Dewas KPK Belum Terima SK Penonaktifan 75 Pegawai, ICW Curiga Ada Motif Hentikan Kasus Besar

Juru Bicara KPK Febri Diansyah berpose usai memberikan keterangan pers di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (26-12-2019). Febri Diansyah resmi menyatakan melepas jabatannya sebagai juru bicara KPK dan memilih untuk menjadi Kepala Biro Humas KPK dalam kepemimpinan baru KPK jilid V. Foto: internet

Indonesian Corruption Watch (ICW) mengkritisi tidak lolosnya 75 pegawai tersebut karena test wawasan kebangsaan (TWK). ICW menilai TWK merupakan bagian dari rangkaian pelemahan KPK yang berasal dari internal KPK. Sebelumnya, upaya pelemahan KPK dan demokrasi Indonesia telah dimulai sejak disahkannya UU 19/2019.

semarak.co-Peneliti ICW Egi Primayogha mengatakan, ICW mencatat setidaknya dua hal penting yang harus diperhatikan terkait TWK KPK. Pertama, tes ini adalah upaya untuk mengeliminasi penyelidik, penyidik, dan staf KPK yang memiliki integritas melawan korupsi tanpa pandang bulu siapapun pelaku korupsinya.

Bacaan Lainnya

“Rencana pemecatan penyelidik dan penyidik itu juga terjadi di saat KPK sedang menangani beberapa kasus korupsi yang melibatkan kader partai politik pendukung pemerintah, misalnya suap pengadaan paket bansos sembako di Kementerian Sosial, suap ekspor benih lobster, korupsi KTP-Elektronik, dan lain lain,” tutur Egi.

Kedua, lanjut dia, terkait substansi TWK yang memuat pertanyaan-pertanyaan tidak relevan dengan praktik kerja KPK. Dia bilang, menurut penuturan staf KPK yang mengikuti tes, dalam soal tes tersebut terdapat unsur sexist, diskriminatif dan intervensi dalam kehidupan personal.

“Hal ini mengonfirmasi dugaan bahwa persoalan kompetensi, integritas dan anti-korupsi bukan menjadi prioritas pada pengujian tersebut,” ucap Egi lewat keterangannya, Rabu (12/5/2021) seperti dilansir liputan6.com.

Menurutnya, kisruh dan kegaduhan atas pemecatan 75 pegawai KPK tidak dapat dilepaskan dari kepemimpinan Firli Bahuri. Kata Egi, terdapat sederet persoalan serius yang juga terjadi pada era kepemimpinannya.

Mulai dari keengganan meringkus Harun Masiku, pencurian barang bukti emas oleh pegawai KPK serta suap dan gratifikasi yang diterima oleh penyidik KPK dalam penyelidikan perkara Walikota Tanjung Balai.

“Dan terakhir, munculnya video yang menunjukkan pertemuan antara Firli Bahuri dengan salah satu Komisaris PT Pelindo, yang kasusnya sedang ditangani oleh KPK,” bebernya.

Selain itu, kata dia, kondisinya kian suram tatkala Firli sendiri selaku pegawai maupun Ketua KPK telah dua kali melanggar kode etik, baik karena bertemu dengan kepala daerah NTB maupun menggunakan moda transportasi mewah seperti helikopter.

Mengutip TEMPO.CO, Jakarta-ICW menilai tindakan Ketua KPK Firli Bahuri menonaktifkan 75 pegawai yang tidak lolos Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) melanggar hukum.

TWK tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 19 tahun 2019 tentang KPK ataupun PP Nomor 41 tahun 2020 dan bertolakbelakang dengan perintah putusan Mahkamah Konstitusi. “Tindakan dan keputusan Pimpinan KPK ini jelas melanggar hukum,” kata peneliti ICW Kurnia Ramadhana, Rabu, 12 Mei 2021.

Kurnia meyakini pemberhentian 75 pegawai yang dikenal berintegritas dan memiliki rekam jejak panjang dalam pemberantasan korupsi itu punya motif tertentu. Ia mencurigai motifnya adalah untuk menghambat penanganan perkara besar. Apalagi para pegawai KPK tersebut saat ini menangani sejumlah kasus besar mulai dari korupsi bansos, suap benih lobster, KTP-Elektronik, dan Nurhadi.

Sementara itu WE Online, Jakarta-melaporkan ICW mencurigai penonaktifan penyidik KPK Novel Baswedan dan 74 pegawai lembaga antirasuah lainnya untuk menghambat penanganan kasus korupsi kelas kakap.

Keyakinan itu didasari lantaran sejumlah nama yang dinonaktifkan merupakan penyelidik atau penyidik yang menangani kasus korupsi besar seperti kasus bantuan sosial COVID-19, e-KTP hingga ekspor benih lobster.

“ICW meyakini motif di balik pemberhentian itu juga menyasar pada upaya pimpinan KPK untuk menghambat penanganan perkara besar yang sedang diusut oleh para pegawai KPK tersebut, mulai dari korupsi bansos, suap benih lobster, KTP-Elektronik, Nurhadi, dan lain-lain,” kata peneliti ICW Kurnia, Rabu, 12 Mei 2021.

Dengan terbitnya Surat Keputusan penonaktifan 75 pegawai yang tak lulus tes wawasan kebangsaan (TWK), Kurnia menilai misi utama pimpinan KPK yang dikomandoi Firli Bahuri, untuk menyingkirkan pegawai kritis dan berintegritas telah berhasil.

“Setelah mengobrak-abrik KPK dengan berbagai kebijakan kontroversi, akhirnya misi utama pimpinan KPK berhasil, yakni menyingkirkan puluhan pegawai KPK yang selama ini dikenal berintegritas dan memiliki rekam jejak panjang selama bekerja di institusi antirasuah itu,” kata Kurnia.

Tindakan dan keputusan pimpinan KPK telah melanggar hukum. Sebab, kata Kurnia, melandaskan hasil TWK yang hingga kini masih menjadi perdebatan sebagai dasar penonaktifan pegawai.

“Padahal TWK sendiri sama sekali tidak diatur dalam UU 19 tahun 2019, PP 41 tahun 2020, dan bertolak belakang dengan perintah putusan Mahkamah Konstitusi,” ujar Kurnia.

Penonaktifan 75 pegawai KPK tertuang dalam Surat Keputusan (SK) Pimpinan KPK Nomor 652 Tahun 2021. SK tertanggal 7 Mei tersebut ditandatangi oleh Ketua KPK Firli Bahuri.

Untuk salinan yang sah, diteken oleh Plh Kabiro SDM Yonathan Demme Tangdilintin. Dalam SK penonaktifan 75 pegawai yang tak lolos TWK itu, terdapat 4 poin sebagai berikut:

Pertama, menetapkan nama-nama pegawai yang tersebut dalam lampiran surat keputusan ini tidak memenuhi syarat (TMS) dalam rangka pengalihan pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi pegawai Aparatur Sipil Negara.

Kedua, memerintahkan pegawai sebagaimana dimaksud pada diktum kesatu agar menyerahkan tugas dan tanggung jawab kepada atasan langsung sambil menunggu keputusan lebih lanjut.

Ketiga, menetapkan lampiran dalam keputusan ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari keputusan ini. Keempat, keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dan apabila di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan dalam keputusan ini, akan dilakukan perbaikan sebagaimana mestinya.

Selain Novel Baswedan, nama-nama yang dikabarkan tidak lolos tes itu, Deputi Bidang Koordinasi dan Supervisi Herry Muryanto, Direktur Direktur Pembinaan Jaringan Kerja antar Komisi dan Instansi (PJKAKI) Sujanarko, Direktur Sosialisasi dan Kampanye Antikorupsi Giri Suprapdiono, dan Ketua Wadah Pegawai KPK Yudi Purnomo serta seluruh kasatgas dari internal KPK.

Sebelumnya, Firli mengeluarkan Surat Keputusan menonaktifkan 75 pegawai yang tidak lolos TWK sejak 7 Mei 2021. Salah satu pegawai yang diketahui tak lolos itu adalah penyidik senior Novel Baswedan. Novel mengatakan, seorang Ketua KPK yang bertindak sewenang-wenang dan berlebihan seperti ini menarik dan perlu menjadi perhatian.

Ia menyebut tindakan tersebut menggambarkan masalah serius yang sesungguhnya. “Akibat dari tindakan sewenang-wenang tersebut para penyidik atau penyelidik yang menangani perkara disuruh berhenti tangani perkara,” ujarnya.

Novel Baswedan mengatakan masalah seperti ini merugikan kepentingan semua pihak dalam agenda pemberantasan korupsi. Selain itu, kata dia, juga semakin menggambarkan adanya ambisi untuk menyingkirkan pegawai-pegawai berintegritas dengan segala cara. Hingga berita ini diunggah, Tempo belum mendapatkan tanggapan dari KPK soal tudingan ICW ini.

Mengutip PikiranRakyat-Depok di babe.news/7 Mei 2021 pukul 18.30, mantan juru bicara (Jubir) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Febri Diansyah tampak kembali membahas soal pertanyaan dalam tes wawasan kebangsaan (TWK) dari KPK.

Kali ini, Febri mengaku tak habis pikir terdapat pertanyaan yang lebih sensitif dari beberapa pertanyaan sebelumnya yang membahas soal pernikahan dan pacaran. “Begitu mengetahui ini, saya benar2 ga tau harus bcara apa.,” kata Febri Diansyah seperti dikutip Pikiranrakyat-Depok.com dari akun Twitter @febridiansyah pada Jumat, 7 Mei 2021.

Pertanyaan yang kali ini dibahas Febri Diansyah diarahkan kepada pegawai KPK perempuan, di mana pegawai ditanyakan kesediaan membuka jilbabnya atau tidak. Tampak geram, ia menanyakan wawasan kebangsaan seperti apa yang ingin dilihat pihak KPK dari pertanyaan semacam itu.

“Wawasan Kebangsaan apa yg ingin dilihat dr pertanyaan ke pegawai perempuan “apakah bersedia lepas jilbab?” Yah, saya berharap agar lembaga KPK, Kementerian PANRB dan BKN segera memberikan klarifikasi terkait pertanyaan TWK yang diajukan pada pegawai KPK.”

“Smg segera ada klarifikasi resmi KPK, Kemenpan & BKN ttg Tes Wawasan Kebangsaan ini,” ujar Febri Diansyah.  Kemudian di akhir utasnya seolah mengarah pada KPK, Febri membagikan sebuah artikel yang menyatakan bahwa Kemenpan RB dan BKN tidak terlibat dalam pembuatan soal tes wawasan kebangsaan untuk pegawai KPK.

Cuitan Febri Diansyah yang merasa heran dengan pertanyaan pada TWK KPK. Tangkap layar Twitter.com/@febridiansyah. Seperti diketahui bersama, isu tes wawasan kebangsaan (TWK) dari KPK belakangan ini hangat diperbincangkan publik.

Selain dianggap sebagai upaya pelemahan KPK, tes tersebut dikabarkan juga memuat pertanyaan-pertanyaan yang ganjil seperti adanya pembahasan doa qunut dan organisasi Front Pembela Islam (FPI).

Lalu beberapa pertanyaan lain yang cukup sensitif mengarah ke privasi pegawai juga dikabarkan hadir, yakni pertanyaan “Kenapa belum menikah?”, “Apakah masih punya hasrat?”, “Bersedia ndak jadi istri kedua?”, hingga pertanyaan “Kalo pacaran ngapain aja?”.

Kemudian kali ini muncul lagi kabar adanya pertanyaan sensitif dalam tes wawasan kebangsaan KPK yang menanyakan kesedian melepas jilbab bagi pegawai perempuan.

