Assalaamu’alalikum. Ustadz ijin bertanya. Ini mengenai sabda Rasul itu yang menyatakan sesungguhnya Allah itu indah dan menyukai keindahan. Sombong adalah menolak kebenaran dan meremehkan org lain. Itukan kata seseorang bagaimana dengan baju dan sandal yang bagus?
semarak.co-Ustadz, apakah berarti orang yang memakai sandal, sepatu, pakaian bagus itu tidaklah sombong? Definisi bagus atau indah di situ tuh bagaimana? Terus bagaimana dengan orang yang memakai baju sangat jelek dengan maksud menunjukan kesederhanaan, apakah itu termasuk zuhud ataukah bakhil kepada diri sendiri?
وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته
Sependek pengetahuan kami. Sombong atau tidaknya seseorang tidaklah bisa dipastikan. Hal itu biasanya sulit ditentukan karena letaknya di hati. Hati itu yang Maha Tahu tentu sang Pemilik Hati bahkan si manusia itu sendiri tidak begitu faham tentang hatinya sendiri tanpa petunjukNya.
Maka janganlah kita merasa aman dari kesombongan. Kesombongan menghalangi kita dari mendapatkan ridloNya. Memakai busana indah tak mengapa asalkan masih sewajarnya bahkan disunnahkan saat kita menghadapNya saat sholat termasuk saat sholat Jumat.
Ketika kita hendak bertemu orang yang dihormati misalnya guru kita, maka biasanya kita berpakaian sepantas dan seindah mungkin. Lalu bagaimana mungkin kita saat menghadapNya hanya memakai busana biasa saja. Di mana adab kita? Kalau perlu lebih indah daripada menghadap manusia.
Kadang saat malam kami sendiri sholat memakai pakaian khusus, tidak sama seperti menghadap manusia, walaupun memang itu bukan kewajiban, tetapi setidaknya itu sebagai penghargaan, pengkultusan kita kepada sang Maha Cinta yang lebih berhak kita kultuskan, kita muliakan di atas segalanya.
Kita bukanlah petugas yang meneliti hati manusia walaupun memang tidak sedikit orang yang bertentangan dengan lahirnya. Keadaan lahiriah mereka berlawanan dengan kondisi hatinya. Hatinya menyelisih lisannya. Seperti halnya orang mencari dunia dengan mengerjakan amalan akhirat, padahal itu agar dihargai dan dimuliakan manusia.
Tampak sebagai pencari akhirat dalam pandangan orang, tetapi dia sebenarnya adalah penyembah dunia, untuk mengumpulkan harta dan pujian manusia. Tetapi tentu tidak semua orang begitu, insyaa Allah. Dalam hal zuhud atau apakah bakhilnya seseorang juga hakekatnya hanya Allah yang Maha Tahu.
Kita kadang tertipu dengan yang kita lihat. Sangat banyak riwayat betapa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menasehati kita agar jangan memastikan keadaan seseorang. Jangan suka mencap jelek orang. Jangan suka meneliti hati orang. Maka doakan saja saudara kita, semoga dia orang yang baik menurut Allah. Semoga kami juga orang yang baik menurut Allah.
Abu Dzar ra, berkata, “Zuhud terhadap dunia bukan berarti mengharamkan yang halal dan bukan juga menyia-nyiakan harta. Akan tetapi zuhud terhadap dunia adalah engkau begitu yakin terhadap apa yang ada di tangan Allah daripada apa yang ada di tanganmu. Zuhud juga berarti ketika engkau tertimpa musibah, engkau lebih mengharap pahala dari musibah tersebut daripada kembalinya dunia itu lagi padamu.” (Riwayat At Tirmidzi)
Dalam jami’ul ‘Ulum wal hikam, Abu Sulaiman berkata , “Orang yang zuhud bukanlah orang yang meninggalkan kelelahan-kelelahan dunia dan beristirahat darinya. Tetapi orang yang zuhud adalah orang yang meninggalkan (kecenderungan) dunia, dan berpayah-payah (mengumpulkan bekal) di dunia untuk akhirat.”
