Asosiasi Produsen Synthetic Fiber Indonesia (APSyFI) mendukung Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) untuk merekomendasikan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) terhadap produk impor dumping yang terbukti merugikan industri lokal. Industri asing yang melakukan perdagangan curang memang harus dikenakan BMAD.
Sekretaris Jenderal APSyFI Redma Gita Wirawasta mengatakan, bagi Indonesia membanjirnya produk impor dapat berarti pasar Indonesia mempunyai keunggulan kompetitif. Baik secara demografis maupun daya beli. Hal ini dapat meningkatkan daya beli masyarakat untuk memperoleh barang dengan harga jual lebih murah. Namun nyatanya, ada beberapa perusahaan luar negeri yang melakukan praktek curang atau dumping. Kondisi ini dialami sendiri oleh perusahaan dalam negeri yang tergabung dalam APSyFI.
“KADI pun menyimpulkan praktik perdagangan curang ini telah mengakibatkan injury pada industri produsen barang sejenis di dalam negeri. Jika hal ini dibiarkan, artinya kita mentolelir praktik perdagangan curang yang dilakukan ekportir negara tertuduh di pasar domestik kita yang telah terbukti menekan kinerja perusahaan produsen sejenis,” tegas Gita saat ditemui di kantornya, Kamis (31/8).
Kondisi ini pun akan berakibat pada keruntuhan seluruh industri di sektor ini hingga mengganggu supply-chain pada struktur industri tekstil (khususnya) secara keseluruhan. Pihaknya sendiri sudah beberapa kali mengajukan petisi anti dumping kepada KADI, namun beberapa kali pula terganjal di Tim Pertimbangan Kepentingan Nasional (TPKN) serta di Kementerian Keuangan.
Ketika di KADI berdasarkan hasil penyelidikan dan investigasi, sudah menyatakan clear membuktikan adanya praktek dumping, yang merugikan industri dalam negeri, tetapi seringkali saat hasil ini diserahkan kepada TPKN keputusan rekomendasi itu pun dimentahkan.
“Biasanya karena pihak importir mekakukan lobby kuat yang menyakinkan bahwa produk yang diimpor adalah produk khusus, sehingga pandangan TPKN pun goyah. Hal ini memberikan kesan pemerintah membiarkan praktik perdagangan curang,” ujarnya.
Disinggung bagaimana peran Badan Kebijakan Fiskal (BKF), menurutnya, BKF adalah bagian dari TPKN. Kalau TPKN rekomendasi pengenaan BMAD pasti BKF jalankan. Jadi, di kedua lembaga ini harus memaksimalkan perannya masing-masing. “Terkadang kami dapat info beberapa hal yang sering dibahas di tim PKN padahal itu bukan ranah PKN. Seperti masalah legal standing kasusnya yang kadang selalu dibahas PKN, padahal legal standing adalah ranah wewenangnya KADI,” ungkapnya.
Maka tidak heran, jika ada perusahaan yang dinyatakan dumping oleh KADI, tapi di PKN tidak demikian. Otomatis, BKF tidak bisa mengeluarkan keputusan pengenaan BMAD pada perusahaan tersebut. Dia menjelaskan, negara-negara produsen dengan kapasitas besar biasanya terjadi oversuply yang juga sangat besar atau suatu keadaan overstock. Produk-produk ini harus dapat terjual.
Untuk memastikan bahwa produk-produk ini dapat laku terjual, produsen dari negara-negara lain ya harus ‘banting harga’ hingga di bawah harga di dalam negeri. Ini artinya, produsen-produsen tersebut sudah melakukan praktik dumping. Adapun salah satu negara yang sering menjadi sasaran tuduhan dumping adalah RRT.
Jadi, lanjut Redma, barang-barang dari China di banyak negara kena anti dumping. PET (Polyethylene Terephthalate) China di Amerika, Eropa dan Jepang kena anti-dumping. PSF (serat poliester) dan benang filament China di Turki, India dan Brazil kena anti dumping.
“Di kita PSF China kena, benangnya lolos. Pemerintah kita kurang responsif terhadap hal yang beginian. Urus anti dumping waktunya paling cepat 1,5 tahun. Tidak pernah berani kenakan BMAD sementara. Bahkan ketika sudah terbukti ada dumping, dengan lobi importir sana sini, akhirnya anti dumping lolos. Kalau KADI sudah putuskan terbukti dumping ya harusnya dikenakan BMAD,” tandasnya. Mengenai pengenaan BMAD, Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Suahasa Nazara saat dimintai konfirmasinya belum memberikan respon dan tanggapan.
Direktur Pengamanan Perdagangan Ditjen Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Pradnyawati menekankan, industri yang dirugikan atas praktik dumping dapat memohon dilakukan penyelidikan anti dumping atas produk impor. “Dan negara melalui Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) akan melakukan penyelidikan anti dumping untuk memastikan ada tidaknya dumping, ada tidaknya kerugian dalam negeri. Di sinilah negara hadir,” kata Pradnyawati.
Jika akhirnya terbukti, lanjutnya, KADI pada akhirnya akan mengeluarkan rekomendasi bea masuk anti dumping (BMAD) yang harus dikenakan agar produk dalam negeri Indonesia dapat bersaing dengan bea masuk anti dumping. Kementerian Perdagangan sendiri, katanya, siap mendampingi untuk kasus-kasus dumping yang berpotensi merugikan industri dalam negeri. BMAD adalah instrumen trade remedy untuk melidungi industri dalam negeri yang timbul akibat praktek dumping. (lin)