Oleh Erizeli Jely Bandaro dan Hendra J. Kede
Semarak.co – Tahukah Anda kalau Makan Bergizi Gratis (MBG) di Indonesia adalah program makan siang gratis termahal di dunia? Ya, gratis di meja anak-anak, tapi tidak gratis di meja APBN. Tagihannya Rp335 triliun untuk tahun 2026 — setara 1,5% dari GDP.
Bandingkan dengan Tiongkok, negara dengan 1,4 miliar jiwa, yang hanya mengeluarkan seperempatnya. Di brosur pemerintah, program ini disebut investasi masa depan. Di excel APBN, ia disebut pembengkakan belanja. Anggarannya menyedot 44% dari total dana pendidikan, atau 79% dari biaya aktual pendidikan yang tersisa.
Jadi kalau pendidikan ibarat nasi kotak, lauk dan sayurnya habis di makan siang gratis, sisanya tinggal nasi putih dingin untuk kurikulum, guru, dan fasilitas sekolah. Program MBG ini seperti restoran all-you-can-eat yang disubsidi negara.
Bedanya, kalau di restoran Anda bisa pilih menu, di sekolah anak-anak disuguhi menu politik yang porsinya besar tapi gizinya entah. Mungkin memang bukan soal gizi, tapi soal gengsi. Dunia harus tahu, Indonesia bukan hanya eksportir batubara dan CPO, tapi juga eksportir rekor baru: program makan gratis termahal di planet bumi.
Dan seperti biasa, rakyat bukan diajak berdiskusi, tapi diajak ikut makan. Makan retorika, makan janji, dan makan utang yang akan menambah perut APBN makin buncit. Gratis di lidah, mahal di dompet negara. Itulah MBG: Makan Bergizi Gratis, tagihan.
Pagi ini, Senin (29/9/2025), akhirnya muncul wacana menarik tentang gugatan warga negara terkait kelalaian negara yang mengakibatkan ribuan anak keracunan MBG. Setuju Proyek Istana ini diganti namanya. MBG keberatan nama dan banyak menimbulkan kontroversi dari segi anggaran negara dan terlalu terpusat.
Kenapa tidak meniru Jepang yang terbukti bisa dijalankan baik sejak 1954 dengan sistem desentralisasi. Namanya juga sederhana Makanan Siang Sekolah. Tapi, aturan mainnya jelas.
Semua pemangku kepentingan terlibat dan dilibatkan mulai negara, pemda, sekolah hingga orang tua. Pembiayaan ditanggung bersama. Ini kayaknya lebih cocok dengann kebutuhan dan kondisi keuangan negara kita.
Usul MBG Distop tidak Berkeprimanusiaan
Usul MBG distop itu sangat tidak berperikemanusiaan, menyalahi (setidaknya) sila kedua Pancasila. Itu pendapat saya yang waktu kecil bisa makan satu orang satu telor itu hanya sebuah mimpi indah. Dan saya yakin masih sangat banyak anak2 Indonesia yang sedang mimpi indah seperti saya waktu kecil itu.
MBG ada problem? Itulah gunanya ilmu Governance, Risk, and Compliance (GRC) alias Tata Kelola MBG berbasi Manajemen Risiko dan Kepatuhan terhadap hukum dan SOP. Kasus keracunan tentu bisa diproses hukum, silahkan saja.
Namun mencari akar masalah kenapa keracunan itu terjadi adalah bagian penting dari Manajemen Risiko agar dapat diketahui mitigasinya untuk diterapkan ke depannya atau di tempat lain. Menjelang kol dipanen, kadang disemprot peptisida oleh petani. Maka disini muncul risiko: kalau buat sayur sop dengan bahan kol dan hanya dicuci saat masih bunder2.
Kenapa berisiko? Karena peptisida yang masuk ke lapisan tidak hilang. Maka SOP yang harus dipatuhi adalah bahan sayur kok harus dicuci setelah dipotong-potong. Ini namamya mitigasi risiko berbasis kepatuhan terhadap SOP. Kok ditempat lain ndak keracunan? Ya mungkin kolnya tidak disemprot peptisida sebelum penen.
SOP yang minim risiko adalah cuci kol setelah dipotong tanpa perlu mencari informasi perilaku petani menjelang memanen kol. Kalau tidak begitu? Ya keracunan. Itu sekedar salah satu contoh. Lebih bagus kalau kesadaran ini ada pada semua level, pengambil kebijakan sampai juru masak. Maka disitulah muncul budaya aman dari risiko (GRC Culture).
Dan hal lainnya. Sekali lagi, usul menyetop program MBG itu sangat tidak berperikemanusiaan bagi saya, sebagaimana tidak berperikemanusiaannya adanya surat pernyataan tidak akan menuntut secara hukum jika siswa keracunan MBG yang disodorkan oleh oknum tertentu kepada orang tua siswa penerima manfaat MBG.
*) pemerhati
Sumber: WAGroup Forum Wartawan Kebangsaan (FWK), (postSabtu27/9/2025/untung)




