Oleh Anonym *
semarak.co-Sebagian besar masyarakat mengatakan, ada 2 hal yang jika terjadi maka Rumah Tangga tersebut terbilang sukses:
1) Punya anak;
2) Banyak harta.
Bukan. Bukan itu. Pertama, Rumah Tangga Aisyah Radhiallaahu anha tidak dikaruniai anak, lalu apakah kita akan berkata Suami-Isteri tersebut tidak harmonis? Tidak bahagia?
Kedua, Rumah Tangga Fatimah Radhiallaahu ‘anha sangat minim harta. Sang Istri pernah menahan laparnya selama beberapa hari hingga kuninglah wajah beliau. Lalu, apakah kita berani mengatakan bahwa Rumah Tangga mereka hancur berantakan? Tidak. Bahkan mereka adalah dijamin masuk Surga اَللّهُ
ماشاء الله
Benar, sebagai Isteri jangan bermudah-mudah menuntut kalimat perpisahan hanya karena kedua sebab di atas. Sebab ummahatul mukminin tidak pernah memberatkan suaminya dengan perkataan tercela.
Juga, sebagai seorang suami jangan bermudah-mudahan mengatakan “aku tak punya harta, aku tak pantas untukmu. Duhai Isteriku. Taukah para Suami, kalimat tersebut justru enggan didengar oleh Istri kalian.
Sebab para sahabat tidak tercermin dalam diri mereka sifat keputus-asaan. Tolak ukur keberhasilan Rumah Tangga seorang Muslim ialah:
Ketika setelah menikah, bertambah taqwa mereka kepada اَللّهُ
Ketika setelah menikah, bertambah amalan-amalan sunnah mereka
Ketika setelah menikah, bertambah kesabaran mereka di tiap taqdir اَللّهُ
Ketika setelah menikah, bertambah ghiroh mendatangi majelis2 ‘ilmu اَللّهُ
Pun, setelah menikah, bertambah takutlah mereka mengingat hari dimana mereka akan terpisah dan menghadap sidang Rabbnya yang paling adil.
Bertambah berharaplah mereka kepada Rabbnya agar bisa dikumpulkan lagi dalam Jannah اَللّهُ tanpa hisab بارك الله فيكم و اهلكم
Anak bukan jaminan hidup kita Bahagia. Sangat menginspirasi buat saya kisah ini. Kisah nyata untuk renungan yang dikemas dengan judul: #Hancurnya_Hati_Seorang_Ibu
Di Kabupaten Rokan Hulu, Riau ada seorang janda karena suaminya telah meninggal dunia. Dengan gajinya sebagai GURU, dia membesarkan anak laki-laki satu²nya seorang diri. Anaknya sangat patuh pada orangtuanya.
Dengan kerja keras, akhirnya, sang Ibu berhasil menyekolahkan anaknya itu sampai ke Amerika Serikat. Setelah tamat kuliah, anaknya bekerja di Amerika, beli rumah, dan menikah, serta telah dikaruniai seorang anak, dan hidup berkecukupan serta harmonis.
Ibunya masih tetap tinggal di Pasir Pengaraian meneruskan pekerjaannya, seorang diri. Namun dia berencana: setelah pensiun nanti, ia ingin pindah ke Amerika, berkumpul dengan anak dan menantunya, untuk menikmati masa tuanya.
Tiga bulan sebelum tiba masa pensiun, dia menulis surat kepada anaknya, memberitahukan niatnya untuk berkumpul bersama-sama di Amerika. Dalam angan-angannya, setelah membesarkan anaknya, maka di hari tua, anaknya pasti akan menjadi sandaran hidupnya.
Dalam Khayalannya, Saudara-saudara dan kerabat-kerabatnya pasti akan kagum atas kesuksesannya dalam mendidik anak, dan ia akan bahagia di hari tuanya. Sambil menunggu surat balasan dari anaknya, dia menyelesaikan semua masalah dan aset-asetnya di Pasir Pengaraian untuk siap-siap pindah ke Amerika.
Tibalah surat balasan dari anaknya, ternyata di dalam amplop terselip selembar cek USD30 ribu dan selembar surat yang berbunyi, “Mama, hasil diskusi saya dan istri, kami putuskan kami tidak siap menerima mama untuk tinggal bersama kami di Amerika, karena adat istiadat di sini.”
Jika mama berpikir bahwa mama sudah berjasa telah mengasuh saya, maka berdasarkan perhitungan kurs sekarang, kira-kira mama sudah mengeluarkan biaya lebih kurang USD20 ribu (biaya mengasuh anak, hingga saya bisa seperti sekarang).
Karenanya saya kirim cek USD30 ribu (saya lebihkan 10 ribu USD) untuk Mama dengan harapan mama tidak lagi menulis surat kepada saya. hancur luluh hatinya setelah membaca surat itu. tak disangka anaknya akan berbuat seperti itu, ingin rasanya ia untuk bunuh diri.
Akhirnya dia merenung untuk menerima kenyataan maka sadarlah dia, dan bangkitlah semangatnya. Dia gunakan uang USD30 ribu itu untuk biaya keliling dunia. Dia senang bisa melihat indahnya alam di dunia ini.
Lalu ditulisnya sepucuk surat untuk anaknya: Anakku, kamu mau mama tidak menulis surat lagi untuk kamu, maka anggaplah surat ini sebagai pelengkap kalimat yang kurang dari surat-surat mama sebelumnya. Mama telah terima ceknya dan telah menggunakannya untuk biaya tour keliling dunia.
Dalam perjalanan tour itu, tiba-tiba mama merasa harus berterimakasih kepada kamu nak. Terimakasih karena kamu telah mengajarkan mama untuk mengikhlaskan, melepaskan, dan melihat dengan nyata tentang kasih sayang keluarga, sahabat, dan pasangan.
Dalam kehidupan manusia, semua yang di dunia itu tiada yang abadi. Semuanya sedang dalam proses perubahan. Jika mama tidak mengikhlaskan atau masih merasa menderita karena perlakuanmu terhadap mama, maka mungkin dalam setahunan ini mama telah meninggal dunia dikarenakan bunuh diri.
Dan dalam neraka akan bertambah seorang setan yang mati penasaran dan mama tidak mau jadi seperti itu. Ketidakberperasaanmu telah menyadarkan bama bahwa hubungan sesama manusia hanya karena takdir untuk berkumpul yang kemudian dapat berpisah. Semuanya tiada yang abadi, tiada yang kekal.
Mama sekarang sudah menganggap tidak punya anak, hati mama sudah bebas, mama pun sudah tidak punya rasa kekhawatiran lagi. Mama sudah ikhlas, mama sudah hilangkan semua sakit hati.
Pepatah mengatakan: rumah orangtua selamanya adalah rumah anak, tetapi rumah anak bukanlah rumah orangtua. Melahirkan anak merupakan tugas yang wajib dilaksanakan. Namun mengasuh anak adalah tugas sosial karena terkadang harus banting tulang untuk memenuhi kebutuhan anak.
Tapi mengandalkan anak di usia senja merupakan kesalahan fatal. Pelajaran baik untuk direnungkan agar kita tidak terlalu mengharapkan balas budi dari anak dan saudara di hari tua. Semoga bermanfaat, salam bahagia di hari tua bagi yang sudah pension. Inilah Kodrat: Anak adalah titipan.
*) artikel ada dua dari WAGroup yang sama. Karena sama-sama viral menjadi pesan berantai masing-masing artikel, maka redaksi menyatukannya.
sumber: WAGroup PA Al-Wasliyah P.Brayan (postJumat15/10/2021/irfanismaya)