Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Nahar menegaskan, anak khususnya dengan kondisi disabilitas sangat rentan mengalami kekerasan baik fisik, psikis, dan seksual, bullying, stigma, hingga pemasungan.
semarak.co-Nahar melanjutkan dibutuhkan perhatian dan upaya bersama dari seluruh pihak untuk mendorong pemenuhan hak serta memberikan perlindungan secara cepat terhadap anak, khususnya anak penyandang disabilitas.
“Banyaknya anak penyandang disabilitas yang mengalami kekerasan dan perlakukan salah lainnya, disebabkan karena mendapatkan pengasuhan buruk,” ungkap Nahar dalam Webinar Sosialisasi Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas di Masyarakat secara virtual atau onlin dari Jakarta, Rabu (31/3/2021).
Hal ini, kata Nahar, harus diikuti dengan komitmen seluruh pihak untuk memastikan anak mendapatkan pengasuhan yang baik. “Kita harus bisa memahami kondisi anak penyandang disabilitas, memastikan tumbuh kembangnya berjalan dengan optimal, memiliki masa depan yang baik.
“Tidak lagi dibedakan dengan anak non disabilitas lainnya, dan mau mengambil tindakan segera ketika ada anak yang memerlukan perlindungan khusus,” imbuh Nahar seperti dirilis humas, Kamis (1/4/2021).
Berdasarkan data BPS dalam Profil Anak Indonesia pada 2020, kutip Nahar, diketahui ada sekitar 0,79 persen atau 650ribu anak penyandang disabilitas dari 84,4 juta anak Indonesia.
Hingga 30 Maret 2021, diketahui sebanyak 110 anak penyandang disabilitas dari total 1.355 anak korban mengalami kekerasan (Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak, 2021).
Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) BPS pada 2019 juga menunjukan ada sebanyak 13,5% anak belum pernah sekolah dan 9,58% tidak lagi bersekolah. Untuk menangani persoalan ini, pemerintah melalui Kementerian PPPA terus berupaya mendorong pemenuhan hak dan perlindungan khusus anak penyandang disabilitas.
Saat ini, kata dia, Kementerian PPPA berserta Kementerian/Lembaga (K/L) terkait sedang menyiapkan Peraturan Pemerintah (PP) tentang Perlindungan Khusus Anak. “Peraturan ini akan mengakomodasi upaya perlindungan anak penyandang disabilitas,” ujarnya.
Baik dalam aspek kesehatan, lanjut dia, pengasuhan keluarga, pemenuhan kebutuhan khusus, pemberian layanan yang dibutuhkan, perlindungan khusus, perlakuan sama dengan anak lainnya, integrasi sosial, perlindungan individu, pemberian akses untuk mengembangkan diri sesuai bakat dan minat yang dimiliki, dan lainnya.
Kementerian PPPA juga telah mengeluarkan Peraturan Menteri PPPA Nomor 4 tahun 2017 tentang Perlindungan Khusus Bagi Anak Penyandang Disabilitas yang menegaskan perlunya membentuk kelompok kerja anak penyandang disabilitas.
Kelompok kerja ini terdiri dari K/L terkait dan unsur masyarakat yang bertujuan untuk melakukan pemenuhan hak dan pelindungan khusus bagi anak penyandang disabilitas, melalui sosialisasi, advokasi dan penyuluhan, menyebarkan materi KIE, menyelesaikan isu dan kasus terkait anak disabilitas, melakukan pemantauan, evaluasi, dan pelaporan.
Hadirnya kelompok ini diharapkan dapat mencegah terulangnya kembali kasus kekerasan, bullying terhadap anak penyandang disabilitas. Lebih lanjut Nahar menuturkan ada 4 pihak yang berperan penting dalam memberikan perlindungan khusus bagi anak, termasuk anak penyandang disabilitas.
Di antaranya yaitu anak itu sendiri, orangtua atau keluarga, masyarakat, dan pemerintah. “Empat pihak inilah yang saya harapkan bisa bersinergi. Peran masyarakat sangatlah penting untuk dilakukan, mulai dari perorangan, lembaga perlindungan anak maupun pendidikan, organisasi masyarakat, dunia usaha, hingga media massa,” terang Nahar.
Berbagai upaya penguatan peran anak maupun masyarakat dapat dilakukan dengan mengembangkan berbagai kegiatan untuk mendeteksi secara dini saat anak penyandang disabilitas mengalami kekerasan.
Hal ini dapat dilakukan melalui dukungan dari Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM) di 1.921 desa, Pusat Pembelajaran Keluarga (PUSPAGA) di 12 Provinsi dan 158 kabupaten/kota, dan Forum Anak di 34 provinsi, 458 kabupaten/kota hingga tingkat desa.
Wakil Walikota Yogyakarta Heroe Poerwadi mengungkapkan masih adanya orangtua yang menutup diri dan menyembunyikan anaknya yang mengalami kondisi disabilitas menjadi tantangan yang harus dihadapi pemerintah kota Yogyakarta. “Tantangan justru datang dari lingkar terdekat anak seperti orangtua dan keluarga yang tidak mau membuka diri,” ujarnya.
Menindaklanjuti persoalan ini, Pemerintah Kota Yogyakarta telah menyusun Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2019 tentang Pemajuan Pelindungan dan Pemenuhan Hak-Hak Penyandang Disabilitas, dan mengimplementasikannya untuk mendorong pemenuhan hak dan perlindungan khusus anak penyandang disabilitas di tengah masyarakat.
Adapun aspek pemenuhan yang dilakukan yaitu melalui pemberian perlindungan hukum, pemenuhan hak pendidikan, penyediaan akses kesehatan, fasilitasi sarana ruang publik maupun transportasi yang ramah penyandang disabilitas, memfasilitasi lapangan pekerjaan, serta memberikan pelatihan untuk meningkatkan kemandirian dan masa depan yang baik bagi anak penyandang disabilitas.
Sementara itu, Ketua Yayasan SAPDA, Nurul Sa’adah menekankan angka kekerasan terhadap anak penyandang disabilitas masih tergolong tinggi, apalagi di tengah pandemi. Hal ini disebabkan karena banyaknya orangtua yang belum bisa menerima kondisi anak dan tidak tahu cara mengurus anak dengan kondisi disabilitas.
Untuk itu, Nurul menekankan pentingnya pergerakan dari masyarakat di tingkat akar rumput dalam menyuarakan dan memastikan pemenuhan hak dan perlindungan bagi anak penyandang disabilitas.
“Masyarakat, khususnya orangtua harus bergerak bersama-sama dengan pemerintah daerah dalam mengawal dan mendukung tersedianya akses layanan serta perlindungan bagi anak penyandang disabilitas sesuai kapasitas masing-masing. Peran komunitas dalam masyarakat sangat penting, SAPDA siap mendampingi dan memastikan berjalannya hal ini,” pungkas Nurul.
Senada dengan Nurul, Ketua Rehabilitasi Berbasis Masyarakat (RBM) Kabupaten Bandung Barat, Dian Rosita mengajak masyarakat khususnya di Desa Lembang untuk berperan aktif menuntaskan persoalan anak disabilitas melalui program perlindungan dan pemenuhan hak anak.
“Kami sebagai lembaga masyarakat terbawah yang menangani langsung persoalan anak disabilitas, mengajak seluruh masyarakat untuk melindungi dan memenuhi hak mereka khususnya dalam mendapatkan layanan pendidikan dan kesehatan,serta memiliki akta kelahiran dan kartu identitas karena anak penyandang disabilitas mempunyai hak yang sama untuk tumbuh dan berkembang,” jelas Dian.
Perwakilan dari PT Astra Internasional, Bondan Susilo menyampaikan pentingnya menjalin kemitraan antar lapisan masyarakat untuk bahu membahu memastikan anak penyandang disabilitas dapat tumbuh dan berkembang dengan baik.
Bondan juga menekankan pentingnya memperkaya kemampuan anak penyandang disabilitas dengan pengetahuan terkait wirausaha, sehingga dapat meningkatkan kualitas mereka agar siap memasuki dunia kerja sekaligus memberikan efek positif bagi teman-teman di sekitarnya.
“Kita harus berkolaborasi, pemerintah berperan menyediakan akses fasilitasnya, sedangkan lembaga masyarakat membantu memastikan tidak ada diskriminasi yang dialami anak penyandang disabilitas,” ujar Bondan.
“Serta yang tidak kalah penting adalah dukungan dari dunia usaha. Kita harus memastikan mereka mendapat kesempatan, memperoleh hak dan kewajiban yang sama dengan anak non disabilitas dalam bekerja,” tutupnya. (smr)