Dompet Dhuafa Ajak semua Elemen Negeri Atasi Rawan Pangan dan Stunting

Diskusi publik “Kerawanan Pangan dan Tantangan Stunting Anak Negeri” menghadirkan pembicara Fajri Azhari (Peneliti IDEAS), Hera Nurlita (Kasi Mutu Gizi Kementerian Kesehatan RI), Sri Wahyuni Sukotjo (UNICEF), dan drg. Martina Tirta Sari (Direktur LKC NTT Dompet Dhuafa. Foto: humas Dompet Dhuafa

Indonesia dengan negara agraris serta beriklim tropis sangat membantu dalam potensi agraria dan termasuk komoditi pangan. Namun dari catatan Kementerian Pertanian (Kementan) terdapat 88 kabupaten atau kota di Indonesia rentan rawan pangan.

semarak.co -Daerah rentan rawan pangan ditentukan melalui tiga aspek meliputi ketersediaan pangan, akses pangan, dan pemanfaatan pangan. Tiga aspek tersebut dapat berdampak pada kehidupan wilayah rawan pangan, ketersediaan pangan yang kurang sehingga menyebabkan kurangnya asupan gizi.

Bacaan Lainnya

Peneliti IDEAS Fajri Azhari IDEAS mengatakan, Februari ini IDEAS sudah melakukan penelitian terkait dengan ketimpangan masyarakat miskin dengan konsumsi pangan.

“Masyarakat miskin menghadapi harga pangan yang mahal. Strategi yang ditempuh keluarga miskin yaitu beralih untuk mengkonsumsi pangan yang murah dan bisa diawetkan,” ujar Fajri dalam Diskusi Publik “Kemiskinan Pangan Tantangan Stunting Anak Negeri” di Warung Buncit, Jakarta Selatan, Jumat (28/2/2020).

Kelompok 1% termiskin secara rata-rata mengkonsumsi 74.4 kg beras per kapita per tahun, papar Fajri, lebih banyak dari kelompok 1% terkaya yang hanya 60,89 kg beras per kapita pertahun.

Tingkat konsumsi yang sangat rendah, kemiskinan pangan dapat membawa pada penyakit kronis dan kematian dini. Penyakit kronis memberi beban ekonomi yang berat dari biaya pengobatan dan hilangnya waktu produktif, dan mendorong si miskin lebih dalam ke lembah kemiskinan.

“Keluarga berpendapatan rendah dengan jumlah anggota keluarga lebih banyak memiliki peluang lebih besar mengalami kemiskinan pangan,” ujar Fajri.

Pencegahan kerawanan pangan dan stunting yang terjadi anak negeri, telah menggerak Dompet Dhuafa dengan berbagai program pertanian dan kesehatan seperti mengembangkan program pertanian sehat terpadu hingga mengimplementasikan program JKIA (Jaringan Kesehatan Ibu dan Anak) dan SNGI (Saving Next Generation Institute).

Direktur Utama Dompet Dhuafa drg. Imam Rulyawan mengatakan, itu yang berbasis pemberdayaan kader dan komunitas masyarakat untuk melakukan upaya pencegahan kematian ibu dan anak, juga program STBM (Sanitasi Total Berbasis Masyarakat) yang mendorong perilaku bersih dan sehat di lingkungan sekitar dengan sumberdaya yang ada.

“Program tersebut, dilakukan bersama dengan komponen masyarakat, pemerintah daerah, dinas terkait dan mitra lain yang bekerjasama secara terintegrasi di lapangan,” terang Imam Rulyawan dalam rilis Humas Dompet Dhuafa, Sabtu (29/2/2020).

Namun pekerjaan rumah yang berat dengan bertambahnya total penduduk di Indonesia, hal ini menjadi tugas bersama antara lembaga kemanusiaan dengan pemerintahan dalam pengentasan kerawanan pangan dan stunting di sejumlah daerah.

Masalah stunting disampaikan Kasi Mutu Gizi Kementrian Kesehatan Hera Nurlita. Menurut Hera, ini merupakan masalah multidimensial, terdiri dari penyebab langsung seperti konsumsi makanan tidak beragam, penyakit infeksi, dan tidak mendapatkan imunisasi lengkap.

“Penyebab tidak langsung berupa kerawanan pangan, pemantauan tumbuh kembang balita yg belum optimal serta akses sanitasi yang tidak layak. Sehingga membutuhkan peran aktif banyak pihak. Pemerintah sudah berkomitmen dan menetapkan arah perbaikan gizi nasional untuk meningkatkan mutu gizi perorangan dan masyarakat,” imbuh Hera.

Permasalahan pangan, rinci Hera, gizi buruk dan stunting ini menjadi pekerjaan bersama dengan pemerintah daerah.  Pada 2018, terdapat 92 kabupaten-kota dengan prevalensi stunting balita lebih dari 40 persen, dengan yang tertinggi adalah Kab. Nias (61,3 persen).

Kemudian Kab. Dogiyai (57,5 persen), Kab. Timor Tengah Utara (56,8 persen), Kab. Timor Tengah Selatan (56,0 persen), Kab. Waropen (52,6 persen) dan Kab. Pangkajene dan Kepulauan (50,5 persen).

Pada saat yang sama, 206 kabupaten-kota memiliki prevalensi stunting antara 30-40 persen. Dengan kata lain, 58 persen kabupaten-kota di seluruh Indonesia menghadapi masalah prevalensi stunting yang serius, lebih dari 30 persen. Hanya 34 kabupaten-kota yang pada 2018 tercatat memiliki prevalensi stunting dibawah 20 persen.

Menurut Sri Wahyuni Sukotjo dari UNICEF mengatakan, balita yang mengalami gizi buruk beresiko menjadi stunting, anak gizi buruk akan mengalami pertumbuhan tinggi badan dan perkembangan otak yang tidak maksimal.

Selain itu faktor budaya yang kurang berperan terhadap  pengetahuan seputar gizi bisa menjadi sebab utama pemicu tumbuhnya gizi buruk dalam wilayah tersebut. “Permasalahan stunting juga terdapat pada pemenuhan dari Posyandu,” ucap Sri.

Kader-kader posyandu masih belum merata akan pengetahuan dan pendampingan ke warga masih kurang, lanjut Sri, dari faktor usia para kadernya serta jumlah kader posyandu yang minim sehingga belum dapat menyisir secara luas dalam cakupan wilayahnya.

Direktur LKC NTT Dompet Dhuafa drg. Martina Tirta Sari menambahkan, ada pembelajaran dari program penanganan dan pencegahan masalah gizi di NTT, di mana ada pada peningkatan pengetahuan, pemberian ASI ekslusif, pola Asuh dan kasih sayang, kesadaran masyarakat serta peran berbagai pihak yang terkait.

“Seperti keluarga, tokoh masyarakat, puskesmas, dinas kesehatan, dinas sosial, mitra kesusteran, Bapeda, dan elemen masyarakat lainnya,” timpal drg Martina. (lin)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *