Wakil ketua DPR Fadli Zon turut berkomentar soal rilis 200 nama penceramah atau mubaligh yang direkomendasikan Kementrian agama (Kemenag). Politisi Partai Gerindra ini khawatir hal ini hanya akan menguatkan segregasi (pemisahan kelompok ras atau etnis secara paksa) yang ada di tengah masyarakat.
“Di tengah pluralitas pemahaman dan keyakinan keagamaan yang ada di tengah masyarakat Muslim Indonesia, Kemenag mestinya bisa menjadi moderator yang bijak. Dengan mengeluarkan daftar 200 nama penceramah yang direkomendasikan dari 200 juta populasi penduduk Muslim, ini bukanlah sebuah kebijkan yang mudah diterima. Kebijakan semacam itu cacat secara metodik,” ujar Fadli dalam rilisnya di Jakarta, Minggu (20/5).
Jangankan untuk level Indonesia, Fadli menilai, di Jakarta yang memiliki ribuan masjid, mushola, dan majlis taklim, ada ribuan ustad dan mubaligh di sana. “Katakanlah jumlah mubaligh atau ulama itu sekitar 5 persen dari populasi muslim yang 200 juta, maka jumlahnya ada sekitar 10 juta orang. Bagaimana Kemenag mengeluarkan rilis 200 nama dari 10 juta orang tadi? Bagaimana menyaringnya?,” sindirnya.
Maka, kata Fadli, jangan salahkan jika kemudian publik mencurigai rilis daftar penceramah itu sebagai bagian dari sensor terhadap para penceramah atau ulama yang tidak sehaluan dengan pemerintah. Fadli menyayangkan, dalam daftar itu tidak tercantum sejumlah nama mubaligh terkemuka yang dikenal kritis terhadap pemerintah. “Kebijakan semacam ini hanya akan kian mengeraskan segregasi yang ada di tengah masyarakat saja,” katanya.
Menurut Fadli, jika pemerintah ingin membidik penceramah yang menyusupkan paham-paham radikalisme atau intoleransi dalam ceramahnya, mestinya yang bersangkutan dibidik saja langsung menggunakan perangkat hukum yang berlaku.
Tapi, ia mengingatkan, jerat hukum semacam itupun mestinya jangan menjadi pilihan terakhir yang diambil oleh pemerintah. Pilihan pertama kata dia, mestinya tetap pada bagaimana merangkul dan membangun dialog. “Jangan sampai muncul kesan bahwa semua pihak yang berseberangan dengan pemerintah kemudian dianggap sebagai radikal dan intoleran,” Fadli menegaskan.
Fadli menilai, framing semacam itu berbahaya, karena akan memperuncing konflik, dan bukannya membangun dialog, rekonsiliasi dan saling pengertian. “Kita saat ini sedang berdiri diambang krisis ekonomi. Semua celah yang bisa memicu terjadinya konflik sebaiknya segera kita tutup, dan bukannya malah kita eksploitasi,” katanya.
Minta Dikeluarkan dari Daftar
Dari 200 nama mubaligh itu, Wakil Ketua Komisi Dakwah MUI Pusat Ustadz Fahmi Salim justru meminta Kemenag untuk mencabut namanya dari daftar tersebut. Menurutnya langkah Kemenag mencantumkan dirinya ke dalam 200 daftar mubaligh dapat menimbulkan rasa kecurigaan diantara para pendakwah.
“Saya minta saudara Menteri Agama mencabut nama saya dari daftar tersebut, karena berpotensial menimbulkan syak wasangka, distrust diantara para mubaligh dan dai,” tutur Fahmi Salim dalam siaran persnya, Jakarta, Sabtu (19/5).
Ia bahkan menegaskan tidak mau terbawa dalam hal yang menimbulkan kegaduhan yang kontraproduktif bagi dakwah Islam di tanah air. “Perpecahan di tengah umat, dan saya tidak ingin jadi bagian dari kegaduhan tersebut, yang kontraproduktif bagi dakwah islam di tanah air,” tambahnya.
Anggota Komisi Pengkajian dan Penelitian MUI Pusat itu menjelaskan, bahwa dirinya memiliki idealisme yang tidak bisa ditawar pihak lain. Terlebih, kecintaannya terhadap NKRI tidak perlu ditulis dalam suatu daftar.
Kementerian Agama (Kemenag) melansir pengumuman penting. Yakni melansir 200 nama mubaligh atau penceramah yang dinilai memenuhi kriteria. Meski belum final daftar nama tersebut, namun hal ini menuai kecaman publik.
Wakil Sekjen DPP Partai Amanat Nasional (PAN) Saleh Partaonan Daulay misalnya yang menganggap banyak keganjilan atas rekomendasi tersebut. “Kementerian agama tidak semestinya mengeluarkan rekomendasi 200 nama penceramah yang dinilai layak untuk berceramah di Indonesia. Ada banyak keganjilan dalam rekomendasi tersebut,” kata Saleh dalam keterangannnya, Sabtu (19/5).
Selain jumlah yang sangat sedikit dibanding jumlah penduduk muslim Indonesia, tiga indikator penentu 200 nama itupun masih potensial dipertanyakan. “Misalnya, indikator pertama adalah memiliki kompetensi tinggi kepada ajaran agama Islam. Yang menguji ini siapa? Apakah ada seleksinya? Jangan sampai ada yang mengatakan bahwa ada ulama yang ilmunya jauh lebih tinggi dari pak Lukman Hakim Saifuddin, Menag kita, tetapi namanya tidak masuk dalam daftar itu,” ucap Saleh.
Sementara itu, indikator kedua tentang pengalaman dan indikator ketiga tentang komitmen kebangsaan dinilai sangat relatif. “Apakah orang yang sering ceramah sudah dianggap berpengalaman sekaligus memiliki komitmen kebangsaan? Apa tolok-ukur untuk menentukan seseorang memiliki komitmen kebangsaan? Ini perlu penjelasan lebih lanjut dari kementerian agama,” cetusnya.
“Kalau demikian, rekomendasi itu untuk apa? Sekali lagi, tidak jelas. Malah pada titik tertentu, bisa mendegradasi peran dai-dai yang banyak bertugas di pelosok tanah air. Padahal, mereka bertugas dengan ikhlas walau tidak masuk dalam daftar rekomendasi itu,” tegas Saleh yang juga mantan wakil Ketua Komisi VIII DPR yang membidangi agama.
Tidak hanya Ustad Abdul Somad, sejumlah nama ulama yang tergabung dalam Persaudaraan Alumni 212, Ustad Bakhtiar Nasir dan KH Slamet Maarif juga tak masuk dalam daftar 200 nama penceramah atau dai rekomendasi Kemenag. KH Slamet Maarif selaku Ketua Umum PA 212 mengaku tak mempermasalahkan namanya tak masuk dalam daftar Dai tersebut. Baginya, PA 212 adalah milik umat dan bukan dibawah kendali pemerintah. “Kita ini dai umat bukan dai pemerintah. Kami biasa saja, tak mau ambil pusing atas daftar itu. Saya dan sejumlah dewan Penasihat PA 212 tak ada yang dilirik pemerintah,” ucapnya pada INDOPOS, Sabtu (19/5).
Menag Harus Jelaskan
Dai’ DPP Persaudaraan Alumni 212, Habib Novel Bamukmin buka suara. Menurut Novel, keputusan yang dilakukan Kemenag seperti mengkotak-kotakan mubaligh. Hal ini justru akan menimbulkan antipati publik.
“Iya kami sangat prihatin tentunya dengan adanya rilis 200 mubaligh itu. Kasihan ulama yang baik masuk daftar itu menjadi korban korban Kemenag dalam pengkotak kotakan mubaligh yang justru nanti tidak dapat simpati umat,” ujar Sekretaris Jenderal (Sekjen) FPI DKI, Habib Novel Bamukmin melalui pesan singkatnya, Jakarta, Sabtu (19/5).
Bahkan, Novel mendukung langkah yang diambil oleh Ustadz Fahmi Salim, yang meminta Kemenag mengeluarkan namanya dari 200 daftar mubaligh tersebut. Novel menilai, ini ada bentuk protes dari ulama yang tidak mau dikotak-kotakan.
“Nah benar kan kasian ulama yang tidak mau dikotak kotakan. Itulah ulama yang istiqomah mengayomi umat tanpa harus masuk dalam daftar rilis 200 mubalig, dan lagi lagi kita menyaksikan ulah Kemenag yang dipimpinya gagal paham lagi dan ini sangat kental aroma diskriminasi politiknya,” terang Novel.
Ketua PP Muhammadiyah bidang hukum dan HAM M Busyro Muqoddas, mengatakan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin harus menjelaskan secara terbuka mengenai langkah mengeluarkan daftar 200 penceramah atau pendakwah yang direkomendasikan. Penjelasan itu harus dilakukan dalam sebuah konprensi pers yang tujukan kepada publik.
‘’Saya sudah baca daftar itu. Maka saya sekarang berharap menteri agama harus jelaskan ke publik dalam bentuk konprensi pers mengenai langkah itu. Apakah langkah itu sudah melalui kajian metodologi yang bertanggungjawab, baik dari aspek kejujuran, obyektifitas, serta terhindar dari kepentingan politik sesaat,’’ kata Busyo kepada Republika.co.id, (19/5).
Menurut itu, adanya pengumuman daftar pendakwah itu pada kenyataannya di kalangan umat telah menciptakan langkah diskriminatif. Terutama bagi mereka yang mempunyai proyeksi dan bercita-cita luhur menjadi ustaz atau mubaligh. Dan lebih dari itu, langkah menteri agama ini berpotensi merusak ukhuwah Islamiyah.
“Langkah Menteri Agama Lukman Hakim mengumumkan daftar ini juga berpotensi membentuk opini yang menyesatkan bagi umat Islam, di samping merugikan para mubaligh lain yang tidak ada dalam daftar,’’ tegasnya.
Mantan Ketua KPK lebih lanjut mengatakan, sebagai seorang sahabat dari Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, pihaknya menyarankan agar pengumuman daftar pendakwah tersebut ditinjau ulang. Hal itu terutama untuk menghilangkan kesan bahwa langkah tersebut bermuatan pesanan dari pihak-pihak tertentu. (dari berbagai sumber/lin)