Sejak terjadi kasus kekerasan seksual, kepolisian telah melakukan penahanan terhadap 4 terduga pelaku. Selanjutnya, polisi mengeluarkan surat perintah pemberhentian penyidikan (SP3) setelah pihak keluarga korban dan para pelaku bersepakat menyelesaikan secara kekeluargaan dan dilakukan pernikahan.
semarak.co-Kementerian Koperasi (Kemenkop) dan UKM juga telah memberikan sanksi pemecatan kepada 2 orang pegawai honorer dan sanksi berat berupa penurunan jabatan setingkat lebih rendah selama satu tahun dari kelas jabatan 7 menjadi kelas jabatan 3 kepada 2 orang pegawai negeri sipil (PNS) di lingkungan Kemenkop dan UKM.
Perkembangan terakhirnya, keluarga korban membuka kembali kasus tindak kekerasan seksual dengan melaporkan kembali kasus ini ke Lembaga Bantuan Hukum (LBH) APIK dan Ombudsman. Kemudian Kemenkop dan UKM mengambil sikap dengan meminta keluarga korban untuk melakukan prapradilan terhadap kasus yang sudah di SP3.
Tak hanya itu, Kemenkop dan UKM pun bergerak cepat membentuk Tim Independen sebagai upaya menuntaskan kasus tindak pidana kekerasan seksual ini secara menyeluruh di lingkungan Kemenkop dan UKM dengan melibatkan tiga unsur Kemenkop dan UKM.
Pertama diwakili Staf Khusus Menkop dan UKM Bidang Ekonomi Kerakyatan M. Riza Damanik, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Aktivis Perempuan Sri Nurherwati, Ririn Sefsani, dan Ratna Bataramunti.
Menteri Koperasi (Menkop) dan UKM Teten Masduki mengatakan, Tim Independen yang dibentuk memiliki dua tugas utamanya yakni, mencari fakta dan memberikan rekomendasi penyelesaian kasus kekerasan seksual maksimal 1 bulan.
“Tugas lainnya adalah merumuskan Standar Operasional Prosedur (SOP) internal penanganan tindak pidana seksual Kemenkop dan UKM selama jangka waktu tiga bulan,” kata Menteri Teten saat menggelar konferensi pers bersama keluarga korban, pendamping dan Aktivis Perempuan di kantor Kemenkop dan UKM, Kuningan, Jakarta Selatan, Selasa (25/10/2022).
Dilanjutkan Menteri Teten, “Kita ingin momentum ini dijadika untuk pembenahan internal. Audiensi bersama aktivis perempuan itu menjadi pertemuan yang sangat produktif untuk mencari solusi penanganan kasus kekerasan seksual. Karena KemenKopUKM tidak mentolerir praktik tindak kekerasan seksual.”
Kalau saat ini dianggap masih belum memenuhi azas keadilan segera akan ditindak lanjuti. Tak sampai di situ, kata Teten, Kemenkop dan UKM siap memberikan data pendukung dan berkoordinasi intensif dengan tim independen. Sehingga perlindungan keluarga korban di kementerian dipastikan terjamin dan tidak ada intimidasi apapun.
“Penyelesaiannya di Tim Independen jadi bukan lagi dari internal Kemenkop dan UKM. Kami akan menggunakan momentum ini untuk pembenahan internal kementerian, supaya kami memiliki SOP untuk menangani tindak kekerasan seksual,” ucap Teten dirilis humas Kemenkop dan UKM usai pertemuan melalui WAGroup FORWAKOP, Rabu (26/10/2022).
Aktivis Perempuan Ririn Sefsani menekankan, tahapan hukum akan terus dilakukan sehingga para pelaku mendapatkan hukum yang setimpal, serta bagi korban mendapat perlindungan dan keadilan dalam pemenuhan hak-haknya.
“Kami menyambut baik Menkop dan UKM responsif setelah aduan kami. Berita baik lagi, Kemenkop dan UKM membuat langkah cepat penyelesaian kasus dengan membentuk tim independen. Jika ini sesuai waktu yang diberikan dan memiliki hasil yang baik, Kemenkop dan UKM ini akan menjadi role model penanganan kekerasan seksual,” pujinya.
Ririn menambahkan, adanya Undang-Undang (UU) Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang telah disahkan menjadi payung hukum yang baik, sehingga hak korban mendapatkan jaminan perlindungan.
“Kami juga akan berkoordinasi dengan LPSK dan pihak kepolisian dalam penyelesaian kasus. Sanksi yang ada saat ini belum memenuhi etik dan ini menjadi tugas tim untuk melengkapi dokumen dan berikan sanksi sesuai kejahatan pelaku,” kata Ririn di tempat yang sama.
Turut hadir dalam pertemuan itu Kuasa Hukum LBH APIK Jawa Barat Asnifriyanti Damanik selaku pendamping hukum keluarga korban, keluarga korban dan sejumlah aktivis perempuan. Antara lain KAPAL Perempuan, Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP), Jaringan Pembela Hak Perempuan Korban Kekerasan Seksual, Migrant Care, dan Yayasan Kalyanamitra.
Diberitakan inilah.com/Senin, 24 Okt 2022 – 14:25 WIB/korban kekerasan seksual di lingkungan Kementerian Koperasi dan UKM kembali bersuara, menuntut keadilan. Perempuan inisial N, seorang pegawai honorer di Kemenkop dan UKM, menuntut keadilan dari 4 pelaku pemerkosaan terhadapnya.
Korban berharap para pelaku yang merupakan PNS di kementerian, diberi hukuman maksimal. Cerita N kembali mencuat sebab janji pernikahan dengan pelaku, diduga hanya akal-akalan agar para pelaku dikeluarkan dari penjara, dan bebas dari konsekuensi hukum.
Dalam sebuah diskusi yang digelar Aktual.com pada Rabu (19/10/2022) minggu lalu dengan tema Dialog Aktual: Kasus Perkosaan di Kemenkop-UKM, Tanggung Jawab Siapa? korban yang diwakili kerabatnya menceritakan kondisi N.
Berbicara mewakili korban, Radit ingin kasus ini diselesaikan di pengadilan. Pihak keluarga juga menyesalkan kepolsian dan pihak kementerian yang seolah justru berpihak pada pelaku. Kejadian ini bermula saat N bersama para pegawai kementerian tersebut pada 6 Desember 2019 mengadakan Rapat Di Luar Kantor (RDL).
Pemerkosaan terjadi di hotel tempat rapat berlangsung, 4 orang pegawai memperkosa yaitu: Z, W, M,E dan 2 orang menjaga pintu dan 1 orang ikut sampai lokasi. Ketiga orang ini adalah: N, T, A. Setelah kejadian tersebut, N yang merupakan korban justru mendapat tekanan dan ancaman dari para pelaku.
Merasa tak mendapat perlindungan, N memilih mengadu ke Polresta Bogor Kota. Di sana, setelah melakukan visum dan melakukan penyelidikan sampai menyita rekaman CCTV Hotel, polisi menangkap pelaku dan langsung ditahan.
Di sinilah pelaku melalui keluarga melakukan pendekatan kepada korban untuk mencabut laporan dan berdamai. Korban direkomendasikan untuk menikah dengan salah satu tersangka yang masih single. Pendekatan keluarga pelaku dilakukan sebelum proses penyidikan sampai ke pengadilan.
Keluarga korban akhirnya luluh, salah satu tersangka (Z) akhirnya menikah dengan N difasilitasi kepolisian. Lebih lanjut Radit menjelaskan, pada saat sudah menikah dengan Z, ada sejumlah uang yang diberikan untuk acara lamaran.
Namun setelah acara lamaran, Z tidak pernah ada komunikasi lagi dengan N, dan hanya sekali datang ke rumah. Keluarga Korban menunggu, beberapa kali menemui keluarga Z, tetapi tidak pernah merespons. Melihat gelagat semacam ini, keluarga N merasa pernikahan tersebut hanya menjadi cara bagi pelaku untuk lepas dari konsekuensi hukum.
Kasus perkosaan tersebut saat ini dihentikan penyidikannya oleh kepolisian dengan keluarnya SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan) dengan alasan restorative justice. Setelah kejadian tersebut, status N sebagai pegawai honorer tidak diperpanjang.
Sementara itu keluarga korban terus berupaya melaporkan kasus ini ke Komisi Ombudsman. Menurut Radit, Komisi Ombudsman telah berkirim surat kepada menteri terkait dan kasus ini sudah diketahui oleh menteri. Sebelumnya keluarga korban juga sudah melaporkan kasus ini kepada pejabat eselon 1 dan 2 di kementerian terkait tetapi tidak ada tanggapan.
Kementerian Sebut Masalah Hukum Selesai
Menanggapi kasus ini, Kepala Biro Hukum dan Kerja sama Kementerian Koperasi dan UKM, Henra Saragih dalam kesempatan yang sama menjelaskan, menurut mereka, penyelesaian kasus ini dari segi hukum sudah dilakukan.
“Kami dari Biro Hukum melihat bahwa penyelesaian dari permasalahan ini sebenarnya dari segi hukum sudah kita lakukan. Tadi disampaikan adanya penindakan oleh kepolisian, terus ada juga SP3, terus ada kesepakatan, kemudian yang bersangkutan juga sudah menikah. Terus ada juga penegakan sanksi etika yang sudah diterapkan kepada yang bersangkutan,” ujar Henra.
Untuk itu menurut Henra, proses-proses yang sudah dilakukan oleh kementerian sudah maksimal. Setidaknya terdapat dua hal yang sudah dilakukan. “Prosesnya pertama hak-hak dari pada si korban sudah kita penuhi, ya apa itu, dari konteks gaji dan hak-hak lain sudah kita penuhi. Dan pada saat ini pun korban sudah bekerja di kementerian lain,” jelasnya.
Menurut Henra sanksi kepada pelaku juga sudah diberlakukan meski ia mengaku tidak mengetahui dan tidak bisa menjelaskan bentuk dari sanksi yang diberikan. “Sudah kita berikan sanksi kepada para pelaku. Nah, kami tidak bisa menyampaikan apa bentuk sanksinya karena memang sesuai dengan ketentuan sanksi disampaikan kepada yang bersangkutan langsung,” imbuhnya.
Dilanjutkan henra, “Siapapun itu tidak bisa mengetahui, kami sekalipun tidak bisa mengetahui karena itu memang pak Menteri sebagai pimpinan kepegawaian sudah membuat keputusan disiplin yang disampaikan secara langsung kepada yang bersangkutan. Bentuknya seperti apa, pelaku bisa dimintai keterangan terhadap sanksi yang sudah diberikan oleh kementerian.”
Lebih lanjut Henra menyarankan kepada keluarga korban agar ketidakpuasan atas keputusan yang sudah diambil oleh kementerian diselesaikan secara internal. Kemenkop kata Henra, terbuka jika ada laporan tentang ketidakadilan, maupun tentang kepegawaian.
Sementara terkait pemenuhan nafkah korban, Henra menilai hal tersebut sebagai urusan personal. “Saya pikir ini sudah masuk ke ranah privat yang bersangkutan karena mereka sudah menjadi suami dan istri,” pungkasnya. (net/ini/smr)