Migrasi TV Analog ke Digital Susahkan Rakyat, Komisi I DPR RI Tagih Komitmen Kemenkominfo Bagikan 6 Juta STB

(kanan ke kiri) Pengamat Syaifudin, Nurul Arifin, Nico Siahaan, dan moderator dari KWP dalam Diskusi Dialektika Demokrasi bertema: Hak Masyarakat dan Kebijakan Digitalisasi TV yang diselenggarakan Koordinatoriat Wartawan Parlemen (KWP) di Ruang Diskusi Media Center, komplek DPR RI, Senayan, Jakarta Selatan, Kamis (10/11/2022). Foto: heryanto

Anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi Partai Golkar Nurul Arifin menilai pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemenkominfo) tidak konsisten. Menyusul penghentian siaran televisi analog untuk dialihkan atau migrasi ke televisi digital atau Analog Switch Off (ASO) mulai 2 November 2022 di Jabodetabek (Jakarta Bogor Depok Tangerang dan Bekasi).

semarak.co-Hal ini disampaikan Nurul saat jadi narasumber Diskusi Dialektika Demokrasi bertema: Hak Masyarakat dan Kebijakan Digitalisasi TV yang diselenggarakan Koordinatoriat Wartawan Parlemen (KWP) di Ruang Diskusi Media Center, komplek DPR RI, Senayan, Jakarta Selatan, Kamis (10/11/2022).

Bacaan Lainnya

Dalam menyikapi banyaknya keluhan dari masyarakat terutama ibu-ibu tentang pengalihan dari saluran analog menjadi digital itu, Nurul mengaku tidak suka pada kebijakan ASO ini karena tidak dilaksanakan secara nasional. Artinya kalau tidak dilaksanakan secara nasional, tidak tidak ada konsistensi dari pemerintah.

Kemudian Nurul menyarankan, apabila pemerintah ingin melakukan pengalihan sebaiknya dilakukan secara keseluruhan dan tidak hanya di wilayah Jabodetabek saja. sehingga sistem ASO bisa terlaksana secara optimal.

“Ini artinya, buang badan terhadap kewajibannya untuk menyediakan infrastruktur secara teknologi bahwa yang tadinya analog akan menjadi digital begitu. Tapi ini buang badannya seolah-olah dengan melegitimasi, pencabutan, pengalihan dari analog ke digital di seputaran Jabodetabek saja sudah mewakili republik ini itu tidak benar,” sindirnya.

Dilanjutkan Nurul, “Pemerintah harus mempunyai komitmen jangan menjadikan Jabodetabek ini korban! Jadi infrastrukturnya harus siap dulu kalau belum siap, ngapain gitu. Kebijakan ini sebetulnya tidak akan mempersulit masyarakat, kalau komitmen dari pemerintah dalam hal ini Kemenkominfo.”

Untuk mendistribusikan set box sebanyak 6 juta unit yang ada datanya dari data terpadu kesejahteraan sosial di TKS kementerian sosial, terang dia, ini bisa dilaksanakan. Kemenkominfo harus mampu mendistribusikan STB gratis kepada masyarakat yang membutuhkan dengan tepat sasaran.

Menurut Nurul, apabila pemerintah belum siap, sebaiknya tidak perlu terburu-buru. “Ini sudah tahu akan jatuh tempo 2 November, terakhir, kan ada 3 tahapan begitu, harusnya mereka memproduksi, mendistribusikan dan jumlahnya bulat 6 juta sesuai data itu,” rincinya.

Sehingga yang 6 juta kepala keluarga kurang mampu ini, lanjut dia, bisa mendapatkan set Box sesuai dengan haknya itu yang menurut saya tidak komitmen. “Yang lebih lucu, set top boxnya harus bersertifikat Kominfo. Gitu kan, hanya bikin rakyat susah,” sindirnya.

Apalagi sekarang situasinya memang banyak krisis, sambung Nurul, kita tahu di bawah itu situasinya kayak apa. “Ini yang saya sesalkan. Jadi pertanyaan saya, kenapa harus bersertifikasi, kenapa harus ada monopoli?” kecam dia.

Jadi realisasi dari penyelenggara siaran TV swasta ini belum bisa dilaksanakan. Padahal, terang dia, kenapa ini menjadi penting bagi republik ini? Satu siaran TV analog bisa menjadi 12 siaran TV digital, karena satu analog TV itu menggunakan 8 Mhz. Nah, itu sama dengan bisa menjadi 12 TV digital,” sebut istri Mayong yang seorang jurnalis.

Diketahui migrasi siaran ke TV digital ini akan mencakup wilayah yang ekosistem siaran digitalnya sudah siap, termasuk 14 Kabupaten/Kota di Jabodetabek. Pemerintah juga telah mendistribusikan bantuan STB gratis kepada Rumah Tangga Miskin (RTM) secara nasional sekitar 1.055.360 unit STB.

Wilayah Jabodetabek telah didistribusikan 473.308 unit STB dari target 479.307 unit STB. Memang terdapat 60.791 RTM yang tidak memenuhi kriteria atau gagal serah. Yang terpenting dalam ASO ini, lanjut Nurul, pemerintah lewat Kemenkominfo harus mampu mendistribusikan STB kepada masyarakat yang membutuhkan dengan tepat sasaran.

“Jangan sampai rumah tangga yang benar-benar tidak mampu malah terlewat dalam pembagian STB gratis tersebut. Seluruh masyarakat yang kurang mampu, terutama yang wilayahnya siaran televisi analog sudah dimatikan harus dipastikan bisa mengakses siaran televisi digital,” pesan Nurul Arifin lagi.

Pemerataan siaran televisi digital yang memuat informasi dan hiburan secara gratis atau tidak berbayar harus bisa merata dan menjangkau seluruh lapisan. Sistem siaran digital ini juga harus mengakhiri persoalan _blank spot_ di Tanah Air. “Karena ada keharusan bagi pemerintah untuk membantu STB bagi masyarakat agar bisa mengakses siaran digital,” imbuhnya.

Penerapan sistem migrasi siaran televisi analog ke digital masih ruwet. Apalagi Pemerintah dirasa tidak konsisten dengan hanya menerapkan kebijakan ini baru di wilayah Jabodetabek saja. “Penerapan ASO ini masih ruwet sekali dan merugikan,” ulang Nurul, anggota DPR dari Daerah Pemilihan (Dapil) Jawa Barat 1.

Anggota Komisi I DPR Fraksi PDIP Nico Siahaan senada dengan Nurul. Menurut Nico, kebijakan migrasi siaran televisi analog ke digital di wilayah Jabodetabek masih ruwet. Pasalnya, pemerintah dan pihak siaran televisi swasta belum memenuhi komitmen yang telah disepakati.

Kebijakan pemerintah itu tidak didukung siaran televisi swasta sehingga menurut, Nico pemerintah melakukan pelanggaran hak publik untuk mendapatkan informasi. Yang paling bertanggungjawab atas keluhan masyarakat itu adalah pemerintah dalam hal ini Kemenkominfo.

Hal inilah yang menyebabkan ada hak masyarakat yang dilanggar dalam kebijakan tersebut, yaitu hak untuk mendapatkan informasi sehingga banyak masyarakat yang mengeluh dan menjadi ramai di berbagai sosial media (sosmed).

“Kita akan menggelar rapat kerja dengan Menkominfo untuk membicarakan komitmen pemerintah. Enggak mungkin bisa dilaksanakan secara nasional jika masyarakat tidak disediakan set top box, alat yang digunakan untuk pesawat televisi analog untuk mendapatkan siaran digital,” ungkap Nico yang menjadi pembicara berikutnya.

Kemenkominfo terkesan memaksakan kebijakan tersebut. Sementara pihak televisi swasta masih bertahan. Bahkan, kedua pihak terlihat buntu dalam komunikasi dan koordinasi dalam kebijakan ini. “Menurut saya, segera revisi UU Penyiaran. Karena kebijakan ASO tidak ada sanksinya. Kita ingin atur dan selesaikan hal ini secepat mungkin,” tandas Nico.

Dia mengatakan timbulnya keluhan masyarakat tidak terlepas Kemenkominfo yang memaksa atas dasar bijakan tersebut. Tetapi televisi swasta bertahan, akhirnya komunasikasinya buntu.

Baik Nico, Nurul Arifin, dan pengamat tidak membantah migrasi siaran televisi ke digital itu merupakan amanat Undang-Undang Cipta Kerja. Namun pelaksanaannya sejak diberlakukan 2 November lalu menimbulkan keluhan di masyarakat wilayah yang diberlakukan Jabodetabek.

Nurul Arifin kembali mengingatkan terkait tidak komitmennya pemerintah membagikan STB yang dijanjikan akan dibagi dalam 6 juta STB. “Langkah konkrit kami menagih komitmen lembaga penyiaran swasta akan membagi STB secara gratis,” ujarnya.

Realisasinya tidak sesuai dengan komitmen, sambung Nurul, karena swasta butuh tenaga dan biaya untuk memenuhi komitmennya. “Pemerintah anda jangan jualan dulu, bereskan dulu gratisnya. Harusnya komitmennya dibagi gratis dulu baru sisanya di jual. Yang ada sekarang STB beredar di pasar bahkan lewat online dan harganya sudah naik,” sindirnya.

Menurut Nurul, semua fraksi di DPR mendukung migrasi tersebut. Namun dalam UU-nya tidak ada sanksi, seperti ada pelanggaran hak publik. “Yang penting bagi saya komitmen STB 6 Juta yang dijanjikan sampai dulu ke rakyat. Saya menagih komitmen itu. Jangan dijual dulu. Masak nggak bisa sampai akhir tahun ini dibagi ke rakyat. Ini masa sulit. Jangan sampai mempersulit rakyat,” ulangnya.

Pengamat Kebijakan Publik Syaifuddin menilai keluhan masyarakat di Jabodetabek akibat kurangnya sosialisasi. Menurut dia, dalam presfektif komunikasi kebijakan ASO meninggalkan banyak masalah. Kebijalan yang dimunculkan merupakan kebijakan publik.

“Roh kebijakan publik itu merupakan aktivitas komunikasi politik. Ini persoalan komunikasi yang tidak efektif. Niatnya bagus tapi caranya tidak benar. saya melihat ini bagian dari benang kusut. Harusnya bagaimana suatu kebijakan itu disosialisasikan. Siapa yang paling bertanggungjawab dalam hal ini, ya Menkominfo,” kata Syaifudin. (smr)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *