Guru Besar UI Kritik Keras Kaum Intelektual, Dosen Senior UI: Banyak Pejabat yang Dukung Komunis Gaya Baru

Dosen senior Universitas Indonesia Taufik Bahaudin. Foto: dokpri

Banyak pejabat di Indonesia mendukung komunis gaya baru yang mengadopsi Partai Komunis China (PKC) di mana secara ideologi komunis tetapi menjalankan ekonomi secara kapitalis.

semarak.co-Dosen senior Universitas Indonesia (UI) Taufik Bahaudin mengatakan, keberadaan komunis gaya baru di Indonesia berdasarkan hasil riset mahasiswa untuk mengambil gelar doktor di UI.

Bacaan Lainnya

“Suka tidak suka, ngaku tidak ngaku, banyak pejabat yang mendukung komunis gaya baru. Aneh bin ajaib saya yang memaparkan hasil riset PKI gaya baru dimaki salah satu Menteri,” kata Taufik di channel YouTube UI Watch berjudul, Jelas, Semua Menjurus Bangkitnya Komunis Gaya Baru seperti dilansir portal-islam.id.

“Komunis gaya baru ditampilkan olahan PKC, bungkusan di luar kapitalis tapi masih komunis seperti pengendalian satu partai, ada centra komite. Ciri yang jelas adalah mereka sangat anti agama. PKI gaya baru berorientasi ke PKC,” jelas Taufik yang juga Direktur Center Pengembangan Talenta dan Brainware UI.

Komunis gaya baru bergerak terus dan menyusup ke lembaga-lembaga pemerintahan, lanjut Taufik, parpol dan sebagainya, tidak tampil langsung dengan menggunakan kepanjangan tangan melalui buzzer. Komunis gaya baru menyusup ke ormas-ormas Islam.

“Ciri-ciri yang harus kita sadari bahwa menjadi musuh besar PKI itu umat Islam dan harus dihancurkan diperlemah dan diadu domba. Kedua TNI diperlemah. Jadi yang menjadi kepanjangan tangan strategi komunis gaya baru kita sangat mudah mengidentifikasikan dengan menjelekkan Islam atau Islamophobia,” papar Taufik.

Guru Besar Fakultas Hukum UI Prof Sulistyowati Irianto mengatakan, beberapa tahun belakangan ini marak fenomena kaum intelektual menghamba pada penguasa dan birokrasi. Sulit menemukan kampus yang bisa membebaskan diri dari cengkeraman tersebut.

Akibatnya, kata Sulistyowati, akademisi jadi malas dan oportunis. Mereka hanya berpikir jabatan, gaji, dan tidak segan melakukan tindakan tidak terpuji. Ilmuwan kita, para dosen secara umum, nilai dia, sangat kelihatan mengabdi pada birokrasi sehingga kehilangan daya kritik.

Para dosen ini, lanjut dia, tidak tidak berani berdiri kokoh di atas isu-isu kemanusiaan. Juga tidak berani mengkritik agar pemerintahan menjadi bersih meskipun isu itu adalah keahliannya. “Ada yang ahli perburuhan nggak pernah ngomong soal buruh. Yang paham dan ahli korupsi tetapi nggak pernah menyoroti soal korupsi,” katanya.

Meski ada pengecualian tetapi hanya dilakukan sejumlah kecil orang. Itu pun mereka harus melawan dosen atau akademisi lainnya yang justru berada di sisi pemerintah. Peraih gelar master dari Universitas Leiden ini juga menyebut ada budaya para dosen yang sangat formalis berlebihan dan hanya mengikuti apa yang digariskan kementerian.

“Padahal sebagai dosen kami menderita sekali karena harus mengisi borang-borang yang katanya BKD, Simlitabmas, Sipeg, belum lagi itu kalau kami mengajar kan mestinya cukup silabus yang dibikin begitu baik, jelas dan detail, tetapi kalau di sini itu harus bikin BRP,” tegas Prof Sulistyowati dalam kanal YouTube Bravos Radio Indonesia, Rabu (21/4/20221), seperti dilansir jpnn.com, Rabu, 21 April 2021 – 13:52 WIB.

Mentransfer silabus yang sudah bagus itu ke dalam bahasa-bahasa program yang menurutnya membuat dosen merasa jadi bodoh. “Maaf saya ngomong gitu karena nggak ada orang yang protes soal BRP,” ujar Prof Sulistyowati lagi.

Sulistyowati juga menilai saat ini dosen orientasinya naik pangkat, bukan pengembangan ilmu. Karena ambisinya itu akhirnya menghalalkan segala cara seperti plagiarisme dan melakukan kecurangan. “Saya nggak bilang semuanya tetapi ini bisa ditemukan semacam itu,” katanya.

Kemudian menurut Sulistyowati, dosen juga mudah terseret dalam politik praktis. Padahal seharusnya dosen atau cendekiawan sebagai epistemic community itu mengatasi persoalan dengan menggunakan pengetahuan yang berpihak pada kemanusiaan, lingkungan hidup, dan kelestarian.

Namun, kata dia, dalam persoalan yang sama di seberang sana ada juga ilmuwan-ilmuwan dan profesor-profesor yang akhirnya jadi lawan. “Akhirnya kita (kalangan akademisi) saling bertentangan dengan teman-teman sendiri,” pungkasnya.

 

sumber: jpnn.com di WAGroup Forum Dosen Indonesia New (post21/4/2021)/ WAGroup JaBoDeTaBek STMN2M/SMKN4M (postSenin22/11/2021/myatim)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *