FTJ 2025 Tingkat Jakarta Pusat: Catatan Juri sebagai Penonton yang Kritis

Flyer ajang Festival Teater Jakarta (FTJ) 2025 Tingkat Jakarta Pusat. Foto: dokpri

Oleh Harris Priadie Bah *)

Semarak.co – Pengawal kata. Harga yang paling mahal dari sebuah karya seni pertunjukan teater adalah bukan pada bentuk visualnya semata, namun pada gagasan yang diwujud-tampakan ke dalam bentuk pemanggungannya.

Bacaan Lainnya

Bila penyampaiannya dilakukan dengan standar yang tinggi yang mensyaratkan tersedianya dengan cukup maksud dan pesan dari pilihan bentuk pewujudannya itu – maka pertunjukan akan mendapatkan respon yang terbaik dari penontonnya.

Sebaliknya, gagasan yang baik bila diwujudkan dengan tanpa kemampuan yang memadai akan menjadi sekadar tempelan saja atau sekadar eksentrik-eksentrikan. Hanya ingin terlihat beda saja, kalau bukan justru menjadi keanehan bersebab sutradaranya tidak paham makna simbol atau idiom yang ditampilkannya.

Dari harga yang mahal itu terwakilkan mutu apa yang disebut kemudian dengan orisinalitas – lawan paling kuat dari duplikasi (penjiplakan) atau imitasi – yang menabalkan kualitas pertunjukannya akan menjadi seperti apa kelak ketika dipentaskan.

Gagasan itu sebermula bisa berbentuk pemikiran dari sang penulisnya yang kemudian ditafsirkan oleh sutradara dalam pola-pola pengadegan yang menampak pada garis-garis blocking dan atau moving para aktor, juga pemeristiwaan kejadian adegannya.

Atau bisa juga gagasan itu datang langsung dari sutradaranya. Dalam artian gagasan hadir di pikiran sutradara mendahului penulisan naskahnya, atau bahkan tanpa keberhadiran naskah drama yang tertuliskan.

Konsep semacam ini barangkali bisa kita pahami sebagai karya seni pertunjukan yang mengandalkan kepercayaan pada proses latihannya. Semacam pertarungan yang memertaruhkan hasilnya pada seutuhnya proses bersama di ruang latihan.

Pencapaian yang luar biasa dari para maestro teater Indonesia, seperti WS Rendra, Arifin C. Noer, Teguh Karya, Putu Wijaya, dan Suyatna Anirun, untuk menyebut beberapa nama tokoh teater Indonesia, adalah pada bagaimana teater dimaknai dan dikerjakan sebagai bahasa ucap yang kritis membaca.

Lalu menyaksikan dan memanggungkannya dengan khas dan unik. Bukan sekadar ketawa-ketiwi kalau pertunjukannya lucu. Bukan sekadar bentuk artistik yang memukau, kalau pertunjukannya kontemporer. Tetapi lebih daripada itu, pesan moralnya apa?

Mau bicara apa tentang situasi dan kondisi kehidupan hari ini. Seni teater bukanlah ruang pameran perabot-perabot rumah tangga. Bukan juga podium orasi tanpa isi seperti politisi yang cuma mengerti egonya sendiri.

Apalagi curahan hati pasien di ruang konsultasi dokter penyakit kelamin – yang kasusnya hanya diketahui berdua saja, antara pasien dan dokter. Seni teater adalah ruang penyadaran bersama, ruang kesaksian tentang kebenaran dan hidup yang lebih baik.

Rendra menggauli seni teaternya sebagai media perlawanan, Arifin menggunakan karya teaternya sebagai pencatat dan penyaksi dari orang-orang marginal dan “terasing” yang menjadi concern dalam semua naskah dramanya.

Nano Riantiarno pada sisi yang lebih cair, sesungguhnya juga menampilkan tokoh-tokoh yang terasing dari kehidupan sekitarnya. Sementara Suyatna Anirun di Bandung, Teguh Karya di Jakarta lebih fokus kepada tujuan memanusiakan ide ke atas panggung lewat bentuk realisme pertunjukannya.

FTJP HARI INI

Bagaimana dengan pertunjukan para peserta FTJP itu? Mencermati seluruh pertunjukan kawan-kawan peserta bersama grup teaternya masing-masing yang keseluruhannya berjumlah 10 grup peserta itu, aku mendapatkan kesan yang menyata atas kekurangan gagasan untuk menjadikan pertunjukan mereka sebagai medium untuk mengatakan/menyatakan sesuatu dengan cara yang menarik.

Ketiadaan gagasan itu menjadikan pertunjukan mereka hanya mengulang (itu pun jarang dengan hasil yang lebih bagus) dari pertunjukan grup-grup lain pada ajang festival teater jauh sebelumnya. Kecenderungan itu menampak dengan jelas pada hampir keseluruhan pertunjukan grup peserta.

Pertunjukan yang memainkan naskah-naskah drama yang jamak dipentaskan dalam ajang festival teater ini, terlihat hanya sekadar pentas, bukan memanfaatkannya sebagai kesempatan menyatakan sesuatu yang menggejala dalam kehidupan sosial, budaya, hukum, politik misalnya.

Kelompok ATAS dengan naskah “AA II UU” karya Arifin C. Noer, Teater Saphalta dengan naskah “Tengul” karya Arifin C. Noer, Teater Godam dengan “Sayang Ada Orang Lain” karya Utuy Tatang Sontani, Teater Cakrawala Art dengan naskah “Dukun-dukunan/Dokter Gadungan” karya Molliere.

Selanjutnya US Teater dengan naskah “Buruh Tambang” karya Joe Corrie, Teater Lorong dengan naskah “Cipoa” karya Putu Wijaya, Kantong Teater dengan naskah “Rumah Kertas” karya N. Riantiarno, Teater Republik dengan naskah “Terdakwa” karya Ikranegara.

Terus Poesat Teater dengan naskah “Tanda Silang” karya Eugene O’neill, tidak mampu membuang kesan kalau Festival Teater Jakarta (FTJ) Jakarta Pusat ini hanya sekadar dijadikan sebagai panggung berkarya tanpa visi, kecuali tujuan menjadi juara.

Dalam forum atau program apa pun, sejatinya teater mesti diperlakukan sebagai sarana untuk pernyataan diri dan pikiran atau tujuan yang lebih dari sekadar pertunjukan mengejar hadiah juara. Bisa kuingatkan, bahwa naskah drama adalah forum yang telah selesai di tangan penulisnya.

Namun di tangan seorang persona sutradara, dia belum selesai, belum menjadi apa-apa sampai pada akhirnya dinaikan ke atas panggung pertunjukan. Apalagi bila menghubungkannya dengan FTJ yang telah berusia lebih dari setengah abad.

Bayangkan bila kualitas pesertanya masih tidak lebih baik dari tahun 70-an ketika gagasan festival ini digulirkan oleh Wahyu Sihombing, tokoh teater yang berada di belakang lahirnya program (yang mestinya menjadi) dahsyaaat ini.

Satu pertunjukan dari sepuluh pertunjukan yang bertarung dalam FTJP kali ini, ada mengangkat karya penulis sendiri yang juga menyutradarai sekaligus memerankan satu karakter/tokoh yang ada dalam naskahnya.

Masyarakat Teater dengan pertunjukan yang berjudul “Makan Bersama Garuda.” Cukup menarik sebenarnya, namun menyesal, pertunjukan termaksud kehilangan daya pukau pada beberapa bagian, termasuk yang cukup penting dalam sebuah karya teater yakni konflik.

Seni pertunjukan teater tanpa konflik bagai masa berpacaran tanpa marahan; adem, anyep tidak menarik, monoton. Pemeristiwaan adegan yang dibangun oleh si penulis dalam naskah dramanya dan sutradara dalam pemanggungannya masih kelewat lemah.

Konflik antar tokoh tidak tersedia pada naskahnya. Boleh jadi sang penulis yang juga si sutradara pertunjukannya, tidak ada riset atau setidaknya masih jauh dari cukup, bagaimana pertunjukan dihadirkan di hadapannya penontonnya. Aku kira pertunjukan semacam ini, akan lebih pas dimainkan dalam ruang kecil yang intim, semacam “resital teater” atau teater kamar.

SENI PERTUNJUKAN YANG LENGKAP

Di atas panggung pertunjukan seni teater, mata yang mendelik, mulut yang menganga, wajah dan tubuh yang menegang, suara merintih, menangis, marah, tertawa adalah kesatuan tanda, bahasa seorang persona aktor. Dia tidak bisa terpisahkan dan dipisahkan.

Termasuk kemudian ekspresi yang ditampilkannya dengan bahasa teks pengucapan yang berupa dialog pun suara batin (soliloque) tokohnya. Secara keseluruhan penampilan grup peserta pada event FTJP kali ini bisa kukatakan masih juga belum mampu menghadirkan “kebaruan” bentuk dan gagasan yang orisinal.

Mereka juga kurang mampu “memakai” kekuatan persona aktor untuk menghidupkan tokoh-tokoh yang telah dinasibkan jalan hidupnya oleh para penulisnya. Persoalan jam terbang menjadi perkara yang bagaimana pun layak dicatat, juga kekurangan latihan dasar dan pemeranan.

Yang menargetkan penguasaan bahasa tubuh/gesture, bahasa teks/pola ucap atau dialog yang liat dan lentur, tentu tak ketinggalan penghayatan bathin aktornya, ke depannya mesti mendapatkan perhatian yang lebih besar lagi. Hal penting lain yang mau kusarankan kepada seluruh peserta grup teater FTJP kali ini adalah, hargai proses latihan dengan bertanggung-jawab.

Banyaklah membaca dan menonton karya seni pertunjukan (tidak terbatas pada seni teater saja) dan upaya ikhtiarkan untuk mencari seorang peneman latihan yang kritis untuk menyaksikan latihan dan memberikan catatan-catatan selepas latihan usai dikerjakan. Semacam dramaturg untuk kerja penciptaan yang lebih serius.

Salam dramatika.

*) HPBah adalah Dosen, Sutradara dan Pimpinan Grup Kelompok Teater Kami

Pos terkait