Dalam madarijus salikin dijelaskan bahwa ada tiga bentuk zuhud:
🔹 Meninggalkan yang haram. Ini zuhudnya orang-orang awam.
🔹 Meninggalkan yang berlebih-lebihan dari yang halal. Ini zuhudnya orang-orang khusus.
🔹 Meninggalkan semua perkara yang menyibukkan diri dari Allah. Ini zuhudnya orang-orang ‘arif/ma’rifat
Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah shallahu ‘alaihi wassallam bersabda: “Akan keluar di akhir zaman nanti beberapa orang yang mencari dunia dengan amalan agama, mereka mengenakan pakaian di tengah-tengah manusia dengan kulit kambing yang lembut, lisan mereka lebih manis dari pada gula, tetapi hati mereka adalah hati serigala.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman: “Apakah terhadap-Ku mereka berani menipu ataukah mereka berani melawan Aku? Maka dengan KebesaranKu, Aku bersumpah, Aku benar-benar akan mengirim kepada mereka fitnah yang mengakibatkan ulama yang teguh hati pun menjadi bingung.” (HR. At Tirmidzi)
Seorang hamba Allah berkata: “Letakkan dunia di tanganmu bukan di hatimu.” Maksudnya seberapa pun harta yang dimiliki dia tidak tergantung atau condong pada hartanya. Dia tidak bakhil sehingga enggan mensedekahkan hartanya dan dia tak gelisah dengan hilangnya hartanya.
Inilah yang masih berat bagi kita pada umumnya. Maka Nabi Sulaiman ‘alaihis salam adalah contoh orang yang zuhud yang tidak terpaut hatinya pada limpahan harta dan kekuasaannya. Masya Allah. Jadi, sombong, bakhil, itu keadaan hati termasuk zuhud sebagai amalan hati yang tidak bisa dipastikan adanya pada diri seseorang kecuali Allah yang Maha Mengetahui.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
وَعِبَا دُ الرَّحْمٰنِ الَّذِيْنَ يَمْشُوْنَ عَلَى الْاَ رْضِ هَوْنًا وَّاِذَا خَا طَبَهُمُ الْجٰهِلُوْنَ قَا لُوْا سَلٰمً
“Adapun hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih itu adalah orang-orang yang berjalan di bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang bodoh menyapa mereka (dengan kata-kata yang menghina), mereka mengucapkan, “salam.” (QS. Al-Furqan: 63).
Di bagian lain pada artikel berbeda disebutkan bahwa di masa Imam Abu Hanifah masih kecil, sekitar umur 7 tahun, terdapat seorang ulama yang memiliki ilmu luas dan tiada bandingannya pada waktu itu namanya Dahriyyah. Seluruh ulama pada waktu itu tak mampu menandinginya di saat berdebat.
Terutama dalam bab tauhid oleh karena dialah yang merasa pintar. Maka muncullah sifat sombong bahkan na’udzubillah akhirnya ia berani mengatakan bahwa Allah itu tidak ada. Sayangnya, para ulama pun tak mampu mengalahkan dia dalam berdebat.
Lalu pada suatu pagi dikumpulkanlah para ulama di suatu majelis milik Syaikh Himad guru Imam Abu Hanifah. Dan hari itu Abu Hanifah yang masih kecil hadir di majlis itu. Maka Dahriyyah naik ke mimbar dan berkata dengan sombongnya.
Dahriyah: Siapakah diantara kalian hai para ulama yang akan sanggup menjawab pertanyaanku?
Sejenak suasana hening, para ulama semua diam, namun tiba-tiba berdirilah Abu Hanifah dan berkata, Abu Hanifah: Omongan apa ini? Maka barang siapa tahu pasti ia akan menjawab pertanyaanmu.
Dahriyyah: Siapa kamu hai anak ingusan? Berani kamu bicara denganku? Tidakkah kamu tahu bahwa banyak yang berumur tua, bersorban besar, para pejabat, para pemilik jubah kebesaran, mereka semua kalah dan diam dari pertanyaanku. Kamu masih ingusan dan kecil badan berani menantangku?
Abu Hanifah: Allah tidak menyimpan kemuliaan dan keagungan kepada pemilik sorban yang besar dan para pejabat dan para pembesar. Tetapi kemuliaan hanya diberikan kepada Al-Ulama.
Dahriyah: Apakah kamu akan menjawab pertanyanku?
Abu Hanifah: Ya, aku akan menjawab pertanyaanmu dengan Taufiq Allah.
Dahriyyah: Apakah Allah itu ada?
Abu Hanifah: Ya ada
Dahriyyah: Dimana Dia?
Abu Hanifah: Dia, tiada tempat bagi Dia
Dahriyyah: Bagaimana bisa disebut ada bila Dia tak punya tempat?
Abu Hanifah: Dalilnya ada di badan kamu yaitu ruh, saya tanya, kalau kamu yakin ruh itu ada, maka dimana tempatnya? Dikepalamu, diperutmu atau dikakimu?
Dahriah diam seribu basa dengan muka malu. Lalu Abu Hanifah minta air susu pada gurunya Syaikh Himad dan ia bertanya pada Dahriyyah. Abu Hanifah: Apakah kamu yakin di dalam susu ini ada manis?
Dahriyyah: Ya, saya yakin di susu itu ada manis
Abu Hanifah: Kalau kamu yakin ada manisnya, saya tanya apakah manisnya ada di bawah atau di tengah atau di atas?
Lagi-lagi Dahriyyah diam dengan rasa malu. Lalu Abu Hanifah menjelaskan: seperti ruh atau manis yang tidak memiliki tempat, maka seperti itu pula tidak akan ditemukan bagi Allah tempat di alam ini baik di Arsy atau dunia ini.
Lalu Dahriyyah bertanya lagi. Dahriyyah: Sebelum Allah itu apa dan setelah Allah itu apa?
Abu Hanifah: Tidak ada apa-apa sebelum Allah dan sesudahnya tidak ada apa-apa.
Dahriyyah: Bagaimana bisa dijelaskan bila sebelum dan sesudahnya tak ada apa-apa?
Abu Hanifah: Dalilnya ada di jari tangan kamu. Apakah sebelum jempol dan apakah setelah kelingking? Dan apakah kamu akan bisa menerangkan jempol duluan atau kelingking duluan? Demikianlah sifat Allah. Ada sebelum semuanya ada dan tetap ada bila semua tiada. Itulah makna kalimat Ada bagi Hak Allah.
Lagi-lagi Dahriyyah dipermalukan. Lalu ia berkata: “Satu lagi pertanyaanku yaitu, apa perbuatan Allah sekarang ini?
Abu Hanifah: Kamu telah membalikan fakta. Seharusnya yang bertanya itu di bawah mimbar, dan yang di tanya di atas mimbar. Akhirnya Dahriyyah turun dari mimbar dan Abu Hanifah naik ke atas mimbar. Dahriyyah: Apa perbuatan Allah sekarang?
Abu Hanifah: Perbuatan Allah sekarang adalah menjatuhkan orang yang tersesat seperti kamu ke bawah jurang neraka dan menaikan yang benar seperti aku ke atas mimbar keagungan. Maha suci Allah yang telah menyelamatka Aqidah Ahli Sunnah wal Jamaah melalui anak kecil.
sumber: Indonesia, malam Senin 18 Dzulqo’dah 1445/26 Mei 2024/Kitab Fathul Majid karya Syekh Muhammad Nawawi bin Umar Al Jawi Asy Syafi’I di share melalui WAGroup INDONESIA MENUJU PERUBAHAN (postRabu22/5/2024/novelbinhusain)