Mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengaku dirinya tidak ingin percaya pada pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang disebut tidak setuju putra bungsunya Kaesang Pangarep maju di pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2024.
semarak.co-Bukan tanpa alasan, Mahfud lantas menyinggung pernyataan Jokowi yang sempat juga tidak setuju dengan putra sulungnya Gibran Rakabuming Raka maju untuk maju di pemilihan presiden (Pilpres) 2024. Tetapi, nyataannya Gibran menjadi calon wakil presiden (cawapres).
“Saya tidak ingin percaya atau tidak percaya, terserah sajalah. Sudah malas gitu, yang dulukan juga bilangnya begitu. Dulu bilang begitu, akhirnya (bilang) ‘saya dipaksa oleh parpol (partai politik), itu urusan parpol,” kata Mahfud dikutip dari podcast Terus Terang yang dikutip dari kanal YouTube Mahfud MD Official, Rabu (5/6/2024).
“Dulu dia bilang enggak setuju. Sekarang mau dikomentari lagi malah nanti kita nih malu pada diri sendiri,” demikian Mahfud yang mantan calon wakil presiden (cawapres) di Pilpres 2024 pasangan Ganjar Pranowo melanjutkan.
Seperti diberitakan jauh sebelumnya, Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan menyebut, Joko Widodo tidak setuju Kaesang maju dalam kontestasi pemilihan kepala daerah pada November 2024.
“Tadi saya tanya sama bapak habis rapat, ‘Pak gimana kalau Kaesang maju Wagub Jakarta?’ ‘Waduh gitu, jangan Pak Zul’ katanya,” kata Zulkifli Hasan ditemui di Kantor DPP PAN, Jakarta pada 3 Juni 2024 seperti dilansir repelita.com, 6/06/2024 04:34:00 PM dari artikel asli kompas.com.
Bahkan, menurut Zulhas, dia kembali bertanya ke Jokowi bahwa aturan batas usia pencalonan kepala daerah sudah diubah oleh Mahkamah Agung (MA) menjadi 30 tahun saat dilantik. Namun, Zulhas mengatakan, Jokowi tetap bersikeras melarang Kaesang maju di Pilkada Jakarta 2024. “Sekarang sudah boleh, Pak. Digugat. ‘Jangan Pak Zul’. Kira-kira itu,” ujar dia menirukan ucapan Jokowi.
Terkait putusan MA memang diketahui, Presiden sendiri mengaku, belum membaca putusan MA yang seolah memberi karpet merah pada putra kandungnya bernama Kaesang untuk diusung menjadi calon gubernur dan atau wakil gubernur di Pilkada 2024.
Pada 30 Mei 2024, Jokowi meminta awak media menanyakan perihal putusan itu kepada MA selaku lembaga yang membuat dan mengeluarkan keputusannya. “Itu tanyakan ke Mahkamah, Mahkamah Agung atau tanyakan ke yang gugat,” kata Jokowi di Pasar Bukit Sulap Lubuk Linggau, Sumatera Selatan.
Dejavu
Berdasarkan catatan kompas.com, respons Presiden Joko Widodo soal karier politik putranya Kaesang serupa dengan tanggapannya tentang putra sulungnya Gibran Rakabuming Raka sebelum tahapan pemilihan presiden (Pilpres) 2024 dimulai.
Awalnya meminta publik berpikir logis saat ditanya perihal wacana duet Prabowo-Gibran untuk Pilpres 2024. Sebab, usia Gibran disebut belum memenuhi syarat menjadi capres-cawapres jika mengacu pada Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Sebelum keluar putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/PUU-XXI/2023, usia minimal capres-cawapres adalah 40 tahun mengacu pada UU Pemilu. “Yang pertama umur, yang kedua Gibran baru dua tahun jadi wali kota, yang logis ajalah,” kata Jokowi pada 4 Mei 2023.
Namun, setelah ada putusan MK nomor 90 yang mengabulkan gugatan uji materi soal batas usia capres-cawapres sehingga membolehkan seorang pejabat yang terpilih melalui pemilu mendaftarkan diri sebagai capres-cawapres walaupun tak memenuhi kriteria usia minimum 40 tahun, sikap Jokowi berubah.
Di depan Prabowo setelah memimpin Apel Hari Santri Nasional 2023 di Tugu Pahlawan, Surabaya pada 22 Mei 2023, Jokowi mengaku memberi restu jika Gibran ingin menjadi cawapres Prabowo. “Orangtua itu tugasnya hanya mendoakan dan merestui,” kata Jokowi.
Hingga akhirnya, Prabowo jadi berpasangan dengan Gibran dan memenangi Pilpres 2024 dari dua pesaingnya, Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD.
Isu Kaesang Maju Pilkada Jakarta
Kini, nama Kaesang mulai diperbincangkan terkait Pilkada Jakarta 2024 setelah muncul poster duet dengan Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Budisatrio Djiwandono. Namun, belakangan Budi Djiwandono menyebut bahwa dirinya tidak akan maju dalam Pilkada Jakarta 2024 karena mendapatkan tugas dari Prabowo untuk tetap berjuang di DPR RI.
Tetapi, nama Kaesang tetap dikaitkan dengan Pilkada 2024 setelah ada putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 23 P/HUM/2024 yang mengabulkan permohonan hak uji materi yang dimohonkan Ketua Umum Partai Garda Perubahan Indonesia (Garuda) Ahmad Ridha Sabana terkait Pasal 4 PKPU Nomor 9 Tahun 2020 dengan Undang-Undang (UU) Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (Pilkada).
Melalui putusannya, seperti dilansir banyak media massa diketahui MA mengubah aturan penghitungan usia calon kepala daerah dari yang semula termaktub dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 9 Tahun 2020.
Pasal 4 Ayat (1) huruf d PKPU mengenai batas usia calon kepala daerah awalnya berbunyi, “Berusia paling rendah 30 (tiga puluh) tahun untuk Calon Gubernur dan Wakil Gubernur dan 25 (dua puluh lima) tahun untuk Calon Bupati dan Wakil Bupati atau Calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota terhitung sejak penetapan Pasangan Calon”.
Namun, setelah adanya putusan MA, aturan usia calon kepala daerah dihitung pada saat calon tersebut dilantik sebagai kepala daerah definitive. Menurut MA, Pasal 4 PKPU Nomor 9 Tahun 2020 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai.
Yang berbunyi, “berusia paling rendah 30 (tiga puluh) tahun untuk Calon Gubernur dan Wakil Gubernur dan 25 (dua puluh lima) tahun untuk Calon Bupati dan Wakil Bupati atau Calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota terhitung sejak pelantikan pasangan Calon terpilih”.
Kaesang dikaitkan dengan putusan MA karena putra Presiden Jokowi itu terganjal dengan masalah usia apabila hendak maju sebagai calon gubernur atau wakil gubernur. Sebab, usianya masih 29 tahun saat penetapan calon kepala daerah oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Dalam Peraturan KPU (PKPU) Nomor 9 Tahun 2020 sebelum akhirnya diubah lewat Putusan MA, calon gubernur harus berusia 30 tahun ketika ditetapkan KPU sebagai kandidat yang akan berlaga di pilkada. KPU akan menetapkan calon kepala daerah di Pilkada Serentak 2024 pada 22 September 2024. Sedangkan Kaesang baru akan berusia 30 tahun pada 25 Desember 2024.
Di bagian lain diberitakan masyarakat diajak untuk aktif melakukan pengawalan dan mengingatkan agar elite mematuhi norma dan etika dalam kehidupan berbangsa bernegara. Putusan MA soal batas usia calon kepala daerah (Cakada) menegaskan kondisi ini jadi tanda wajah demokrasi sedang rusak.
Ketua Komisi A DPRD DIY Eko Suwanto menyatakan, terlihat putusan tersebut hukum dijadikan alat pemenangan dalam berpolitik. Putusan MA berkaitan batasan usia cakada, tidak sesuai dengan norma dan etika.
“Mirip seperti putusan MK nomor 90. Ini mengancam demokrasi dan kedaulatan rakyat,” kata alumni MEP UGM Yogyakarta ini dalam jumpa pers yang diikuti KBA News, di ruang Komisi A DPRD DIY, Rabu, 5 Juni 2024 yang kemudian dilansir dilansir kbanews.com, 5 Juni 2024 7:59 PM.
Penggunaan hukum sebagai alat pemenangan ini punya daya rusak hebat dalam demokrasi yang dikembangkan pascareformasi 1998. Kewenangan MA dalam proses berdemokrasi sejati bukan membuat norma baru, sebab kewenangan itu milik pemerintah dan DPR.
“MA lebih bijak menyerahkan kewenangan kepada pemerintah dan DPR, putusan MA tentang batasan usia ini justru membuat ketidakpastian hukum. Sama dengan putusan MK 90, orang yang buat keputusan dinyatakan bersalah melanggar etik berat dan telah dicopot dari Ketua MK,” ujarnya.
Politisi PDI Perjuangan ini menambahkan, tapi putusan yang salah ini tidak dibatalkan juga atas nama hukum. Lalu hukum mana yang adil. Hukum substansi yang berkeadilan versus hukum prosedural. Berkaitan dengan penetapan hasil pemilihan umum kepala daerah November 2024, sebenarnya masih ada beberapa kemungkinan pascacoblosan Pilkada.
Alumni Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) ini menyatakan, setidaknya ada tiga kemungkinan; pertama, setelah coblosan tidak ada gugatan, maka bisa langsung proses penetapan. Kedua, gugatan ke MK butuh waktu sebelum hasil pemilihan umum ditetapkan.
“Ketiga, saat proses ditetapkan MK, pemungutan suara ulang dibuktikan kecurangan, evaluasi diberikan opsi PSU atau pemilihan suara ulang. Putusan MA mencederai demokrasi yang belum sembuh sakitnya pascapemilihan umum Pilpres, yang mana terjadi pelanggaran etik berat baik MK maupun KPU-nya,” kata Eko. (net/pel/kba/smr)