita juga enggak mampu,” katanya.

Jika masyarakat miskin bertambah, Rudy menyebut justru kewajiban pemerintah semakin berat. Sebab pemerintah harus menyediakan berbagai jenis bantuan sosial. “

Negara harus menyediakan PKH (Program Keluarga Harapan) tiap keluarga maksimal dapat Rp 9,6 juta, ada KIP (Kartu Indonesia Pintar), KIS (Kartu Indonesia Sehat), BPNT (Bantuan Pangan Nontunai), lebih besar lagi. Mestinya dihitung dahulu,” ujar dia.

Untuk itu, politisi PDIP itu meminta pemerintah mencari solusi selain menaikkan biaya iuran BPJS. Dia juga menyebut, kenaikan iuran pun tak akan menutup utang BPJS.

“Jangan menaikkan iuran BPJS-nya dulu, tapi selesaikan dulu tanggung jawab BPJS ke rumah sakit. Naiknya iuran pun tidak akan menutup utang BPJS kok,” katanya.

Wakil Ketua DPR Fadli Zon mengusulkan kepada pemerintah untuk menggratiskan iuran BPJS Kesehatan ketimbang mengusulkan kenaikan dua kali lipat.

Seharusnya, desak Fadli, BPJS Kesehatan menjadi program utama pemerintah untuk memberikan kemudahan bagi masyarakat yang kurang mampu dalam mendapatkan akses pelayanan kesehatan gratis.

“Harusnya ini skema masyarakat mendapatkan kemudahan untuk masyarakat yang kurang mampu. Kalau perlu digratisin jangan dinaikkan dibebankan pembayaran itu,” kata Fadli di Kompleks MPR/DPR, Jakarta, Rabu (28/8).

Lebih lanjut, Fadli menilai skema pembiayaan yang dirancang pemerintah untuk BPJS Kesehatan tak terencana dengan baik. Padahal, kata dia, BPJS seharusnya bisa menjangkau kalangan rakyat miskin tanpa bingung memikirkan pembiayaan. “Itu menandakan skema BPJS ini tidak terencana dengan baik dan malah memberatkan masyarakat,” katanya.

Di sisi lain, Fadli mengingatkan undang-undang telah mengamanatkan kepada pemerintah bahwa pemenuhan anggaran kesehatan bagi masyarakat sebesar 5 persen dari total APBN.

Melihat persoalan itu, Fadli meminta Menteri Keuangan untuk mengevaluasi kembali persoalan yang terjadi di BPJS agar tak menyulitkan masyarakat kalangan bawah. “Harusnya dievaluasi BPJS itu. Apa yang salah dengan BPJS. Kenapa bisa seperti itu,” kata Fadli.

Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris menyetujui besaran kenaikan iuran kepesertaan Jaminan Kesehatan Nasional yang diusulkan oleh Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) kepada Presiden Joko Widodo atau Jokowi.

“Ya, yang sesuai yang diberikan DJSN itu,” kata Fachmi usai menghadiri acara BPJS Kesehatan Award di Jakarta, Kamis, 15 Agustus 2019. BPJS memang menginginkan adanya penyesuaian iuran kepesertaan karena selama ini tidak ada perubahan nominal iuran sejak beberapa tahun terakhir.

Dalam rancangan usulan kenaikan iuran peserta JKN diperkirakan akan naik mulai dari Rp 16.500 hingga Rp 40.000 dari tiap kelas kepesertaan yang berbeda-beda. Usulan kenaikan iuran kelas 1 tercatat sebagai yang paling signifikan, dari Rp 80.000 menjadi Rp 120.000.

Lalu, iuran kelas 2 diusulkan untuk naik dari Rp 51.000 menjadi Rp 80.000. Sementara iuran kelas 3 diusulkan untuk naik dari Rp 25.500 menjadi Rp 42.000.

Fachmi menegaskan pihaknya tidak turut campur tangan dalam penyusunan nominal kenaikan iuran seperti yang telah dilakukan DJSN. Dia menyebut BPJS Kesehatan hanya menyodorkan data-data mengenai besaran pengeluaran yang dibutuhkan untuk membiayai tiap peserta dan berbagai informasi lainnya.

“Memang yang mengusulkan DJSN, tapi apakah kita terlibat, tentu tidak. Itu keputusan policy. Kalau dari sisi teknis, misal kebutuhan data informasi utilisasi, berapa biaya selama ini pengeluaran per orang per bulan, kita support data. Itu saja posisi kita,” ucap Fachmi.

Fachmi menyebutkan saat ini BPJS Kesehatan hanya menunggu keputusan kenaikan jumlah iuran yang telah disepakati oleh pemerintah dan ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo.

Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko sebelumnya memastikan iuran BPJS Kesehatan akan naik di semua kelas. Langkah ini diambil untuk menyelamatkan BPJS dari defisit yang terus naik.

“Semua kelas (akan naik). Karena antara jumlah urunan dengan beban yang dihadapi oleh BPJS tidak seimbang, sangat jauh,” kata Moeldoko saat ditemui di Komplek Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Selasa, 6 Agustus 2019.

Moeldoko mengatakan Kantor Staf Presiden selama ini kerap menerima persoalan-persoalan mengenai BPJS Kesehatan. Karena itu, ia merasa kenaikan ini adalah hal yang sangat wajar. Tahun ini, BPJS Kesehatan memang diprediksi akan mengalami defisit hingga Rp 29 triliun.

Selain sebagai langkah penyelamatan BPJS Kesehatan, Moeldoko juga menyebut kenaikan ini juga perlu, agar masyarakat sadar bahwa untuk sehat itu perlu biaya yang mahal. “Saya tak ingin ada istilah kesehatan itu murah. Sehat itu mahal. Kalau sehat itu murah, orang nanti menyerahkan ke BPJS. Mati nanti BPJS,” ujar Moeldoko. (net/lin)

sumber: tempo.co/indopos.co.id/liputan6.co/dll

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *