Persatuan Wartawan Indonesia Provinsi DKI Jakarta Raya (PWI Jaya) menggelar kegiatan Uji Kompetensi Wartawan (UKW) Angkatan – 53 selama dua hari, Rabu-Kamis (12 – 13/1/2022) di Sekretariat PWI Jaya, Gedung Prasada Sasarana Karya Lt 9, kawasan Harmoni, Jakarta Pusat.
semarak.co-UKW perdana PWI Jaya di 2022 ini diikuti 29 peserta klaster Muda dan Utama, dari berbagai media, baik cetak maupun online. Hasil 26 dinyatakan kompeten dari 29 peserta. Sementara tiga lainnya berkesempatan mengulang minimal enam bulan ke depan.
Ketua PWI Jaya Sayid Iskandarsyah mengatakan, dengan tambahan 26 peserta kompeten dari UKW, jumlah keseluruhan wartawan kompeten secara nasional menjadi 14.585 orang, dari total 586 penyelenggaraan UKW.
“Setelah mengikuti UKW ini para peserta menjadi wartawan yang kompeten dan wartawan yang harus mentaati kode etik dalam melakukan tugas jurnalistik,” ujar Jaya Sayid saat menutup UKW, Kamis siang (13/1/2022) seperti dirilis humas PWI Jaya melalui WAGroup Guyub PWI Jaya.
Sayid mengharapkan para peserta UKW untuk rajin membaca, terus memperluas wawasan, khususnya juga memahami Kode Etik Jurnalistik (KEJ) dan berbagai peraturan terkait kaidah pemberitaan yang baik.
Dari 29 peserta UKW Angkatan ke-53 PWI Jaya ini, 26 berada di klaster Muda, tiga di Utama. Adapun penguji di klaster Muda Sayid Iskandarsyah, Yusuf M. Said, A.R Lubis, Cedin Rosyad Nurdin, dan M. Iqbal Irsyad. Tiga peserta di klaster Utama diuji Djunaedi Tjunti Agus dengan dibantu dua pemagang, Kesit Budi Handoyo dan Tubagus Adhi.
Sebenarnya pendaftar ada 30 wartawan, namun yang bisa ikut 29 orang karena satu wartawan tidak bisa. Dia wartawan radio. Dewan Pers membuat aturan baru. PWI hanya bisa menyelenggarakan UKW untuk wartawan siber dan cetak saja. Untuk wartawan radio penyelenggara ada sendiri.
Setelah 1,5 hari ikut ujian, 26 peserta dinyatakan kompeten: 23 wartawan muda dan 3 utama. Tiga lainnya belum, tapi boleh mengulang enam bulan berselang. UKW wartawan madya kali ini sepi peminat.
Redaktur jakartanews.id Hermas E Prabowo menulis opini, “Kalau melihat asal-usul pesertanya, semua dari media kecil. Saya lebih suka menyebutnya media UMKM. Karena baik modal maupun wartawannya serba minim. Tapi bukan berarti wartawan dari media-media UMKM itu lemah.
Banyak kasus besar justru berawal dari investigasi wartawan media UMKM yang modal nekat. Banyak sisi gelap Jakarta misalnya, lanjut Sayid, yang tidak diungkap media arus utama, tapi dibongkar media UMKM ini. Mulai dari persaingan bisnis perjudian, narkoba, pungli hingga patgulipat dalam penegakan hukum.
Tak jarang Pemimpin Redaksi harus nombok. Demi menyajikan informasi, edukasi, hiburan dan kontrol sosial, selain untuk ekonomi mereka sendiri tentunya. Terus terang saya salut. Tidak mudah mempertahankan usaha media UMKM.
Meski penghargaan kiprah media-media UMKM sangat jarang, kalau nggak mau bilang belum ada. Tulisan saya tidak akan membahas soal perlu tidaknya UKW. Atau, perdebatan soal mengapa hanya lembaga tertentu dan tidak semua lembaga atau organisasi wartawan bisa menyelenggarakan UKW.
Atau tidak juga ingin membahas bagaimana penyelenggaraan UKW gratis. Biarlah itu menjadi diskusi di tempat lain, sambil ngopi dan ngemil pisang goreng. Saat ini suka atau tidak suka, UU No 40/1999 tentang Pers ada. Dengan segala kelemahan dan tentu banyak kelebihannya.
Misalnya Pasal 18 yang memberi ruang pada Penanggungjawab Media untuk mengajukan gugatan pidana kepada siapa saja, termasuk aparat, yang secara melawan hukum menghalangi kerja jurnalistik dalam mencari, mendapatkan, mengolah atau menyajikan peristiwa atau opini.
Di era Orde Baru, kebebasan pers itu mahal. Setiap saat media dimonitor. Begitu memberitakan suatu peristiwa atau opini yang membuat penguasa tidak suka, langsung digebug. Tidak harus penguasa tinggi, level Bupati dan Walikota-pun bisa dengan mudahnya mencabut berita yang siap tayang. Dikeker terus mirip maling.
Sekarang tidak terjadi lagi. Wartawan bebas memberitakan apa saja. Berlomba, dan bersaing ketat. Demi kompetisi, rambu-rambu kadang sering ditabrak. Tidak hanya oleh media kecil, bahkan media besar sekalipun.
Kebebasan Media
UKW menyegarkan kembali kita, bagaimana bisnis media hendaknya dijalankan, dan bagaimana wartawan mematuhi rambu-rambu dalam pemberitaan seperti diatur dalam UU Pers, Kode Etik Jurnalistik dan Pedoman Pemberitaan Ramah Anak (PPRA).
Bagi saya pribadi yang ikut kompetensi wartawan utama, UKW tidak terlalu sulit. Dari sembilan modul yang diujikan, delapan modul biasa dikerjakan wartawan sehari-hari, kalau memang dia wartawan.
Apa sulitnya melakukan rapat perencanaan, evaluasi, menyusun liputan investigasi dan membuat tajuk rencana. Bukankah itu sekali lagi pekerjaan sehari-hari wartawan?
Memang ada mata uji yang mewajibkan kita menyodorkan sedikitnya 20 nama, jabatan dan nomor kontak relasi atau narasumber kita. Dari 20 nama itu dipilih tiga secara acak untuk kita hubungi di hadapan penguji.
Kalau tidak nyambung, gagal. Karena nilai minimal masing-masing modul adalah 7, bukan nilai rata-rata. Satu saja modul ada yang kurang nilainya, sekalipun modul yang lain tinggi dan bagus semua, tetap gagal.
Tapi pemilihan acak itu bukan harga mati. Kita sebelumnya bisa telp atau WA relasi atau narasumber kita, untuk memastikan bisa mengangkat telepon kita. Kalau tidak bisa sampaikan saja ke penguji, bahwa relasi atau narasumber yang ini dan itu, belum bisa dihubungi sekarang. Minta memilih yang lain, masih banyak pilihan.
Poin terpenting menurut saya justru pada modul satu, soal bagaimana kita memaknai kebebasan pers, mewujudkan demokrasi dan supremasi hukum dalam kerja nyata jurnalistik. Juga bagaimana independensi dijalankan di tengah tekanan pemodal yang justru ingin memanfaatkan medianya untuk kepentingan pribadi.
Bagaimana pula mengimplementasikan komitmen kewartawanan kita dalam menjunjung tinggi harkat dan martabat anak, sebagai kelompok rentan yang harus dapat perlindungan optimal dari pers.
Juga tentang pentingnya menumbuhkan kesadaran para wartawan bahwa kerja pers dilindungi UU Pers. Permasalahan dalam pemberitaan tidak harus berakhir pidana, tapi lewat mediasi, hak jawab dan hak koreksi.
Pada akhirnya UKW menyegarkan kembali makna kebebasan pers dalam arti yang sesungguhnya. Bahwa wartawan bukanlah sekelompok kuli tinta atau sekawanan nyamuk seperti stigma yang dibangun Orde Baru, tapi bisa ambil bagian dalam membangun kehidupan berbangsa. (net/jkr/smr)