Salah satu pegawai di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dinyatakan tidak lulus tes wawasan kebangsaan (TWK) bernama Faisal, satu dari 75 pegawai KPK yang kemudian dinonaktifkan ini akan mengajukan gugatan hasil seleksi itu.
semarak.co-Seperti diketahui, KPK melakukan TWK dalam rangka peralihan status kepegawaian menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN). Faisal, menyatakan bahwa pihaknya akan menggugat Surat Keputusan (SK) hasil asesmen itu atas dasar tiga alasan.
“Iya (bakal gugat keputusan penonaktifkan dirinya). Alasan pertama pegawai KPK seharusnya beralih menjadi ASN secara otomatis sesuai perintah Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK,” kata Faisal kepada CNNIndonesia.com, Senin, 17/05/2021 09:26 WIB.
Alasan kedua, lanjut Faisal, peralihan status pegawai KPK menjadi ASN seharusnya tidak boleh merugikan pegawai sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi. Ketiga, SK yang diterbitkan pimpinan KPK tidak bisa menjadi dasar penonaktifan pegawai karena TWK bukan dasar penentuan kelulusan dan tak ada landasan peraturannya.
“Kami sampai hari ini masih berstatus pegawai KPK. Syarat pemberhentian pegawai KPK apabila melanggar kode etik pegawai, mengundurkan diri, pensiun, atau meninggal dunia,” tuturnya.
Mantan Ketua Wadah Pegawai KPK itu menyampaikan bahwa pimpinan KPK seharusnya tidak perlu mengeluarkan SK bila hanya ingin menginformasikan pegawai yang tidak lulus. Menurutnya, pimpinan KPK cukup memberitahukan lewat surat elektronik atau e-mail saja.
Sosok yang kini menjabat sebagai Ketua Tim Kajian Tata Kelola Pangan itu pun mengaku hanya mengira penyelenggaraan TWK dilakukan sebatas proses untuk mengetahui pendapat pegawai KPK soal sikap kebangsaan, bukan untuk bahan evaluasi lolos atau tidak lolos dalam alih status menjadi ASN.
“Saya pun sampai hari ini masih mempertanyakan, indikator apa yang dipakai penguji dalam menentukan lolos tidaknya pegawai KPK jadi ASN. Ukurannya tak jelas, tidak standar,” paparnya.
Bahkan, siaran pers BKN beberapa hari lalu ada menyebutkan bahwa TWK ini juga menguji potensi adanya liberalisme pegawai yang bisa menghancurkan bangsa atau negara. “Ini jelas keliru dan memperlihatkan bahwa penguji tidak memahami benar paham liberal,” imbuhnya.
Sebelumnya, Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK Ali Fikri mengatakan nasib 75 pegawai yang dinonaktifkan karena tak lulus TWK akan diputuskan lebih lanjut. Saat ini, KPK telah meminta mereka menyerahkan tugas dan tanggung jawab kepada atasan.
“Dapat kami jelaskan saat ini pegawai itu bukan nonaktif karena semua hak dan tanggung jawab kepegawaiannya masih tetap berlaku,” kata Ali Fikri menepis.
Tujuh mantan pimpinan KPK akan mengambil sikap merespons penonaktifan 75 pegawai lembaga antirasuah karena tidak lolos TWK. Mereka angkat suara terkait polemik tersebut dalam agenda bersama Indonesia Corruption Watch (ICW), hari ini Senin (17/5/2021), pukul 13.00 WIB.
“Pada hari ini 7 mantan Pimpinan KPK yang notabene memahami seluk-beluk kelembagaan KPK akan mengambil sikap ihwal pemberhentian 75 pegawai KPK,” ujar peneliti ICW Kurnia Ramadhana, kepada CNNIndonesia.com, Senin pagi (17/5/2021).
Tujuh mantan pimpinan KPK itu antara lain Abraham Samad, Bambang Widjojanto, Busyro Muqoddas, Adnan Pandu Praja, Mochammad Jasin, Laode M. Syarif, dan Saut Situmorang. Sebelumnya, pimpinan KPK yang diketuai Firli Bahuri sebagai syarat alih status menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN).
Keputusan membebastugaskan puluhan pegawai komisi antirasuah ditentang sejumlah pihak lantaran dituding ada maksud tertentu. Pasalnya, kebanyakan dari 75 pegawai itu disebut merupakan mereka yang kritis hingga sedang menangani kasus korupsi besar.
Kritik dan protes pun sudah dilayangkan beberapa pegawai yang secara bergantian memberikan pernyataan ke media. Satu di antaranya Kepala Satuan Tugas (Kasatgas) Penyelidik Harun Al Rasyid. Ia mengungkapkan tak ada lagi prinsip kolektif kolegial dalam pengambilan keputusan di tubuh lembaga antirasuah.
Kolektif kolegial adalah sistem kepemimpinan di KPK yang mengutamakan kebulatan dan kesepakatan bersama dari seluruh komisioner. Pernyataan itu dia utarakan bertolak pada keputusan terbaru mengenai TWK yang menjadi bagian asesmen alih status pegawai KPK menjadi ASN.
Harun mengatakan keputusan di KPK kini hanya ditentukan oleh Ketua KPK Firli Bahuri. Ia mengaku mendapatkan informasi itu dari empat pimpinan lain. Wadah Pegawai KPK menyatakan tindakan Firli Bahuri menonaktifkan 75 pegawai yang tidak lolos Tes Wawasan Kebangsaan tak memiliki dasar hukum.
“Saya beberapa kali komunikasi dengan pimpinan yang lain dan ini sudah dinyatakan pimpinan lainnya ternyata bahwa di KPK itu sudah tak ada kolegial, Ketua KPK yang gigih dan getol mendorong untuk dilakukannya tes wawasan kebangsaan,” kata Harun, Rabu (12/5/2021).
Ketua WP KPK Yudi Purnomo lewat video pada Ahad, 16 Mei 2021 mengatakan, tidak ada dasar hukum apapun mengenai adanya penyerahan tugas dan tanggung jawab pekerjaan kepada atasan.
Mengutip tempo.co, Senin (17/5/2021) menyebt, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 atau UU KPK hasil revisi menyatakan dengan jelas bahwa pegawai KPK yang sebelumnya pegawai tetap dan tidak tetap, berubah menjadi ASN.
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan bahwa proses alih status menjadi aparatur sipil negara tak boleh merugikan pegawai KPK. “Ketua KPK sebagai pimpinan lembaga penegak hukum tentu harus patuh terhadap hukum yang berlaku di Indonesia,” ujar dia.
Ketentuan pegawai KPK harus mengikuti TWK tercantum dalam Peraturan KPK Nomor 1 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengalihan Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi Pegawai Aparatur Sipil Negara.
Aturan itu diteken oleh Firli Bahuri pada 27 Januari 2021. Dalam aturan itu, para pegawai diharuskan mengikuti asesmen tes wawasan kebangsaan yang dilakukan oleh KPK dan Badan Kepegawaian Negara. Tidak ada penjelasan mengenai konsekuensi bagi para pegawai yang tidak lolos tes.
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Sigit Riyanto mengatakan pelaksanaan TWK bertentangan dengan hukum. Sebab, TWK tidak sekalipun disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK dan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2020 sebagai syarat untuk melakukan alih status pegawai.
Ia mendesak agar KPK membatalkan hasil TWK tersebut. “TWK yang diikuti oleh seluruh pegawai KPK memiliki problematika serius,” kata Sigit dalam pernyataan sikap yang dia buat bersama 73 Guru Besar lintas kampus.
Hasil TWK membuat 75 pegawai KPK dinonaktifkan. Mereka dinonjobkan melalui Surat Keputusan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor 652 Tahun 2021 yang diteken Firli, 7 Mei 2021. Dalam surat itu, Firli meminta pegawai yang dianggap tidak memenuhi syarat untuk menyerahkan tugas dan tanggung jawab kepada atasannya.
Pelaksana tugas juru bicara KPK Ali Fikri membantah bahwa para pegawai itu dinonaktifkan. Dia menjelaskan maksud mengembalikan tugas adalah apabila ada pekerjaan yang berpotensi menimbulkan implikasi hukum, agar diserahkan lebih dahulu kepada atasannya langsung sampai ada keputusan lebih lanjut.
“KPK akan mengambil keputusan yang terbaik sesuai aturan yang berlaku atas hasil TWK dari BKN tersebut,” ujar dia.
Seorang pegawai KPK yang berasal dari bagian nonpenindakan mengatakan masih akan berangkat ke kantor setelah menerima Surat Keputusan penonaktifan tersebut. Dia menjadi salah satu pegawai yang dianggap tidak lolos TWK.
Akan tetapi, dia mengatakan sudah diberi tahu oleh atasannya bahwa tidak bisa melakukan rutinitas pekerjaan seperti sebelumnya.
Penyidik senior KPK Novel Baswedan mengatakan tidak ada larangan untuk para pegawai yang dinonaktifkan untuk datang ke kantor. Novel menjadi salah satu pegawai yang juga dinonaktifkan gara-gara TWK.
Dia mengatakan belum menerima Surat Keputusan dan tidak tahu apakah masih bisa menjalankan tugas seperti biasa. “Kami akan mempertanyakan kepada struktural atau pimpinan tentang SK tersebut,” ujar dia.
Novel menilai permintaan menyerahkan tugas dan tanggung jawab dalam SK itu sewenang-wenang dan berpotensi menghambat kerja. Dia mengatakan bila benar Ketua KPK Firli Bahuri bertindak sewenang-wenang, maka para pegawai akan melaporkannya.
Dia mempertanyakan motivasi Firli menerbitkan surat tersebut. “Karena merugikan kepentingan negara dalam memberantas korupsi dan tidak jelas siapa yang diuntungkan. Bisa jadi hanya menguntungkan diri sendiri atau para pihak yang tidak suka dengan antikorupsi,” kata dia. (net/smr/cnn/tpc)