by Zeng Wei Jian
semarak.co– Menteri Pertahanan (Menhn) Prabowo Subianto ke Amerika. A historical earthquake. China rising mengharuskan Amerika kompromi. NGO lokal kehabisan akal. Dipake secara minimalis. Sebagai alat tekan.
Suksesi 2024. Indonesia tetap Pancasila. Ngga ke kanan-kiri. Ngga jadi negara agama nor komunis.
Amerika beri sinyal; Prabowo Subianto orangnya. Bukan Gatot Nurmantyo.
Amerika anti segalanya. Ya anti komunis, radikals, teroris, fasis, rasisme, kingdom, dictatorship. Semuanya. You name it. Apa pun yang ga menguntungkan interest-nya pasti tidak disukai. Ga ragu mengganti rezim demokratis dengan junta militer.
Amerika punya long history mengendalikan pemilu di banyak negara. Menurut Dov H. Levin, between 1946-2000, USA mengintervensi 81 pemilu negara asing. Sedangkan Uni Soviet-Russia ikut campur di 36 elections.
Intervensi Russia memenangkan Donald Trump. CIA, MI-6 & German’s Bundesnachrichtendienst menyakini itu. “Moscow is trying to destabilize Western democracies, Cold War 2.0,” kata Tim Weiner, pemenang Pulitzer Prize for his work on clandestine national security programs.
Menurut Tim Weiner di Buku “Legacy of Ashes: The History of the CIA”, intervensi Amerika dalam pemilu dimulai beberapa bulan setelah CIA dibentuk. Modusnya clandestine tactics. Strategi menahan Soviet Union.
Operasi pertama CIA di Pemilu Italia 1948. CIA mendukung Christian Democrats pro-America mengalahkan socialist Democrats pro-Moscow. Sukses itu membuat Amerika ketagihan.
Lesson #1 Italia meyakinkan CIA mengadopsi formula yang sama; clandestine dan using millions of dollar to run influence campaigns. Formula itu diterapkan di Pemilu Guatemala, Indonesia, South Vietnam, Afghanistan, and beyond.
“The president of Afghanistan after the American invasion post-9/11 was a paid CIA agent, Hamid Karzai,” kata Tim Weiner. “The list is very long, and it’s part of what the CIA does in political warfare.”
Agaknya, Amerika satu suara dengan nasionalis Indonesia. Ngga akan back-up extrimis sayap kanan & kiri. Amerika memposisikan China sebagai “Competitor” di Era Great Power Competition.
Level 2 tingkat di bawah Doktrin “War on Terror”. “Competition” naik menjadi “Conflict” dan baru “War”.
To a certain degree, Amerika butuh China to balancing agresifitas Russia. Dinamik 3 negara. Love-n-hate relation.
Kepentingan Amerika akan terganggu bila Anti China meluber menjadi Gerakan Rasisme. Taipan Tionghoa sejatinya adalah Proxy Amerika di Nusantara. James Riyadi diketahui sebagai donatur Bill Clinton.
Landscape politik macam begini mengharuskan Amerika mencari figur kuat & nasionalistik. Figur yang bisa menetralisir gerakan theocratic state, ngga rasis, pro buruh & market, ada nuansa socialistic-nya dan ngga bisa distir Russia, China & Eropa. Tetapi ngga juga memusuhi negara-negara tersebut. Seseorang yang tegak lurus & tegas.
N saya merasa ngga ada figur lain selain Menhan Prabowo Subianto yang punya kualifikasi tersebut.
THE END