Buka Webinar HPN 2021, Menkumham Pesan Perlunya Peningkatan Literasi Digital untuk Media Mainstream

Menkumham Yasonna H Laoly saat membuka webinar. foto: dok PWI Jaya

Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) bekerjasama dengan Dewan Pers dan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) menggelar Seminar Nasional Hari Pers Nasional (HPN) 2021 dengan tema “Regulasi Negara dalam Menjaga Keberlangsungan Media Mainstream di Era Disrupsi Medsos” di Graha Pengayoman Kemenkumham, Jakarta, Kamis (4/2/2021).

semarak.co-Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Hamonangan Laoly menyampaikan pesan bagi kalangan pers dengan meminta media mainstream untuk tetap menjaga kualitas pemberitaan meski menghadapi tantangan teknologi di era disrupsi media sosial.

Bacaan Lainnya

Pemerintah akan terus mendukung dewan pers dan media mainstream untuk mempertahankan kualitas. Di tengah disrupsi media social Dewan Pers mungkin perlu membuat semacam standard bagi kualitas media kita, demi menjaga kualitas dan melawan hoaks.

Seminar yang dibuka Yasonna diikuti secara virtual oleh Kepala Kantor Wilayah Kemenkumham NTT Marciana Dominika Jone dari Lapas Ende. Sedangkan Kepala Divisi Administrasi Garnadi, Kepala Bagian Program dan Hubungan Masyarakat Mariana R. Manuhutu.

Lalu Kepala Sub Bagian Hubungan Masyarakat, Reformasi Birokrasi, dan Teknologi Informasi, Yustina Lema, Kabid Pelayanan Tahanan, Kesehatan, Rehabilitasi, Pengelolaan Benda Sitaan, Barang Rampasan Negara dan Keamanan, Wagiso, dan Ketua PWI Provinsi NTT Ferry Jahang dari Ruang Multifungsi Kanwil Kemenkumham NTT.

Dalam Keynote Speech-nya, Yasonna menyampaikan bahwa di Indonesia saat ini setidaknya ada minimal 160 juta orang yang mengakses media sosial melalui smartphone. Melalui media sosial ini, setiap hari masyarakat dijejali ratusan atau bahkan ribuan informasi.

“Indonesia saat ini setidaknya ada minimal 170 juta orang yang mengakses media sosial melalui smartphone. Ini adalah pasar yang sangat besar. Tetapi pada saat yang sama, media sosial ini juga dijejali ratusan atau bahkan ribuan informasi,” ujar Menkumham.

Ini bukan lagi gelombang informasi, lanjut Yasonna, sekarang sudah tsunami informasi. “tsunami informasi ini tidak sepenuhnya bermutu dan bahkan cenderung lebih banyak yang tidak bermutu. Seringkali terdengar perpecahan bangsa-bangsa akibat disinformasi atau hoax,” keluhnya.

Tingginya disinformasi atau hoax ini juga tidak lepas dari masifnya informasi yang tidak diiringi dengan kemampuan literasi digital, kemampuan analisa dan kecermatan dalam memilah informasi.

“Tugas Dewan Pers mendidik para media online, barangkali melalui regulasi nantinya perlu ada status, tanda tertentu yang dimiliki oleh orang untuk mempublish berita-berita. Karena sekarang persaingan informasi, ada orang yang hanya capture, buat berita kadang-kadang pembahasannya juga asal-asalan,” paparnya.

Banyak netizen yang sebenarnya tahu bahwa kebenaran informasi yang dibacanya masih diragukan dan bahkan salah. Namun, mereka tetap saja menyebarkan informasi itu. Ketika sadar bahwa informasi tersebut salah, justru enggan untuk menyebarkan klarifikasinya. Karena itu, literasi digital kedepan juga harus menjadi bagian dari pendidikan masyarakat.

Media mainstream, lanjut Yasonna, memang harus menyesuaikan diri dengan kondisi era digitalisasi sekarang. Namun, keberadaan regulasi yang disusun secara fair dan adil juga dibutuhkan untuk memberi kepastian hukum sekaligus membuat persaingan menjadi lebih berimbang.

Salah satu alternatif yang bisa difikirkan ke depan adalah konvergensi media. Konvergensi media adalah pengintegrasian atau penggabungan berbagai macam media ke dalam satu platform melalui teknologi digital.

“Di era digital ini, siapapun yang tidak mampu beradaptasi maka harus bersiap diri untuk tertinggal. Demikian juga dengan media. Media-media yang tidak siap dengan serbuan internet, dipastikan tidak akan mampu bertahan lama,” paparnya.

Karena itu perlu kreativitas media untuk tetap mampu bertahan, lanjut dia, salah satunya adalah dengan cara konvergensi media. Dalam periode lima tahun ini, Yasonna menyebut rancangan Undang-undang terkait konvergensi media tidak masuk dalam daftar Prolegnas.

