Oleh Akbar Hussein *
semarak.co-Kita semua memang belum tentu sependapat bahwa persaingan global antara Amerika Serikat (AS) versus Tiongkok (RRC) di kawasan Indo Pasifik akan mengarah pada konflik peperangan bersenjata.
Namun ada satu trend global terbaru saat ini dan tak terbantahkan bahwa pembentukan Aliansi Aukus, yaitu Aliansi Kekuatan Adidaya yang diprakarsai tiga negara maju, AS, Inggris (UK), dan Australia (Aussie) bertujuan dalam rangka menciptakan persaingan global antarnegara-negara adidaya koalisi tiga negara maju itu versus Tiongkok (RRC).
Sehingga pada akhirnya kekuatan adidaya Aliansi Aukus ini akan mampu membendung laju hegemoni Tiongkok khususnya di kawasan Indo-Pasifik. Yang artinya bahwa kawasan Indo Pasifik akan menjadi Medan Perang berbagai kepentingan negara-negara adidaya.
Dan secara otomatis Indonesia juga akan menjadi Sasaran Arena Pertarungan baru bagi negara-negara adidaya, melalui perang Asymetris. Perang asymetris ini memiliki tiga sasaran, antara lain (1) membelokkan sistem sebuah negara sesuai arah kepentingan kolonialisme, (2) melemahkan ideologi serta mengubah pola pikir rakyat.
Dan (3) menghancurkan food security (ketahanan pangan) dan energy security (jaminan pasokan dan ketahanan energy) sebuah bangsa, selanjutnya menciptakan ketergantungan negara target terhadap negara lain dalam hal food and energy security.
Keprihatinan Beijing atas blokade oleh Amerika Serikat (AS) di Laut China, Tentunya hal itu akan berdampak langsung terhadap perekonomiannya apabila hal itu terjadi. Karenanya, masalah krusial yang dihadapi Tiongkok dalam pertarungan global dengan Amerika Serikat, critical path-nya ada di kawasan ini, sebagai Konfigurasi perairannya, baik itu di Laut Cina Selatan maupun Laut Cina Timur sangatlah mudah diblokade pihak luar.
Laut Cina Timur contohnya, terbentang di antara wilayah Korea, Jepang dan Taiwan, sedangkan Laut Cina Selatan pada bentangan antara Taiwan, Filipina, Indonesia, Singapura dan Semenanjung Malaysia. Barangkali inilah shock and awe (gertak menakut-nakuti) yang dijalankan Aliansi AUKUS dalam rangka melemahkan mental Tiongkok.
Belum lagi masalah munculnya ancaman dari Taiwan, Korea Selatan, Jepang dan Filipina. Makanya, Tiongkok beraksi ingin lebih menguasai Indonesia dengan membangun pangkalan militer di Natuna dan pulau konflik, dengan dalih reklamasi yaitu mengembangkan sektor sipil.
Namun, Amerika Serikat (AS) pun bereaksi atas rencana ini, dengan melakukan patroli udara rutin di sekitaran langit Spratly. Inilah sekilas yang terjadi mengenai mapping kekuatan militer Cina dihadapkan dengan potensi serta prediksi ancaman ke depan.
Maka itu, untuk mengimbangi pengaruh AS yang begitu kuat secara militer di Asia Pasifik, saat ini Tiongkok lebih menekankan pola perang nirmiliter/asymetris dalam menguasai wilayah-wilayah yang bernilai strategis secara geopolitik terutama Indo Pasifik khususnya di wilayah Indonesia.
Kedigdayaan Tiongkok di bidang ekonomi dibandingkan AS dengan semakin massifnya Tiongkok mengguyurkan bantuan dan menanamkan investasi sebesar miliaran USD untuk mengambil alih operasional perusahaan dan mendatangkan ribuan TKA asal Tiongkok berkerja di Indonesia.
Itu merupakan salah satu gambaran implementasi dari perang asymetris dalam rangka memberikan ‘Warning’ atas persaingannya dengan Amerika Serikat dalam memperebutkan pengaruh hegemoni di kawasan Indo Pasifik.
Komunisme Gaya Baru
Gagalnya ekonomi negara-negara komunis di masa lalu, terpaksa harus mencari solusi untuk menciptakan pegangan baru, guna meraih hidup yang lebih bermakna. Namun, dalam proses mencari hidup yang lebih bermakna.
Komunis harus mengalah oleh kenyataan yang ada dan tanpa malu-malu bermutasi dari Komunis-Sosialis menjadi Komunis-Neolib yang dikendalikan dengan cara Kapitalis sejati pula (Kleptokrasi dan Plutokrasi).