Pertanyaan-pertanyaan tersebut sontak menuai protes dan kritikan dari berbagai pihak lantaran kebanyakan dari pertanyaan yang muncul itu tidak relevan dengan tes wawasan kebangsaan yang seharusnya diberikan.

republika.co.id, Jakarta- Rabu 12 May 2021 06:01 WIB melaporkan, Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (Dewas KPK) mengaku belum menerima surat keputusan (SK) terkait penonaktifan 75 pegawai KPK. Puluhan pegawai berintegritas itu dinonaktifan menyusul status TMS berdasarkan TWK.

Kendati demikian, Dewas sudah menerima informasi terkait SK yang dimaksud. “Hingga saya pulang kantor sore tadi Dewas belum terima SK tersebut. Mungkin dalam perjalanan,” kata anggota Dewas KPK Syamsuddin Haris di Jakarta, Selasa (11/5/2021).

Anggota Dewas lainnya Indriyanto Seno Aji menilai keputusan pimpinan KPK terkait puluhan pegawai tersebut masih dalam batas kewenangan yang dimiliki. “Ini prosedur hukum yang wajar atau layak yang sama ditempuh oleh kementerian atau lembaga lainnya, demikian juga halnya dengan KPK (proper legal administrative procedures) karenanya memang diserahkan sementara kepada atasan langsung,” katanya.

Benarkah Kasta Brahmana Percaya 1 Tuhan? Ini Kata Al Biruni Tips Cegah Gangguan Pencernaan Saat Lebaran Wisata Gunung Bromo dan Semeru Tutup Selama Libur Lebaran.

Dia mengatakan, keputusan pimpinan KPK ini harus selalu dianggap dan selaras dengan prinsip Presumptio Iustae Causa. Dia menjelaskan bahwa setiap keputusan aparatur negara, termasuk keputusan pimpinan KPK yang dikeluarkan tersebut harus atau selayaknya dianggap benar menurut hukum dan per-UU-an yang berlaku.

“Karenanya dapat dilaksanakan lebih dahulu selama belum dibuktikan sebaliknya. Semua pelaksana organ KPK sebaiknya taat dan patuh hukum dan bila ada keberatan atas keputusan, ada mekanisme atau prosesual hukum untuk menguji keberatan tersebut,” katanya.

Penyidik senior KPK Novel Baswedan bersama 74 pegawai lain yang dinyatakan tak lolos asesmen tes wawasan kebangsaan (TWK) telah resmi dinonaktifkan. Atas keputusan tersebut Novel dkk menyatakan akan melawan.

“Nanti ada tim kuasa hukum dari koalisi sipil yang ingin melihat itu karena agak lucu juga, SK-nya kan SK pemberitahuan hasil asesmen tapi kok di dalamnya menyebut menyerahkan tugas dan tanggung jawab, bukan pemberhentian,” kata Novel dalam keterangannya, Selasa (11/5/2021).

“Yang jelas kami melihat ini bukan proses yang wajar, ini bukan seleksi orang tidak kompeten dinyatakan gugur tapi ini upaya yang sistematis yang ingin menyingkirkan orang bekerja baik untuk negara, ini bahaya. Maka sikap kami jelas, kami akan melawan,” tegas Novel.

Surat keputusan pimpinan KPK soal penonaktifan 75 pegawai itu dibuat tertanggal 7 Mei 2021 dengan nomor 652 Tahun 2021. Plt Juru Bicara KPK bidang Penindakan, Ali Fikri membantah terkait penonaktifan tersebut.

Dia mengatakan, pelaksanaan tugas pegawai yang bersangkutan selanjutnya berdasarkan atas arahan atasan langsung yang ditunjuk. Dia berdalih bahwa hal itu dilakukan guna memastikan efektivitas pelaksanaan tugas di KPK berkenaan dengan penanganan kasus yang tengah berjalan.

“Dapat kami jelaskan bahwa saat ini pegawai tersebut bukan nonaktif karena semua hak dan tanggung jawab kepegawaiannya masih tetap berlaku,” kata Ali Fikri. (net/smr)

 

sumber: WAGroup ANIES GUBERNUR DKI

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *