Difteri. Penyakit yang sudah lama tidak pernah terdengar namanya kini hadir kembali. Kementerian Kesehatan (Kemenkes) bahkan menetapkannya sebagai Kejadian Luar Biasa dan 20 provinsi telah melaporkan adanya Difteri. Ini adalah buah dari marginalisasi upaya kesehatan masyarakat karena rendahnya cakupan imunisasi DPT.
Pegiat Center for Health Economics and Policy Studies (CHEPS), School of Public Health Universitas Indonesia Prof. Budi Hidayat mengatakan, sangat mendesak untuk melakukan langkah nyata membenahi UKM. Penguatan Puskesmas untuk kembali pada tupoksi membina kesehatan wilayah, melaksanakan upaya kesehatan komprehensif baik UKP maupun UKM sangat penting dilakukan.
“Sudah saatnya UKM bangun dari tidur panjang, diperkuat, didukung semua pihak dan berjalan beriringan dengan UKP demi tercapainya derajat kesehatan masyarakat,” ujar Budi dalam paparan atau kaleidoskop CHEPS FK UI, di kampus UI Depok, Jakarta, Jumat (22/12).
Dalam pelayanan kesehatan, lanjut Budi, sejatinya upaya kesehatan perorangan dan upaya kesehatan masyarakat (UKM) harus seimbang. Namun kini, di era Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), dirasakan pelayanan kesehatan perorangan lebih mendominasi dibanding pelayanan kesehatan masyarakat. “Dukungan secara eksplisit pada UKP lambat laun menyebabkan pengambil kebijakan kian fokus pada UKP dan seakan menganaktirikan UKM. Terdapat penurunan kinerja UKM sejak lahirnya JKN,” ulasnya.
Studi CHEPS UI berdasarkan Susenas 2013 dan 2015 menunjukkan adanya penurunan cakupan imunisasi dan ASI eksklusif masing-masing sebesar 14% dan 63% sebelum dan sesudah adanya JKN. Permasalahan UKM sejatinya sangat kompleks mulai dari pendanaan yang sangat kecil, terkendalanya pemanfaatan dana serta berbagai isu operasional di puskesmas.
Secara praktis, Budi mencontohkan pada kasus dana BOK (Bantuan Operasional Kesehatan) terjadi peningkatan pendanaan secara konsisten dari tahun 2013 hingga 2015 namun penyerapan dana nya justru cenderung menurun. Hal ini diperparah dengan kurangnya obat, fasilitas, SDM kesehatan masyarakat (kesmas) akibat moratorium dan sibuknya Puskesmas melayani lonjakan pasien JKN yang datang berobat sehingga keteteran menjalankan program promotif dan preventifnya, padahal ia adalah ujung tombak UKM.
Selain itu, besarnya dana kapitasi (jasa pelayanan) untuk pelayanan peserta JKN di puskesmas ditengarai menyebabkan puskesmas lebih fokus pada layanan kuratif ketimbang layanan kesehatan masyarakat yang kurang diberikan insentif.
Penguatan UKM (imunisasi, penyuluhan, layanan outreach, dll) diharapkan dapat menekan angka morbiditas yang membebani JKN dan mengurangi laju defisit pembiayaan di masa mendatang. Upaya kesehatan masyarakat diyakini mampu mengendalikan biaya kesehatan karena menjaga masyarakat tetap sehat, menurunkan resiko terjadinya suatu penyakit termasuk penyakit kronis yang berbiaya mahal.
Hal ini, kata dia, secara langsung akan mendukung sustainibilitas JKN karena tingginya klaim biaya kesehatan yang membebani BPJS sebagian besar justru berasal dari penyakit tidak menular yang notabenenya dapat dicegah, seperti diabetes mellitus, hipertensi, gagal ginjal, kanker, penyakit jantung, dan sebagainya.
Pemenuhan kebutuhan SDM kesmas, peningkatan anggaran, inovasi menu kegiatan serta pendanaannya, perbaikan pemanfaatan dana kapitasi, menghidupkan UKBM (Upaya Kesehatan Berbasis Masyarakat) serta pelaksanaan Standar Pelayanan Minimal harus terus diupayakan. Solusi Radikal perlu kita pertimbangkan, yaitu mengubah mindset puskesmas sebagai FKTP utama JKN dan membuka peluang bagi swasta untuk berperan.
Dana kapitasi ke puskesmas memarginalkan proses dan output UKM sebab sumber daya yang ada lebih terkonsentrasi pada layanan UKP. Secara teknis, perlu dipertahankan peran Puskesmas sebagai front-liner agar kinerja UKM Optimal; memperbaiki kualitas layanan JKN; dan mengembangkan PPP (public-private partnership) dalam JKN khususnya dalam penyediaan provider FKTP dari sektor swasta. (lin)