Artinya mereka telah mengingkari peran Sosialisme yang diadopsi dari ilmu distribusi ekonomi yang mempunyai beberapa varian turunan. Salah satunya adalah Sosialisme-Komunis karena komunisme adalah (Marx + Energi bebad).
Ideologi yang lain dianggap hanya Anarchisme (Massa Goverment dan keadaan tanpa ada alat pemaksa), Sindikalisme yaitu gabungan antara Anarkhisme dan Sosialisme seperti di praktikan oleh Negara Brazil. Maka, negara Komunis saat ini tanpa malu, tanpa merasa berdosa, tanpa merasa berkhianat rela meninggalkan ekonomi sosialisnya menuju Ekonomi Pasar.
Bahkan, selama beberapa dekade terakhir, dimana negara-negara komunis justru menjadi punggawa garda terdepan yang mengusung Neoliberalisme (Neolib). Yang pada akhirnya esensi makna Sosialisme dan Komunisme itu menjadi dua hal yang berbeda, Sosialisme lahir dari teori ekonomi tentang subsidi antara yang lebih kepada yang kurang.
Sedangkan Komunisme adalah ideologi yg menekankan penghilangan subsidi karena tidak ada lagi si kaya dan si miskin dalam terminologi komunisme yang ada adalah sama rata sama rasa dengan tidak mengakomodir kepentingan ideologi lainnya.
Kondisi Faktual di Indonesia
Walaupun telah berlalu sejak 56 tahun yang lalu, namun suasana tahun 1965 kini terasa kembi di tahun 2021. Sangat tepat, apa yang disampaikan Jenderal Gatot Nurmantyo perihal bahwa TNI kesusupan paham Komunis dan hilangnya patung diorama rapat rencana operasi penumpasan G30S/PKI antara Pak Harto, Kolonel Sarwo Edhy Wibowo dengan Jenderal A.H Nasution di museum Dharma Bakti MAKOSTRAD.
Apa yang disampaikan Jenderal Gatot Nurmantyo tersebut merupakan sebuah simbol dan peringatan keras untuk kita semua sebagai sebuah Bangsa, atas peristiwa kelam yang terjadi tahun 1965 tentang Kup atau Kudeta Berdarah G30S yang didalangi Partai Komunis Indonesia (PKI).
Dengan membunuh 6 orang Jenderal dan 1 orang Perwira Pertama Angkatan Darat yang diisukan PKI telah membentuk Dewan Jenderal untuk mengambil alih kekuasaan Presiden, Panglima Tertinggi, Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno.
Tentunya warning atau peringatan keras yang disampaikan oleh Jenderal Gatot Nurmantyo tersebut merupakan sebuah alarm tanda bahaya untuk kita semua akan bangkitnya Neo Komunisme dengan segala bentuknya saat ini di Indonesia.
Begitupun Umat Islam sebagai penduduk mayoritas di negeri ini, juga memiliki memori buruk terhadap gerakan Komunisme. Misalnya pada tragedi 1948 di Madiun hingga saat ini umat Islam tentunya masih terngiang atas pembantaian ulama dan ratusan santri yang terjadi di Pesantren Takeran, Magetan Jawa Timur yang saat itu dilakukan PKI.
Umat Islam dan NU pun punya memori buruk terhadap PKI karena masyarakat NU di Jawa Timur pernah juga dibantai. Terakhir, gerakan massa umat Islam yang pernah menyampaikan aspirasinya Menolak dan Mencurigai keberadaan UU HIP (Haluan Ideologi Pancasila).
Karena RUU HIP tersebut dinilai sebagai jalan pintu masuk bagi ancaman Komunisme di Indonesia. Dimana Umat Islam menduga kuat bahwa isi RUU HIP akan menghilangkan esensi nilai Pancasila.
Salah satu di antaranya dengan gagasan untuk memeras Lima sila menjadi Tri sila dan Eka sila yang pada gilirannya kalimat Ketuhanan yang Maha Esa akan berubah menjadi Ketuhanan yang Berkebudayaan.
Oleh sebab itu memahami realitas kondisi Geopolitik Global dan ancaman kebangkitan Neo Komunisme di Indonesia, dimana satu sama lain saling beririsan dan sangat terikat erat, maka sudah selayaknya kita sebagai generasi penerus, dipandang perlu untuk lebih meningkatkan lagi kesiagaan dan kewaspadaannya demiĀ menjaga Falsafah dan Ideologi PANCASILA, serta demi menyelamatkan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Jakarta, 1 Oktober 2021
Salam Djuang
*) Aktivis Jalanan/Eks-TAPOL 2019
sumber: WAGroup Gerakan Amanah Sejahtera (post Jumat, 1/10/2021/moziloncengmerah)