ICW (Indonesia Corruption Watch) mendorong Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk bekerja sama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membangun whistle-blowers system (WBS) dalam rangka mencegah terjadinya kembali praktik korupsi di internal lembaga penyelenggara Pemilu itu.
semarak.co -Koordinator Divisi Korupsi Politik ICW Donal Fariz mengatakan, dengan kerjasama membangun WBS tersebut, akan memungkinkan bagi anggota KPU untuk mengadukan adanya dugaan korupsi yang akan atau sudah terjadi di lingkungan KPU ke KPK.
“Langkah ini bisa ditempuh sebagai upaya internal kontrol yang bertujuan sebagai langkah pencegahan (korupsi),” ujar Donal dalam keterangan tertulis di Jakarta, Jumat (10/1/2020).
Donal mengatakan adanya sistem WBS itu akan memudahkan KPU dalam melakukan pengawasan tak hanya di tataran KPU Pusat, tetapi juga di jajaran KPU provinsi dan kabupaten/kota. “Jadi memang KPU harus segera melakukan sejumlah langkah perbaikan internal agar praktek yang sama tidak berulang kembali,” kata dia.
Lebih lanjut Donal menyayangkan terjeratnya Komisioner KPU Wahyu Setiawan dalam kasus korupsi. Hal ini akan berdampak pada berkurangnya kepercayaan publik terhadap KPU sebagai penyelenggara Pemilu.
“Hal ini tentu akan berdampak pada berkurangnya kepercayaan masyarakat kepada KPU, terlebih lagi ada tantangan besar di depan mata untuk menyelenggarakan Pilkada Serentak 2020 pada 270 daerah,” kata dia.
Sebelumnya, KPK pada Kamis (9/1/2020) telah resmi menetapkan Wahyu Setiawan sebagai tersangka kasus suap terkait dengan penetapan anggota DPR RI terpilih 2019-2024.
Dalam perkara ini, KPK menetapkan Wahyu sebagai tersangka karena diduga menerima suap Rp600 juta dari kader PDIP Harun Masiku agar menetapkan Harun menjadi anggota DPR daerah pemilihan Sumatera Selatan I agar menggantikan caleg DPR terpilih Fraksi PDIP dari dapil Sumsel I yaitu Nazarudin Kiemas yang meninggal dunia.
Untuk memenuhi permintaan Harus tersebut, Wahyu meminta dana operasional sebesar Rp900 juta. Namun dari jumlah tersebut, Wahyu hanya menerima Rp 600 juta.
Suap itu diduga diterima Wahyu dalam dua tahap. Pertama pada pertengahan Desember 2019. Saat itu, Wahyu menerima uang dari orang kepercayaannya, Agustiani Tio Fridelina, sebesar Rp 200 juta di salah satu pusat perbelanjaan di Jakarta Selatan. Uang ini didapat Agustiani dari Saeful namun KPK masih mendalami dari siapa sumber uang Rp200 juta itu.
Wahyu diduga kembali menerima suap sebesar Rp 400 juta pada akhir Desember 2019. Uang tersebut masih ada di tangan Agustiani. Agustiani yang sebelumnya menerima uang dari Saeful.
Sementara Saeful diduga menerima uang itu dari Harun. KPK mengamankan Wahyu dan asistennya Rahmat Tonidaya di Bandara Soekarno-Hatta pada Rabu (8/1/2020).
Selanjutnya KPK juga mengamankan mantan anggota Badan Pengawas Pemilu sekaligus orang kepercayaan Wahyu, Agustiani Tio Fridelina di Depok. Dari Agustiani, tim menamankan uang setara sekitar Rp400 juta dan uang dalam bentuk dolar Singapura serta buku rekening.
Di bagian lain ICW mendesak KPK untuk membongkar keterlibatan aktor lainnya dalam kasus suap terkait dengan penetapan anggota DPR RI terpilih 2019-2024 yang menjerat Komisioner KPU Wahyu Setiawan. “Mendesak KPK untuk mengembangkan dugaan keterlibatan aktor-aktor lainnya dalam perkara ini,” ujar Donal.
Donal menuturkan berdasarkan pernyataan Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar dalam jumpa pers di Gedung KPK, Kamis (9/1/2020), terungkap sejumlah fakta menarik.
Di antaranya adanya perintah salah satu pengurus DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang memerintahkan advokat bernama Doni mengajukan gugatan uji materi Pasal 54 Peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2019 tentang Pemungutan dan Penghitungan Suara.
Lalu, kata dia, terdapat pula fakta yang menyebutkan PDIP berkirim surat kepada KPU untuk menetapkan Harun Masiku sebagai pengganti caleg terpilih yang meninggal dari PDIP atas nama Nazarudin Kiemas.
Menurut Donal, berdasarkan fakta-fakta itu telah menunjukkan adanya peran partai untuk turut mendorong proses penetapan pergantian antar waktu (PAW) anggota DPR RI.
Padahal, kata Donal, ketentuan penggantian calon terpilih telah diatur dalam Pasal 426 Ayat 3 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang berbunyi “Calon terpilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diganti oleh KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/ Kota dengan calon dari daftar calon tetap Partai Politik Peserta Pemilu yang sama di daerah pemilihan tersebut berdasarkan perolehan suara calon terbanyak berikutnya.”
“Dalam hal ini menurut KPU yang seharusnya menjadi pengganti adalah Riezky Aprilia berdasarkan UU Pemilu. Akan tetapi partai justru tetap mendorong Harun Masiku untuk dilantik menggatikan Nazarudin Kiemas,” ujar Donal.
“Oleh karena itu, ICW mendorong KPK untuk menggali adakah oknum PDIP yang berperan atau terlibat dalam proses PAW tersebut yang berujung terjadinya praktek suap,” sambung dia.
Donal pun meminta PDIP untuk mendukung dan kooperatif terhadap segala langkah hukum pro-justicia yang dilakukan oleh KPK terkait pengungkapan kasus tersebut. (net/lin)