Malam ini atau Sabtu (28/7) dini harikembali akan terjadi gerhana bulan. Namun gerhana yang diperkirakan terjadi pukul 12.14 itu, menjadi menarik karena gerhana paling lama dengan rentang durasi 1 42 menit 57 detik di abad ini. Jadi gerhana malam nanti merupakan fenomena gerhana yang paling ditunggu. Apalagi bulan akan berubah menjadi warna merah. Atau tren disebut blood moon.
Narator Planetarium Jakarta Azis Taz Sunjaya mengatakan, planetarium Jakarta telah melakukan berbagai persiapan untuk menghadapi gerhana bulan malam nanti. Antara lain, rinci Azis, Planetarium sudah menyiapkan 11 teleskop untuk menyambut event ini. Teleskop akan diletakkan di area komplek Pusat Kesenian Jakarta dan ini terbuka untuk umum alias gratis. Dengan tujuh teleskop diperuntukan masyarakat umum, satu telekop untuk tamu khusus atau VIP, dan tiga teleskop lagi khusus untuk pendokumentasian atau fotografi.
“Untuk pengamatan malam nanti, Jumat tengah malam (27/7) atau Sabtu dini hari (28/7), dimulai pukul 21.00 sambil menunggu terjadinya pukul 12.14 sampai pukul 05.18. Sejak pendaftaran dibuka secara online, baru 500an pendaftar. Ini lebih sedikit dari fenomena gerhana bulan sebelumnya yang mencapai ribuan. Kami prediksi gerhana kali ini paling seribuan pengunjung. Kami juga menyediakan pemandu yang terdiri dari tiga orang. Ini terbagi atas 1 orang yang bertugas memberikan penjelasan-penjelasan, dan dua orang yang mengarahkan teleskop,” imbuh Azis di ruang kantor Planetarium Jakarta, kawasan Cikini Jakarta, Kamis (26/7).
Baca: Gerhana Bulan Paling Lama hanya di Abad Ini dan Diikuti Timbulnya Blood Moon
Sedangkan efek dari gerhana bulan total ini, menurut Azis, hampir tidak ada efeknya. Fenomena hujan meteor pun sulit teramati. Utamanya di Jakarta. Karena cahaya meteor itu redup sekali sebagai akibat ukuran fisiknya yang kecil sehingga mudah terbakar. “Nah, kalau bisa jatuh, itu berarti ukurannya besar. Meteor jatuh ini sebenarnya berulang setiap tahun. Ini merupakan sisa-sisa reruntuhan komet ketika melintasi bumi. Jadi jatuhnya meteor itu tergantung lintasan komet,” ujarnya.
Sedangkan efek terhadap air pasang, Azis mengatakan, hanya menambah sedikit ketinggian pada saat air pasang. “Info BMKG terjadi gelombang tinggi bukan pengaruh dari fenomena gerhana. Faktornya lebih dari posisi Matahari terhadap bumi. Di mana Matahari lebih sering menyinari daerah equator bumi sehingga ada perbedaan tekanan antara daerah yang panas dengan dingin,” jelasnya.
Dari perbedaan tekanan itu, lanjut dia, memicu pergerakan udara dari daerah yang dingin menuju daerah yang panas. Kemudian dari pergerakan udara ini akan memicu gelombang tinggi pada air laut. Sementara gerhana sendiri hanya menambah sedikit dari ketinggian pasang air laut. (lin)