APPBI Ungkap Penghambat Laju Industri Mal

Pengelola pusat perbelanjaan yang tergabung dalam Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) mengungkapkan sejumlah alasan yang dianggap menghambat laju pertumbuhan industri mal. Ketua Umum APPBI, Stefanus Ridwan, menjelaskan salah satu yang membuat pertumbuhan industri mal tak mengalami perkembangan pesat ialah, karena lamanya return of investment atau balik modal, dalam berbisnis pusat perbelanjaan modern itu.

“Sekarang return of investment kita sukses saja, sukses banget 10 tahun. nah sukses atau sedang” pasti di atas 12 tahun. jadi saya kira kenapa bisa begitu?,” ujar Stefanus, di Rakornas APPBI di Hotel Sheraton Grand, Jakarta, Senin (8/5).

Walaupun dirinya tak merinci berapa persen perbandingan peningkatannya, Stefanus hanya mengatakan, perkembangan industri mal sudah tidak sepesat dulu. Dirinya hanya menjelaskan, bahwa sekitar 10 hingga 20 tahun yang lalu, pebisnis mal tak terlalu lama untuk bisa balik modal. “Tahun 90-an itu semua pusat belanja empat tahun bisa BEP (Break Event Point/balik modal), kok sekarang bisa dua kali lipat bisa lebih, sebab penyewa kita bayarnya semakin lama semakin sedikit,” terangnya.

Artinya, saat ini pengusaha mal butuh waktu 8 tahun lebih untuk bisa balik modal. Lamanya waktu balik modal, menurut Stefanus, ialah karena pajak yang dikenakan terhadap bisnis pusat perbelanjaan pun kian memberatkan pengusaha mal. “Jadi, dan pajaknya makin lama makin berat. Dulu kita pajak buat mal itu pajak corporate biasa, tergantung untungnya berapa. Kemudian sekarang, enggak peduli mal untung atau rugi, PPh-nya (pajak penghasilan) final,” terangnya.

Tak hanya pajak penghasilan, ia mengatakan pajak untuk iklan pun angkanya sudah terlalu tinggi. Kemudian, ada pajak-pajak lainnya lagi yang ditanggung pengelola pusat belanja. “Dulu (PPh) sekira pajaknya 4%, sekarang 10%. Pajak iklan jangan tanya, pajaknya selangit. Dulu kita enggak perlu bayar kan kalau ada musik di mal, sekarang ada yang harus kita bayar,” terangnya.

Ditambah lagi, perkembangan teknologi yang kian meningkat saat ini. Bisnis belanja online, atau e-commerce juga sedikit banyak mempengaruhi minat masyarakat untuk berbelanja langsung ke pusat perbelanjaan. Stefanus mengakui, perkembangan e-commerce juga mempengaruhi pusat perbelanjaan modern yang berbasis offline.

“Kalau kita lihat online dan offline, katanya kita offline, order getting lost. Minat masyarakat datang atau belanja di pusat perbelanjaan itu tidak menurun. Cuma (online) memang mempengaruhi. Online Transaksinya masih jauh di bawah 1%, lebih rendah cuma memang kenaikannya pesat sekali,” tukasnya.

Sementara kehadiran e-commerce atau toko online yang kian marak membuat banyak orang mulai beralih dan mengubah cara belanja. Bagi kebanyakan orang, belanja online lebih mudah dan efisien. Pertumbuhan toko online di dalam negeri cukup pesat. ini terlihat dari pertumbuhan sektor informasi dan komunikasi di kyartal I-2017 yang mencapai 9,01%. Faktor pendorongnya, naiknya angka pengguna internet dan transaksi belanja online. Menjamurnya toko online membuat toko-toko konvensional bahkan pusat perbelanjaan modern seperti mal terancam ditinggal pelanggan.

Menteri Perdagangan, Enggartiasto Lukita, mengatakan kondisi pusat perbelanjaan modern seperti mal masih diminati oleh masyarakat. Namun, pengusaha mal tetap menyikapi keberadaan industri e-commerce yang tumbuh dengan signifikan. “Tapi sekali lagi saya berikan early warning untuk diri kita masing-masing, jangan abaikan online. Karena e-commerce itu, yang jadi persoalan adalah mereka belanja itu tidak bayar pajak, sedangkan mereka datang sudah bayar pajak. Kemudian bayar sewa yang mahal, jadi itu terjadi persaingan,” kata Enggar, di tempat yang sama.

Enggar mengatakan, potensi pengembangan pusat perbelanjaan modern masih besar. Salah satu alasannya, jumlah penduduk Indonesia yang cukup besar, dan perilaku masyarakat yang kerap berkumpul di suatu tempat alias ‘nongkrong’. Oleh sebab itu, Enggar mengatakan, pihak pengusaha perlu melakukan berbagai inovasi yang kreatif agar dapat menarik minat masyarakat. “Yang menarik di Indonesia ini kebutuhan mereka (masyarakat) untuk hangout cukup besar kemudian pengusaha kreatif sekali jadi dibuat berbagai kegiatan, ada juga kuliner dan lain sebagainya,” katanya. (dtf/lin)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *