Seorang karyawan perusahaan rekanan PT Perikanan Nusantara (Perinus) Abdul Maliq Thalib (36) melakukan aksi mogok makan dan tidur di emperan kantor PT Perinus bersama istri, tiga anaknya, dan kawan-kawan, di depan kantor Perinus, mulai Rabu (26/8/2020).
semarak.co– Menurut Maliq, perusahaan BUMN itu telah menunggak pembayaran pekerjaan yang dilaksanakan perusahaan tempatnya bekerja, yakni pembangunan restoran, dengan nominal tunggakan sebesar Rp2,6 miliar. Tunggakan itu sudah berjalan selama 16 bulan.
Abdul mengaku mendapatkan tender membangun Restoran Anaya di Jalan Surya Nomor 8 Senopati, Jakarta Selatan. Adapun tender tersebut terkait kontrak pengadaan interior pada Anaya Resto yang dikerjakan pihaknya dan rekanan.
Ia mengklaim, dalam kontrak kerja, Perinus adalah pihak yang harusnya membayar sebesar Rp2,6 miliar atas proyek pekerjaan tersebut. Adapun rinciannya, terdiri dari Rp1,6 miliar uang yang harus dibayarkan kepada PT Debitindo Jaya dan Rp1 miliar kepada PT Nina Proganda Putri.
Ia merupakan kontraktor di PT Debitindo Jaya sementara PT Nina Proganda Putri adalah kontraktor rekanannya. “Sudah 16 bulan sejak pekerjaannya membangun interior pada restoran itu rampung, namun pembayaran senilai Rp2,6 miliar itu belum juga sya terima,” ungkapnya di emperen gedung Perinus, Selasa (25/8/2020).
PT Perinus, kata dia, belum membayar uang pelunasan terhadap proyek yang telah diselesaikan lebih dari satu tahun yang lalu sebesar 80 persen dari nilai kontrak. Abdul menceritakan awal mula ia ikut lelang dalam pengadaan interior di proyek restoran tersebut.
Menurutnya awalnya tak ada permasalahan dan proyek dapat diselesaikan. Namun pada saat proses pembayaran, tertunda karena ada beberapa sebab hingga saat ini belum dibayarkan. “Pada prinsip pekerjaan kami sudah selesai dan kami melapor ke konsultan pengawas. Selesai dari itu, saya minta dibayarkan karena sudah selesai,” katanya.
Dari situ, pihak konsultan pengawas kembali diutus bersama dengan tim internal dari PT Perinus untuk kembali melakukan pemeriksaan. Pemeriksaan yang dimaksud untuk menghitung bobot kerja. “Diperiksa bersama-sama dihitung bobot kerjaannya dituangkan dalam sebuah laporan dan diparaf di situ. Disepakati untuk dibayarkan,” katanya.
Namun setelahnya, ada pergantian direktur utama. Dari situ, ia mengaku menerima informasi bahwa proyek pekerjaan restoran itu belum dapat izin dari Kementerian BUMN. Abdul pun kemudian protes dan menyatakan tak ada klausul perizinan itu dalam kontrak yang ia tandatangani.
“Pertanyaan saya mudah itu tidak ada di klausul kontrak ada atau tidak izin dari Kementerian BUMN. Karena kami berkontak dengan PT Perikanan Persero bukan kementerian,” kata dia.
Akhirnya pihaknya diminta menunggu pemeriksaan BPKP. “Dijawab PT Perikanan Nusantara belum bisa dilakukan karena ada audit BPKP, tapi sampai saat ini belum dibayar juga,” sambungnya.
Abdul Malik Thalib sudah kehilangan cara dan menjurus patah arang menghadapi Perinus. Pasalnya, ia sebagai penanggung jawab pekerjaan pembangunan Restoran Anaya di kawasan Senopati, Jakarta Selatan, harus menanggung penderitaan hingga hari ini, Rabu (26/8/2020).
Selama satu setengah tahun, ia mondar mandir menagih, tapi tidak ada perhatian atau solusi. Bahkan keadaan semakin memburuk. Untuk mengerjakan proyek Anaya Resto, perusahaannya harus meminjam dana ke Bank Banten. Dan Abdul adalah orang yang bertanggung jawab juga untuk hal itu.
Dan ketika BUMN Perikanan Nusantara diduga terjebak gagal bayar, Abdul menjadi orang yang dikejar-kejar oleh penagih hutang dari perbankan. Namun hingga saat ini tetap saja apa yang menjadi hak saya tidak dibayarkan Perinus.
Oleh sebab itu, demi mendapat perhatian para pejabat BUMN Perikanan Nusantara hingga membuat mereka membayar hutang tersebut, Abdul Malik bersama isteri dan tiga anaknya, Sechan berusia 11 tahun, Syafiq berusia 7 tahun dan Sabira, 4 tahun, menggelar aksi Mogok Makan di depan kantor Perinus, kawasan KH Hasyim Ashari, Jakarta, Rabu (26/8/2020).
Abdul menambahkan, “Kontrak kami sah, kami lelang bukan penunjukan langsung. Dan pekerjaan ini legal secara hukum. Tapi kami yang mau dikorbankan ini. Kalau memang begitu, kepalang tanggung, biar kami sekaligus jadi korban di sini,” tandasnya.
“Saya dan rekan saya bapak Wondo dari PT Mina Arta, modal kami kan harus berhutang ratusan juta rupiah dari Bank Banten. Padahal selesai pekerjaan kami itu sudah diperiksa oleh Konsultan Pengawas mulai Februari sampai Mei. Lalu kami tanyakan bagaimana tagihan kami, tetapi tidak ada tanggapan sampai sekarang,” terang Abdul.
“Akibatnya saya berhutang sana sini dan hidup saya harus berpindah-pindah karena dikejar para penagih hutang. Tidak hanya itu, sekarang seluruh anak saya juga sudah berhenti sekolah. Penderitaan saya semakin bertambah karena situasi Covid-19 ini membuat hidup saya semakin terjepit,” tuntasnya.
Sayang saat info ini diteruskan ke pihak Perinus bagian humas melalui pesan singkat di media whatsapp (WA) tidak dapat balasan atau belum merespon hingga berita ini diturunkan. (net/smr)