DPR Pastikan tak Ada Pemakzulan Jokowi karena Perppu Ciptaker, 2 Anggota DPD Sama-sama Sebut Presiden Bisa Dimakzulkan

Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad. Foto: detik.com

Keputusan Presiden Joko Widodo (Jokowi) menerbitkan Peraturan Pengganti Undang-undang (Perppu) Omnibuslaw Cipta Kerja (Ciptaker) terus mengundang kritik dari berbagai kalangan. Para praktisi hukum tata negara menilai tidak ada alasan yang kuat berupa kegentingan yang memaksa, yang bisa menjadi dasar Presiden Jokowi menerbitkan sebuah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang.

semarak.co-Tindakan tersebut bahkan bisa dinilai sebagai pelecehan terhadap Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang telah memutuskan Omnibuslaw atau Undang-undang Cipta Kerja ini sebagai undang-undang inkonstitusional bersyarat.

Bacaan Lainnya

Oleh karena itu, sejumlah aktivis dan praktisi sedang menyiapkan langkah hukum untuk menggugat Perpu tersebut. Bahkan, seorang anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI Abdurrahman Thaha menyatakan dengan keputusan itu presiden sesungguhnya bisa langsung dimakzulkan atau dilengserkan.

“Andai saja DPD punya kewenangan lebih, percayalah, saya akan mengambil inisiatif pemakzulan itu,” kata Abdurrahman Thaha, anggota DPD RI dari Sulawesi Tengah dilansir democrazy.id Januari 04, 2023.

Sayangnya, kewenangan DPD itu sangat terbatas. Yang punya hak untuk mengajukan pemakzulan adalah anggota DPR RI, kemudian dilaksanakan oleh MPR. Kendati begitu, Thaha mendorong seluruh anggota DPD untuk menemui Presiden Jokowi di istana dan mengingatkan preseden buruk yang dihasilkan dari penerbitan Perpu Omnibuslaw Cipta kerja.

Keputusan pemerintah menerbitkan Perpu Undang-undang Cipta Kerja kita kerja ini sungguh-sungguh sangat mengejutkan. Dalam keputusan sidang yang digelar hari Kamis, 25 November 2021, Hakim MK yang dipimpin Ketua MK Anwar Utsman mengabulkan sebagian permohonan yang diajukan oleh penggugat.

Bahkan, pembentukan Undang-undang Cipta Kerja itu dinilai bertentangan dengan Undang-undang ‘45 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat, sepanjang tidak dimaknai, tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 tahun sejak keputusan itu diucapkan.

Dalam keputusan itu MK juga memerintahkan kepada pembentuk undang-undang untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama 2 tahun sejak putusan diucapkan. Apabila dalam tenggang waktu tersebut tidak dilakukan perbaikan, maka Undang-undang Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional tetap, tidak konstitusional.

Ya, Undang-undang Cipta Kerja ini sebelumnya digugat oleh sejumlah kelompok masyarakat yang terdiri dari Migran Care, Badan Kerapatan Adat dari Sumatera Barat, Mahkamah Adat Minangkabau, dan seorang warga bernama Muchtar Syair.

Dengan keputusan tadi, tenggang waktunya kurang lebih baru 1 tahun, harusnya pemerintah dan DPR melakukan revisi terhadap beberapa ketentuan yang disebutkan oleh MK sebagai bertentangan dengan Undang-undang Dasar 1945.

“Tetapi, yang terjadi alih-alih menjalankan Keputusan MK, Presiden pada 30 Desember 2022, malah menerbitkan Perpu Nomor 2 tahun 2022. Nah, ini memang yang dianggap Pemerintah sangat arogan,” kata Hersubeno Arief, wartawan senior FNN, dalam Kanal Youtube Hersubeno Point edisi Selasa (3/1/23).

Penerbitan Perpu itu disampaikan oleh Menko Perekonomian Airlangga Hartato didampingi oleh Menkopolhukam dan Wamenkumham, Profesor Edi Yaris. Berikut cuplikannya.

Tadi kami sudah berkonsultasi, dipanggil Bapak Presiden dan diminta untuk mengumumkan terkait penetapan pemerintah untuk Perpu tentang Cipta Kerja, dan tadi Bapak Presiden telah berkonsultasi dengan sudah berbicara dengan Ketua DPR, dan pada prinsipnya ketua DPR sudah terinformasi mengenai Perpu tentang Cipta Kerja.

Dan ini berpedoman pada Peraturan Perundangan dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 38/PUU/7/2009 dan hari ini telah diterbitkan Perpu Nomor 2 Tahun 2022 tertanggal 30 Desember 2022.

Pertimbangannya adalah pertama kebutuhan mendesak. Pemerintah perlu mempercepat antisipasi terhadap kondisi global, baik yang terkait dengan ekonomi kita menghadapi resesi global, peningkatan inflasi, kemudian ancaman stagflasi, dan juga beberapa negara sedang berkembang yang sudah masuk kepada IMF itu lebih dari 30, dan sudah antri juga 30.

Jadi kondisi krisis ini untuk emerging developing country menjadi sangat riil dan juga terkait dengan geopolitik, perang Ukraina – Rusia, dan konflik lainnya juga belum selesai, dan pemerintah menghadapi tentu semua negara menghadapi krisis pangan, energi, keuangan, dan perubahan iklim…”

“Keputusan pemerintah menerbitkan Perpu Cipta Kerja itu sungguh mengejutkan. Apalagi, kalau kita simak penjelasan Airlangga Hartarto dan Mahfud MD tadi memang tidak cukup kuat. Tadi disebut-sebut bahwa alasannya di antaranya perang di Ukraina yang membuat situasi global tidak ada ketidakpastian,” ujar Hersubeno.

Alasan ini lebih pada kepentingan dan kepastian hukum terhadap para investor. Padahal, amanat dari Mahkamah Konstitusi jelas, yaitu meminta pembuat undang-undang, dalam ini hal ini pemerintah dan DPR, untuk memperbaikinya. Mereka diberi waktu 2 tahun, harusnya cukup.

“Tapi, dalam penjelasan yang disampaikan Pak Mahfud, dijelaskan bahwa mereka berkejaran dengan waktu, terutama para investor yang perlu kepastian hukum. Saya tidak terkejut kalau ada yang menganggap bahwa ini melecehkan Mahkamah Konstitusi. Jadi, alih-alih membicarakan terlebih dahulu dengan DPR, membahasnya, dan melakukan perbaikan-perbaikan, pemerintah malah menerbitkan Perppu,” ujarnya.

Sekarang ini bola bergulir ke DPR. Apakah DPR akan mengesahkan Perpu itu menjadi undang-undang?  Kalau kita berkaca dari berbagai pembahasan perundang-undangan, termasuk terbitnya Perpu nomor 1 tahun 2020 tentang stabilitas keuangan negara untuk penanganan covid, DPR hampir dipastikan akan mengesahkannya.

Wajar kalau sekarang ini banyak yang frustrasi menghadapi rezim pemerintahan Jokowi ini. “Setiap kali membuat undang-undang yang bertentangan dengan rakyat, pemerintah dan DPR tetap jalan terus, tidak peduli ada unjuk rasa besar-besaran, termasuk ketika pembentukan Undang-undang Omnibuslaw ini. Kemudian jawabannya paling enak silahkan digugat ke Mahkamah Konstitusi,” ungkap Hersu.

Namun,menurut Hersu, dalam kasus Omnibuslaw Cipta Kerja, setelah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi sebagai inkonstitusional bersyarat, perlu dicatat, ini satu-satunya keputusan yang pernah diambil oleh MK tapi langsung diterpedo oleh Pemerintah dengan menerbitkan Perpu.

“Ya, ini arogan sekali pemerintah. Mereka sangat tidak peduli, suara rakyat tidak didengarkan dan suara lembaga tinggi hukum seperti Mahkamah Konstitusi juga diabaikan,” ungkap Hersu.

Wajar kalau kemudian anggota DPD RI seperti Abdurrahman Thaha menyerukan adanya pemakzulan terhadap Jokowi. Bahkan, dia menyatakan dia akan memimpin andai saja DPD punya kewenangan. Sayangnya, DPD memang tidak punya kewenangan.

Yang punya kewenangan itu DPR dan kita tahu DPR sekarang sepenuhnya sudah dikuasai oleh pemerintah. “Jadi, langkah apa yang harus kita lakukan?” tanya Hersubeno Arief mengakhiri pembahasannya.

Mengutip zamane.id/ 04 JANUARI 2023, Ketua MK pertama, Jimly Asshiddiqie mengatakan bahwa Presiden Jokowi bisa dimakzulkan akibat menerbitkan Perpu Cipta Kerja. “Bisa saja kasus pelanggaran hukum dan konstitusi yang sudah berkali-kali dilakukan oleh Presiden Jokowi dapat diarahkan untuk impeachment (pemakzulan),” kata Jimly.

Anggota DPD dari DKI Jakarta ini mengingatkan bahwa pembentuk Undang-Undang berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 adalah DPR, bukanlah presiden seperti era sebelum reformasi. Apalagi, sudah ada putusan MK yang memerintahkan perbaikan UU.

“Bukan dengan Perpu, tapi dengan UU dan dengan proses pembentukan yang diperbaiki sesuai putusan MK. Perpu ini jelas melanggar prinsip negara hukum yang dicari-carikan alasan pembenaran oleh sarjana tukang stemple,” tulis Jimly dalam keterangan tertulis, Rabu, 4 Januari 2022.

Sebelumnya pada 25 November 2021, MK memutuskan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja atau UU Cipta Kerja cacat secara formil. Lewat Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020, Mahkamah menyatakan bahwa UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat dan meminta pemerintah memperbaikinya paling lama dalam 2 tahun.

Bukannya memperbaiki UU, Jokowi malah menerbitkan Perpu Cipta Kerja pada 30 Desember dengan alasan ada kegentingan yang memaksa untuk mengantisipasi ancaman krisis ekonomi.

Jimly Asshiddiqie menyebut peran MK dan DPR telah diabaikan dengan penerbitan Perpu ini. Selain itu, Perpu ini bukanlah contoh rule of law yang baik, tapi jadi contoh rule by law yang kasar dan sombong. “Bisa saja kasus pelanggaran hukum dan konstitusi yang sudah berkali-kali dilakukan oleh Presiden Jokowi dapat diarahkan untuk impeachment (pemakzulan),” kata Jimly.

Kalau mayoritas anggota DPR siap, kata Jimly, sangat mudah untuk mengkonsolidasikan anggota DPD dalam forum MPR untuk menyetujui langkah impeachment tersebut. Kalau ada sarjana hukum yang ngotot memberi pembenaran pada Perpu Cipta Kerja ini, kata Jimly, maka tidak sulit baginya untuk memberi pembenaran untuk terbitnya Perpu Penundaan Pemilu dan perpanjangan masa jabatan.

“Semua ini akan jadi puncak konsolidasi parpol untuk mengambil jarak dan bahkan memberhentikan Jokowi dari jabatannya,” kata Jimly. Oleh sebab itu, Ia menyarankan semua pihak kembali setia dan tidak mengkhianati norma tertinggi yang sudah disepakati, yaitu Pancasila dan UUD 1945.

Muncul wacana pemakzulan Presiden Jokowi karena menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Ciptaker). DPR menilai wacana tersebut tak tepat.

Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad mengatakan bahwa, “Saya pikir tidak ada alasan untuk memakzulkan presiden dengan perppu atau presiden mengeluarkan perppu. penerbitan perppu tidak menyalahi aturan.”

Ketua Harian DPP Partai Gerindra itu menyampaikan alasannya. Sebab, parppu merupakan salah satu cara pembuatan aturan yang diperbolehkan Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (PPP). “Jadi begini bahwa perppu itu kan memang ada aturannya,” ungkap Dasco di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis, 5 Januari 2023

Penerbitan perppu juga dinilai bukan hal yang baru. Langkah tersebut juga pernah dilakukan pemimpin sebelumnya. “Penerbitkan perppu itukan bukan cuman zaman Pak Jokowi. Presiden sebelum sebelumnya juga sudah ada juga yurisprudensinya menerbitkan perppu,” sebut Dasco yang juga Ketua Harian DPP Partai Gerindra.

Namun, masih ada proses selanjutnya yang harus dilalui meski Perppu Ciptaker sudah berlaku. Yakni, harus meminta pertimbangan DPR apakah Perppu Ciptaker disetujui atau tidak. Berdasarkan Pasal 52 ayat (4) UU PPP, Perppu Ciptaker bisa langsung menjadi UU jika disetujui DPR. Pasal 52 ayat (5) dijelaskan Perppu Ciptaker tidak berlaku dan harus dicabut jika tidak mendapat persetujuan dari lembaga legislatif.

Pertimbangan DPR tersebut berdasarkan pandangan fraksi-fraksi. Mereka diberikan waktu untuk menelaah Perppu Ciptaker dan menyampaikan sikap apakah menerima atau menolak perppu tersebut. “Oleh karena itu yang mungkin perlu nanti dilihat oleh DPR substansi dari perppu tersebut. Nanti kita akan bahas di amsa sidang pekan depan,” ujar dia.

Dirangkum dari berbagai sumber, wacana pemakzulan Jokowi karena mengeluarkan Peppu Ciptaker disampaikan anggota DPD RI asal Sulawesi Tengah Abdul Rachman Thaha. DPR disarankan segera mengakhiri masa reses untuk meninjau kemungkinan pemakzulan terhadap Presiden Jokowi. (net/moc/zam/smr)

 

sumber: democrazy.id/zamane.id di WAGroup ANIS R B PRSEDEN 2024 (postKamis5/1/2023/donnysubrata)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *