Ditemukan Ceceran Darah di Depan Kompleks DPR RI, Diduga Massa Aksi yang Ditangkap Alami Penyiksaan

Sejumlah aparat tentara tampak mengerumuni sambil memukuli salah seorang demonstran yang sudah tak berdaya di pinggir pagar gedung DPR RI Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (21/8/2024). Foto: internet

Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD) menemukan data sejumlah pihaknya terkait pelanggaran terhadap hak warga negara untuk menyampaikan aspirasi dan pendapatnya di muka umum dalam aksi tolak revisi UU Pilkada di depan Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (23/8/2024).

semarak.co-Temuan sementara itu dihimpun berdasarkan pemantauan langsung, dokumentasi, keterangan korban, dan pengaduan yang diterima pihaknya melalui call center. Berdasarkan pemantauan langsung, TAUD menemukan ceceran darah dan potongan rambut di sebuah ruangan di kompleks parlemen Senayan Jakarta saat aksi unjuk rasa, Rabu (21/8/2024).

Bacaan Lainnya

Kepala Divisi Hukum Komisi Untuk Orang Hilang Dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Andri Yunus yang turun langsung melakukan pemantauan di lapangan mengatakan, ruangan tersebut berada di dalam dekat pagar kompleks parlemen.

Ruangan itu, kata Andri, berukuran sekitar 6 x 6 meter persegi. Di ruangan tersebut juga terdapat musala. Ia mengatakan saat dirinya masuk ke ruangan tersebut posisi para demonstran yang sebelumnya diduga ditangkap telah dibawa ke Polda Metro Jaya.

“Kami masuk setelahnya dan menemukan ceceran darah di tiga titik, di dekat pintu dua dan di tembok. Dan juga selain ceceran darah kami menemukan potongan rambut cukup banyak di ruangan yang sama,” kata Andri saat konferensi pers di kantor YLBHI Jakarta Pusat, Jumat (23/8/2024).

Advokat publik dari LBH Jakarta Fadhil Alfathan yang tergabung dalam TAUD mengatakan massa aksi yang ditangkap diduga mengalami praktik penyiksaan. Mereka, kata dia, diduga dipaksa mengaku dengan serangkaian tindak kekerasan. Berdasarkan keterangan korban, kata dia, proses tersebut diduga terjadi di Pos Pamdal di dalam kompleks parlemen Senayan Jakarta.

Ia menduga tempat tersebut menjadi pusat pemeriksaan sementara terhadap peserta aksi sebelum dibawa ke Polda Metro Jaya. “Jadi, massa aksi dari luar dibawa ke (Ruangan) Pamdal dan kemudian dilakukan serangkaian pemeriksaan di situ,” kata dia dilansir repelita.com, 8/24/2024 12:51:00 AM.

“Nah, ketika dia dibawa atau diserahkan ke Polda Metro Jaya, kondisinya seperti yang disampaikan tadi, kondisi berdarah di sekujur tubuh dan kemudian salah satu teman kami dari 39 orang yang diangkut atau dibawa ke Polda Metro Jaya. Rata-rata mendapatkan kekerasan fisik atau setidaknya mendapatkan kekerasan secara psikis maupun verbal,” demikian Fadhil menambahkan.

Wakil Ketua Bidang Advokasi YLBHI Arif Maulana mengatakan pihaknya menerima sebanyak 51 aduan terkait aksi unjuk rasa penolakan terhadap revisi UU Pilkada sampai dengan pukul 11.00 WIB hari ini.

Mereka yang mengadu tersebut, kata dia, berasal dari orang tua, keluarga, atau teman yang mencari keluarga dan kerabat mereka yang sebelumnya menginformasikan ikut serta dalam aksi tersebut. Ia mengatakan baru bisa mendapatkan akses untuk mendampingi sebanyak 39 orang peserta aksi yang ditahan di Polda Metro Jaya.

Itu pun, lanjut dia, setelah berdebat 4 sampai 5 kali dengan pihak kepolisian sejak semalam. Akhirnya, mereka baru mendapat akses kepada 39 orang tersebut pagi tadi sekira pukul 05.00 WIB. “Kami menemukan dan berhasil mendampingi secara langsung kepada 39 orang yang dilakukan penangkapan dan pemeriksaan,” kata dia.

“Informasi yang kami dapatkan dari jaringan dan diverifikasi lembaga negara KPAI. Itu terdapat sejumlah 105 orang dengan rincian 27 orang dewasa dan 78 anak diproses di Kepolisian Resort Jakarta Barat. Dan juga terdapat pengaduan 3 orang masih berusia anak ada di Polsek Tanjung Duren,” kata dia.

Polda Metro Jaya mengakui pihaknya menangkap 301 orang peserta aksi yang berunjuk rasa menolak revisi UU Pilkada di depan Gedung DPR RI, Kamis (22/8/2024). Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Ade Ary Syam Indradi pun mengungkap ratusan orang yang diamankan tersebut ditangani di Polda, Polres, dan Polsek.

“Dari proses pengamanan ada 301 orang yang telah diamankan oleh jajaran Polda Metro Jaya, Polres Jakpus, Polres Jaktim, dan beberapa polsek dan Polres Jakbar,” kata Ade Ary kepada wartawan pada Jumat (23/8/2024).

Ia pun merinnci sebanyak 50 orang di antaranya diamankan di Polda Metro, 143 orang di Polres Metro Jakarta Timur, 3 orang di Polres Metro Jakarta Pusat, dan 105 orang di Polres Metro Jakarta Barat. Ade Ary juga menjelaskan, ratusan orang yang diamankan pihaknya diduga melakukan gangguan ketertiban hingga menyerang petugas.

Selain itu, kata dia, mereka yang diamankan kata dia sebagian juga masih berusia dibawah umur. Orang-orang yang diamankan ini diduga mengganggu ketertiban, diduga merusak, diduga tidak mengindahkan peringatan petugas kami di lapangan, ada juga yang diduga melakukan kekerasan terhadap petugas. Polri membuka pintu bagi masyarakat yang merasa dirugikan saat aksi kemarin.

Ia menegaskan pihak internal kepolisian baik Propam maupun Itwasda akan mendalami laporan dugaan pelanggaran disiplin dan kode etik atau di luar Standard Operational Procedure (SOP). “Silakan apabila ada masyarakat yang melihat silakan dilaporkan, akan ditangani juga,” kata dia seperti dikutip dari tribunnews.

Amnesty International Indonesia (AII) mengatakan aparat kepolisian menggunakan kekuatan berlebih dan cenderung brutal saat mengamankan aksi demonstrasi warga menolak pengesahan Rancangan Undang-undang (RUU) Pilkada di DPR RI, Kamis (22/8).

Kesimpulan itu diperoleh Amnesty setelah melakukan pemantauan di sejumlah daerah termasuk Jakarta. “Satu kata, brutal. Pengamanan yang semula kondusif, berujung brutal. Dan fatalnya, ini bukan pertama kali,” ujar Direktur Eksekutif AII Usman Hamid dikutip dari laman AII, Jumat (23/8/2024).

“Aparat yang brutal tersebut seolah tidak mau belajar dari sejarah bahwa penggunaan kekuatan eksesif telah merenggut hak asasi manusia, dari hak untuk berkumpul damai hingga hak untuk hidup, tidak disiksa dan diperlakukan tidak manusiawi,” sambung Usman.

Usman menegaskan para demonstran bukan kriminal, tetapi hanya warga yang ingin mengkritik pejabat dan lembaga negara. Bahkan, kata dia, jika melanggar hukum pun tidak boleh diperlakukan dengan tindakan brutal. Sejak pagi, Amnesty memantau langsung jalannya protes.

“Di petang hari, ada banyak yang ditangkap dan diperlakukan dengan cara-cara yang tidak mencerminkan penegak hukum yang professional,” imbuh Usman. Dalam hal ini Usman menyinggung tindakan brutal merespons perusakan atau perobohan pagar Gedung DPR. (smr)

Pos terkait