Gerakan koperasi Indonesia langsung bereaksi keras dan cepat terkait Menteri Perdagangan (Mendag) Enggartiasto Lukita akan menerapkan kebijakan, dimana ritel-ritel modern boleh menyalurkan barang ke warung-warung tradisional. Kebijakan itu rencananya diberlakukan Oktober ini. Alasannya, agar warung memperoleh harga yang murah karena langsung memperoleh barang dari distributor besar.
Untuk kebijakan tersebut, Mendag rencana akan menggandeng peritel besar seperti Alfamart, Indomaret dan Hypermart yang jaringan gerainya tersebar dimana-mana. Mengutip dalam pemberitaan media Detik.com (19 September 2017) Mendag Enggartiasto Lukita rencana akan menerapkan kebijakan dimana ritel-ritel modern boleh salurkan barang ke warung-warung tradisional, gerakan koperasi menilai kebijakan tersebut Nampak sepintas saja menolong warung tradisional dan masyarakat sebagai konsumen. Namun sesungguhnya dengan kebijakan tersebut, Mendag justru memuluskan jalan bagi ritel-ritel modern untuk mengkooptasi warung-warung tradisional melalui skema distribusi barang.
Ketua Harian Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin) Agung Sudjatmoko mengatakan, selama ini keberadaan pasar dan ritel/ warung tradisional tergerus dengan massifnya ritel modern berjejaring di berbagai daerah di Indonesia. Berdasarkan data dari Kementerian Perindusrian tahun 2007 dan Kementrian Perdagangan tahun 2011, jumlah pasar tradisional di Indonesia mengalami penurunan cukup drastis dari 2007-2011.
Pada 2007, jumlah pasar tradisional di Indonesia mencapai 13.450. Tapi tahun 2011, jumlahnya tinggal 9.950. Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) merilis pula kenaikan jumlah retail modern yang cukup signifikan tahun 2007-2011. Kenaikannya hampir delapan ribu retail modern. Jadi, pasar tradisional mengalami penurunan lebih dari tiga ribu, sedangkan pasar modern mengalami kenaikan sekitar delapan ribu.
Dalam analisa Agung, tergerusnya pasar dan ritel/warung tradisional disikapi berbagai Pemerintah Daerah (Pemda) dengan melakukan moratorium pendirian ritel modern khususnya skala mini market. Beberapa kota yang melakukan moratorium seperti Banyumas, Sumenep, Sukoharjo, Kuningan, Bogor, Sragen, Pangandaran, dan berbagai kota/ kabupaten lain di Indonesia. Ditambah Pemerintah Pusat melakukan pembatasan pemilikan ritel modern yang melakukan penambahan jaringan. Dimana 40% harus dimiliki masyarakat selaku pemawara laba yang akan dimasukkan dalam revisi Perpres No. 112 Tahun 2007 tentang Penataan Pasar Modern dan Tradisional.
“Kebijakan-kebijakan tersebut membuat ritel modern berjejaring tidak bisa menambah toko yang secara mandiri dimilikinya. Hasilnya mereka membuat strategi berbeda distribusi barang. Darah dari bisnis ritel adalah turn over barang atau tingkat penjualan produk suatu toko. Sehingga toko sekedar ruang pajang (display) bagi produk-produk tersebut. Dengan cara demikian, distribusi produk ritel modern ke warung tradisional sama dengan melakukan kooptasi pasar tradisional,” ujar Agung dalam rilisnya sekaligus mewakili gerakan koperasi, baru-baru ini.
Dengan dukungan jalur distribusi dan sistem yang modern, lanjut Agung, kooptasi akan berdampak sistemik secara jangka panjang. Dimana pasar tradisional akan semakin tergerus omsetnya. Sedangkan bagi pemilik warung tradisional, kooptasi hanya memposisikan mereka sebagai gerai mini dari ritel modern. Masyarakat mungkin akan menikmati harga yang lebih kompetitif dari skema distribusi tersebut.
“Dampak kooptasi melalui dominasi jalur distribusi ritel modern ke warung tradisional, terjadinya capital out flow besar-besaran dari pasaran rakyat ke pasaran modern. Yang artinya sama dengan terjadinya capital out flow dari desa ke kota (Pusat) karena ritel-ritel pemasok merupakan pengusaha besar nasional,” ujarnya sambil merinci.
Makin terkonsentrasinya modal di pusat yang justru akan semakin memperlebar ketimpangan ekonomi yang terjadi di Indonesia sekarang ini. “Secara jangka panjang menghilangkan keragaman produk di pasaran rakyat karena skema distribusi menuntut efisiensi pengadaan produk,” rincinya.
Terjadi monopoli pasar oleh beberapa pengusaha ritel besar karena kapasitas jalur distibusinya dan hal itu melanggar UU Persaingan Usaha. Monopoli pasar dan konsentrasi modal secara jangka panjang akan membuat swadaya dan kemandirian lokal menjadi hilang. Usaha rakyat sebagai benteng-benteng ekonomi lokal tergerus dan dapat terpengaruh langsung oleh fluktuasi ekonomi global akibat kooptasi jalur distribusi.
Kemudian poin mematikan koperasi-koperasi yang menyelenggarakan ritel sebagai bentuk ekonomi kolektif yang hidup di masyarakat. “Untuk itu kami mendesak Pemerintah Cq. Menteri Perdagangan dan Menteri Koperasi) untuk menghentikan kebijakan kooptasi/ penguasaan distribusi barang ritel modern ke warung tradisional,” ujar Agung dalam tuntutannya.
Kedua membatasi pembukaan toko-toko ritel modern oleh jejaring ritel nasional karena terbukti telah menggerus dan mematikan pasar tradisional, warung tradisional dan toko-toko koperasi yang dimiliki masyarakat. Berikutnya, mendukung pembangunan sekunder dan primer koperasi konsumen serta koperasi pasar secara massif di berbagai daerah sebagai cara mengintegrasikan jalur distribusi barang ke warung tradisional.
“Sebabnya, pemilik warung adalah anggota dari koperasi konsumen atau koperasi pasar sehingga pemilik warung juga akan memperoleh revenue sharing dari proses distribusi barang tersebut selain memperoleh harga kulakan yang lebih kompetitif,” tulisnya.
Warung-warung tradisional yang terintegrasi dengan koperasi akan memperoleh pendampingan sosial-ekonomi-budaya sebagai kewajiban inheren koperasi. Bukan bisnis semata yang hanya berbentuk aliran barang dan uang saja. Integrasi pasar ritel melalui koperasi-koperasi lokal tidak akan membuat capital out flow terjadi dari desa ke kota atau dari pinggiran ke pusat karena perusahaan dan bisnis koperasi bersifat redistributif bagi anggota dan masyarakat.
Koperasi bersama masyarakat lokal lebih mampu menjaga keragaman barang termasuk barang-barang produksi masyarakat setempat. Melalui koperasi, demokrasi ekonomi sebagaimana Pasal 33 ayat 4 UUD 1945 benar-benar akan terwujud karena koperasi menjamin tata milik, tata kelola dan tata distribusi dari, oleh dan untuk masyarakat.
Dengan model redistributifnya, koperasi merupakan instrumen efektif untuk mengurangi ketimpangan ekonomi yang saat ini terjadi di Indonesia. Dimana hal itu diakui oleh Ekonom Internasional Joseph Stiglitz dalam International Cooperative Summit 2016 lalu di Quebec, koperasi dapat diperankan sebagai alternatif instrumen trickle-down effect yang gagal dilakukan oleh korporasi swasta.
Jadi kesimpulannya, liberalisasi di seluruh sektor perekonomian secara jangka panjang akan membuat perekonomian Indonesia rapuh. Negara harus hadir dengan regulasi dan kebijakan yang tepat dan mendukung terutama dan yang utama bagi pelaku usaha mikro, kecil, menengah dan koperasi. Kebijakan afirmasi tersebut sangat dibutuhkan mengingat struktur pelaku ekonomi saat ini didominasi oleh skala mikro dan kecil yang jumlahnya 59 juta yang menyerap tenaga kerja mencapai 107 juta atau sebanyak 96,71 persen dengan kontribusi terhadap PDB mencapai 61,41 persen (2016).
Komitmen sejati pemerintah kepada demokrasi ekonomi harus diperkuat dengan mendorong melalui regulasi dan kebijakan bagi tumbuh dan berkembangnya koperasi-koperasi skala menengah dan besar di seluruh sektor perekonomian, termasuk sektor ritel di Indonesa. Pengalaman NTUC Fairprice Singapore dimana koperasi konsumen dapat menguasai 65 persen pangsa pasar dapat menjadi rujukan yang bisa diadaptasi kisah suksesnya di Indonesia.
Negara harus hadir dengan cara-cara yang tepat sehingga bukan sekedar populisme kebijakan yang bermata dua dan secara jangka panjang justru berbahaya bagi kemandirian dan ketahanan ekonomi nasional. Menteri Perdagangan harus menghentikan kebijakan tersebut di atas sekarang juga! (lin)
Gerakan Koperasi Bersama Elemen Masyarakat Sipil, Antaranya:
1. Firdaus Putra, HC. | Direktur Kopkun Institute, Purwokerto
2. Sri Untari Bisowarno | Ketua Koperasi Setia Budi Wanita (SBW), Malang
3. Sharmila | Ketua Induk Koperasi Wanita Pengusaha Indonesia (INKOWAPI), Jakarta
4. Dr. Walid | Ketua Pusat Koperasi Konsumen Anugerah Damandiri Sejahtera (Puskopen ADS), Semarang
5. Ilham Nasai, S.Sos. | Ketua Lembaga Studi dan Pengembangan Perkoperasian Indonesia (LSP2I), Jakarta
6. Henut Hendro, SE. dan Khairul Bakrie | Pimpinan Cabang Bidang Ekonomi Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI), Bekasi.
7. Slamet Fitriono | PC Serikat Pekerja Automotive Mesin dan Komponen (SPAMK) FSPMI, Bekasi.
8. Arsad Dalimunte, HC. | Ketua Dewan Koperasi Indonesia Daerah (Dekopinda) Banyumas.
9. Dll