Namun, Proglenas bisa dievaluasi pada pertengahan tahun jika memang kepentingan terkait konvergensi media mendesak. “Walaupun regulasinya kini belum ada, bukan berarti konvergensi media ditolak. Pasalnya, negara justru lebih diuntungkan jika membuka diri terhadap konvergensi media,” terang dia.

Kemenkumham sebagai kementerian yang membantu Presiden dalam penyelenggaraan pemerintahan negara bidang hukum terbuka lebar bagi siapa saja yang ingin memberikan masukan.

Yasonna berharap dari seminar ini, akan muncul ide-ide kreatif dan orisinal dalam mempertahankan eksistensi media-media mainstream yang ada dari disrupsi media sosial.

Ketua PWI Pusat, Atal S. Depari dalam sambutannya mengatakan bahwa tema yang dibahas dalam diskusi panel seminar nasional peringatan HPN 2021 menarik dan aktual.

Pihaknya berharap, hasil diskusi dapat ditindaklanjuti menjadi materi dalam Konvensi Nasional Media Massa pada 8 Februari mendatang. Kesimpulannya nanti akan disampaikan kepada Presiden. “Keberlangsungan media mainstream di era disrupsi medsos memang menjadi sebuah kegelisahan bagi pers,” imbuh Atal.

Terlebih, kata Atal, di tengah krisis ekonomi yang kini juga dialami media mainstream. Perkembangan pesat media baru memberikan guncangan dahsyat terhadap daya hidup media konvensional.

Di tengah kondisi ini, salah satu yang bisa diharapkan untuk menjadi income statement bagi media adalah kerjasama yang diatur win-win solution dengan media sosial seperti google dan facebook. Disamping konvergensi media, negara juga perlu hadir dengan regulasi yang tegas untuk menjaga keberlangsungan media mainstream.

“Perlu dirumuskan aturan main yang lebih transparan, adil, dan menjamin kesetaraan antara platform digital dan penerbit media. Dibutuhkan regulasi yang memungkinkan mekanisme koeksistensi antara media lama dan media baru yang saling membutuhkan,” jelasnya.

Kegiatan kemudian dilanjutkan dengan diskusi panel yang dipandu Presenter TV One, Brigita Manohara dan menghadirkan empat narasumber. Yakni, Wakil Menteri Hukum dan HAM, Edward O.S. Hiariej, Wakil Ketua Dewan Pers, Hendry Ch Bangun, Ahli Pers PWI, Wina Armada Sukardi, dan CEO JPNN, Auri Jaya.

Terkait disrupsi media social, Yasonna menjelaskan hal ini tidak hanya terjadi di Indonesia tapi dunia tengah menghadapi gonjang-ganjing akibar disrupsi media sosial. Kehadiran media social menjadi hal yang sangat diperhatikan pemerintah.

“Dari total pengguna internet di Indonesia 170 juta di antaranya pengguna media social ini. Pemerintah negara negara di dunia pusing mengelola medsos. Kami pernah bertemu antar pemimpin negara di Australia salah satunya membahas perkembangan medsos karena terkait terorisme,” ujarnya.

Menkumham menyatakan pengguna medsos di Indonesia sangat dahsyat mempengaruhi masyarakat dan pemerintah harus berupaya menyiasatinya ke arah yang lebih baik. Jumlah penduduk sebanyak 270 juta jiwa dengan pengguna handphone sebesar 378 juta.

“Ini menunjukkan netizen Indonesia sangat besar dan dipastikan terus meningkat terlebih karena pandemi. Angka angka tadi menghasilkan keuntungan tapi bisa pula melahirkan kerugian seperti yang terjadi dialami media mainstream,” ujarnya.

Terkait disrupsi media sosial yang mengancam media mainstream, Menkumham menganggap internet bisa memberi keuntungan tapi sekaligus ancaman kebangkrutan. Hal ini pun perlu menjadi perhatian. “Tidak hanya media tapi kita juga melihat pasar-pasar, market tradisional mengalami disrupsi yang perlu disikapi,” jelasnya.

Ketua Umum PWI Pusat yang memberikan sambutan menjelaskan tekanan disrupsi media sosial terhadap media mainstream terasa semakin kuat. Disrupsi ini muncul dengan semakin cepatnya penetrasi bisnis mereka melalui mesin pencari dan situs e-commerce yang memberi guncangan sangat besar pada media mainstream.

“Di tengah krisis karena pandemi ini, kehadiran disrupsi media social membuat media mainstream semakin terpukul. Jika keadaan ekonomi ini berlanjut saya tidak membayangkan apakah masih ada kemampuan media untuk hidup lebih lama,” jelasnya.

Salah satu bisa kita harapkan untuk menjadi penolong media, kata dia, kerjasama yang diatur. Misalnya dengan google dan facebook. Perlu dirumuskan aturan main yg transparan adil dan menjamin keseteraaan antara platform digital dan media mainstream.

“Diperlukan regulasi untuk koeksistensi antara media lama dan baru yang saling membutuhkan,” ujar Atal di hadapan Menkumham dan ratusan hadirin yang hadir secara langsung maupun virtual. (smr)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *