Dari G30S PKI ke Gerakan 30 Sendok

Ketua LKBPH PWI HMU Kurniadi. Foto: dok humas PWI Pusat

Oleh HMU Kurniadi *)

Semarak.co – Sejarah seringkali ditulis dengan tinta darah dan air mata. Namun, andai ia ditulis ulang dalam bentuk kekinian, mungkin peristiwa 30 September 1965 tidak tercatat sebagai tragedi, melainkan tragedi kedunguan.

Bacaan Lainnya

Konon, pada malam itu para prajurit Cakrabirawa bergerak ke rumah para jenderal. Namun dalam versi kekinian, bukan Bapak dipanggil Presiden ke Istana yang disampaikan melainkan, “Bapak diminta segera mencicipi Makan Bergizi Gratis (MBG) dari program baru negara.”

Bayangkan, tengah malam pintu rumah diketuk keras. Ibu rumah tangga panik, anak-anak terbangun, sang jenderal keluar dengan wajah tegang. Tetapi yang datang justru prajurit dengan nampan nasi kotak berlabel Gratis dari Negara. Alih-alih senjata, yang dibawa adalah sendok dan kotak lauk.

Alih-alih penculikan, yang terjadi adalah pemaksaan untuk menghabiskan lauk yang sudah terlanjur dipesan tender. Maka sejarah pun menulis bukan Gerakan 30 September (G30S) melainkan Gerakan 30 Sendok (G30S).

Sebab, setiap jenderal yang disatroni diwajibkan menghabiskan 30 sendok nasi dan lauk pauk sebagai bukti loyalitas kepada program gizi nasional. Namun, tragedi tetap terjadi. Sebagian makanan ternyata basi. Bukan darah yang tumpah melainkan perut-perut yang mules dan paling parah adalah keracunan makanan.

Dari fiksi ini lahir sebuah teori yang lebih berbahaya daripada kudeta: Teori Asal Bapak Senang (ABS). Laporan dari bawah selalu berbunyi manis: “Makan Bergizi Gratis Dipuji PBB. Kasus keracunan tidak sampai 1%. Dampak ganda MBG membangun perekonomian rakyat dan generasi sehat Indonesia.”

Padahal, di lapangan, orangtua siswa ketakutan, rakyat daftar jadi vendor kesulitan, dapur MBG tidak punya sertifikasi layak kesehatan dan kasus keracunan bergelimpangan. Dalam logika hukum, ada satu prinsip yang harus dijaga: keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi (salus populi suprema lex esto).

Tetapi dalam praktik ABS, hukum itu diputar balik: asal laporan enak dibaca, biarpun rakyat keracunan dianggap sukses. Sejarah selalu punya pesan serius: ketika laporan lebih indah daripada kenyataan, maka tragedi nyata bisa lahir dari kebohongan kecil.

Jika dulu bangsa belajar dari tragedi 1965 bahwa perebutan kuasa bisa mengorbankan rakyat, kini bangsa juga perlu belajar bahwa perebutan pujian melalui laporan asal bapak senang bisa lebih mematikan. Karena bukan hanya menyingkirkan orang, tetapi juga melupakan keselamatan rakyat yang seharusnya menjadi hukum tertinggi.

Dengan begitu, fiksi ini menutup dengan satu kalimat reflektif: Sejarah sudah terjadi, tapi rakyat jangan sampai dijadikan kelinci percobaan.

*) Peneliti IDEALS

 

Sumber: WAGroup Forum Wartawan Kebangsaan (FWK), (postRabu1/10/2025/untung)

Pos terkait